PUTRI Diana kecil (diperankan Lilly Aspell) menggebu-gebu berpacu dengan sejumlah pendekar Amazon yang lebih dewasa dalam sebuah kompetisi. Di fase akhir, Diana tinggal melontarkan sebilah tombak untuk menang. Namun langkahnya dihentikan Antiope (Robin Wright), pendekar Amazon yang menjadi pengawas kompetisi, hingga akhirnya Diana urung juara. Diana kecil menangis sesenggukan sehingga harus ditenangkan ibunya, Ratu Hippolyta (Connie Nielsen).
Persoalannya, Diana hampir menang dengan cara yang culas dan mengambil jalan pintas di sebuah fase kompetisinya. Itu yang digarisbawahi sang ibu bahwa dalam keadaan apapun, perempuan Amazon tak boleh hanya mengandalkan kekuatan, melainkan harus memprioritaskan nilai-nilai kejujuran.
Pesan inti dari prolog itu jadi kunci cerita film pahlawan super Wonder Woman 1984 yang diracik sineas Patty Jenkins. Film itu merupakan film kesembilan dari waralaba DC Extended Universe cum sekuel dari film pahlawan super serupa, Wonder Woman (2017).
Nilai kejujuran dengan keras dipegang Diana ketika berangsur dewasa dan hidup di tengah manusia biasa di Washington DC pada 1984. Diana menyamar sebagai pakar antropologi dan arkeologi di Museum Smithsonian bernama Diana Prince.
Suatu hari, di tengah rutinitas pekerjaannya, Diana dewasa (Gal Gadot) bertemu rekan baru yang acap rendah diri, Barbara Minerva (Kristen Wiig). Keduanya saling bantu menyelidiki sejumlah temuan benda kuno. Salah satu benda itu akan mengubah persahabatan mereka maupun situasi dunia secara global.
Baca juga: Pesona Wonder Woman dalam Empat Wajah
Benda kuno itu adalah batu citrine dari peradaban Mediterania. Batu tersebut ternyata bisa mewujudkan keinginan siapapun yang memegangnya. Termasuk Diana, yang hatinya sangat mendambakan kekasihnya yang telah meninggal bisa kembali hidup, Steve Trevor (Chris Pine).
Sayangnya keinginan yang terwujud itu turut mendatangkan konsekuensi.
Cerita kian dramatis ketika batu itu dicuri seorang pebisnis minyak oportunis, Maxwell Lord (Pedro Pascal). Akibatnya, situasi geopolitik dunia yang tengah panas oleh Perang Dingin turut terimbas sebagai buah dari keserakahan Lord.
“Kita tidak bisa memiliki segalanya. Yang bisa kita miliki adalah kejujuran dan itu sudah cukup,” ujar Wonder Woman kala menghadapi Lord dalam sebuah konflik.
Bagaimana kelanjutan aksi Diana Prince alias Wonder Woman dalam menyelamatkan dunia dari keserakahan Lord yang dibantu Minerva alias Cheetah? Baiknya Anda tonton sendiri Wonder Woman 1984 yang sudah tayang terbatas di beberapa bioskop maupun streaming di HBO Max sejak Natal 25 Desember 2020.
Kembali ke “Khitah” Wonder Woman
Di beberapa adegan, tone film sarat sinar lampu neon. Diiringi music scoring orkestra yang bercampur disko garapan komposer Hans Zimmer, penonton bakal dibawa bernostalgia ke era 1980-an.
Untuk alur ceritanya, film Wonder Woman kali ini tak mengikuti alur kisah Wonder Woman di komik manapun. Sang sineas seolah ingin membawa penonton kepada karakter sejati Wonder Woman sebagaimana yang diciptakan psikolog William Moulton Marston pada 1941.
Baca juga: Asal-Usul si Kocak Deadpool
Jenkins menyadari bahwa Wonder Woman tak seperti pahlawan super mainstream, yang menghajar habis-habisan, bahkan membunuh tokoh penjahatnya. Wonder Woman, bagi Jenkins, adalah karakter yang memprioritaskan kejujuran untuk membuat semua orang punya keputusan yang lebih baik.
“Hal menarik dari Wonder Woman adalah dia jagoan super yang tidak sering menghabisi tokoh penjahat dan lebih kepada mengonfrontir perbaikan dalam segala aspek umat manusia. Jadi dia seperti halnya seorang dewi yang berusaha terlibat dengan manusia biasa dan berusaha membuat semua orang lebih baik. Dia tak banyak bertarung, namun lebih banyak mengonfrontasi sebuah sudut pandang,” ujar Jenkins dalam wawancaranya dengan Entertainment Weekly, 24 Desember 2020.
Sejatinya, ketangguhan, kekuatan, maupun kecepatan yang jadi keunggulan Wonder Woman berhulu dari nilai-nilai cinta dan kejujuran. Patty Jenkins sangat kentara menonjolkan premis-premis itu sedari awal hingga akhir.
Jalan ceritanya terinspirasi dari bagaimana Marson melahirkan karakter Wonder Woman berikut nilai-nilai yang dibawanya dalam memerangi kejahatan. Selain berprofesi sebagai psikolog dan pencipta purwarupa poligraf atau alat pendeteksi kebohongan, Marston merupakan salah satu anggota tim konsultan edukasi di penerbit All-American Publications dan National Periodicals di era 1940-an. Pada 1946, kedua penerbit itu berfusi menjadi DC Comics.
Baca juga: Para Pemeran di Balik Topeng Batman
Sampai di awal tahun 1940, jagoan super dari dua penerbit cikal-bakal DC Comics itu masih berupa para pahlawan laki-laki, mulai Batman, Superman, hingga Green Lantern. Marston ingin berkontribusi menciptakan karakter pahlawan super tambahan. Namun, diungkapkan Marguerite Lamb dalam artikelnya yang dimuat Majalah Bostonia edisi September 2001, “Who Was Wonder Woman?”, oleh istrinya, Sarah Elizabeth Holloway, Marston disarankan untuk menciptakan pahlawan super perempuan.
“Marston, psikolog yang dikenal menciptakan poligraf mengajukan ide untuk pahlawan super baru, di mana kekuatan utamanya terletak pada kekuatan pukulan atau lontaran api, melainkan dengan cinta. Elizabeth kemudian mengatakan: ‘Baiklah, tapi buatlah pahlawan supernya perempuan,’” tulis Lamb.
Saran Elizabeth kemudian dijalankan Marston dengan meracik latar belakangnya dengan menyiratkan agenda feminisme dan memadukannya dengan muasal Wonder Woman sebagai keturunan dewi-dewi dari mitologi Amazon. Menurut Clare Pitkethly dalam “Recruiting an amazon: The Collision of Old World Ideology and New World Identity in Wonder Woman” yang dimuat dalam The Contemporary Comic Book of Superhero, mitologi Amazon bagi Marston merupakan gagasan yang tepat untuk meng-counter narasi-narasi dari mitologi-mitologi klasik yang didominasi tokoh laki-laki.
“Wonder Woman melanjutkan narasi (mitologi Amazon) itu, di mana dominasi kulturnya akan kedigdayaan perempuan ikut dibawa ke ‘rumah barunya’, Amerika. Pesan Marston akan karakternya: ‘Wonder Woman adalah mentor perempuan yang memperlihatkan kepada para gadis muda bahwa mereka mampu melepaskan diri dari batasan-batasan aturan-aturan tradisional’,” kata Pitkethly.
Lantaran Wonder Woman diciptakan kala Perang Dunia II sedang berkecamuk, Marston lantas men-setting kisah pahlawan super beralter ego Diana Prince itu sedang membantu kekasihnya, Steve Trevor, di departemen intelijen Angkatan Darat Amerika. Jiwa patriotismenya sangat kentara ditonjolkan dengan atribut rok biru bermotif bintang putih seperti yang ada dalam bendera Amerika.
Inspirasi Poliarmi
Untuk mengkonstruksikan fisik tokoh pahlawannya, Marston berangkat dari kehidupan pribadinya yang kontroversial dan keluar dari norma-norma tradisional. Sosok perempuan jelita Wonder Woman diciptakan dengan mengambil inspirasi dari pacar selingkuhannya, Olive Byrne.
Diungkapkan Jill Lepore dalam The Secret History of Wonder Woman, dari penampakan fisik Olivelah deskripsi kecantikan dan keanggunan Diana Prince alias Wonder Woman diciptakan Marston. Rambut hitam, bentuk tubuh seksi, hingga “Bracelet of Submission” alias gelang antipeluru yang dipakai Olive semua dipindahkan Marston ke sosok Diana.
“Awal mula Wonder Woman bersumber dari kehidupan Marston dan kehidupan dua perempuan yang dicintainya; keduanya juga menciptakan Wonder Woman. Marston bukan lelaki biasa, pun dengan keluarganya. Dia membimbing sebuah kehidupan rahasia dengan punya empat anak yang tinggal satu atap. Komik Wonder Woman jadi tempat favorit persembunyian kehidupannya,” tulis Lepore.
Baca juga: Misteri Andromache of Scythia dalam The Old Guard
Marston diketahui menganut poliarmi, suatu hubungan di mana seorang suami diperbolehkan istri resminya untuk memiliki seorang pacar. Marston diperbolehkan Elizabeth, yang juga seorang psikolog, punya hubungan dengan perempuan lain, Olive Byrne, yang sudah terjalin sejak 1925. Elizabeth dan Olive akur mengasuh empat anak Marston.
Selain “Bracelet of Submission”, kelebihan lain milik Wonder Woman terletak pada senjata pamungkasnya, “Lasso of Truth” atau tali laso kejujuran. Senjata yang ditonjolkan Patty Jenkins itu dijadikan sebagai inspirasinya dalam menciptakan karakter sang pahlawan dalam Wonder Woman (2017) dan Wonder Woman 1984 (2020). Patty sengaja membedakan Wonder Woman ciptaannya dari Wonder Woman yang muncul di beberapa film lain keluaran DC Extended Universe, seperti Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) dan Justice League (2017) yang bersenjatakan pedang dan perisai.
“Lasso of Truth” diciptakan Marston sejak karakter Wonder Woman muncul pertamakali diterbitkan di All Star Comics edisi ke delapan pada Oktober 1941. Tali laso yang merupakan kekuatan utama Wonder Women merupakan simbol nilai-nilai kejujuran. Marston menciptakannya terinspirasi dari sejumlah hasil poligraf ciptannya, di mana dia mendapati perempuan lebih berkata jujur ketimbang laki-laki ketika dites dengan alat pendeteksi kebohongan. Dengan kekuatan kejujuran itulah maka Marston menciptakan Wonder Woman sebagai sosok pemimpin ideal yang bisa menciptakan perdamaian dunia.
“Sejujurnya, Wonder Woman adalah propaganda psikologis untuk tipe perempuan (era) baru yang, saya yakini, mestinya pantas memimpin dunia,” tandas Marston, dikutip Lepore.
Data Film:
Judul: Wonder Woman 1984 | Sutradara: Patty Jenkins | Produser: Charles Roven, Deborah Snyder, Zack Snyder, Stephen Jones, Patty Jenkins, Gal Gadot | Pemain: Gal Gadot, Lilly Aspell, Chris Pine, Kristen Wiig, Pedro Pascal, Robin Wright, Connie Nielsen, Lynda Carter | Produksi: DC Films, Atlas Entertainment, The Stone Quarry | Distributor: Warner Bros. Pictures | Genre: laga pahlawan super | Durasi: 151 Menit | Rilis: 25 Desember 2020.
Baca juga: Menertawakan Kepedihan Hidup Bersama Joker