SEPEKAN belakangan para fans Marvel, khususnya penggila Spider-Man, galau. Pasalnya, Sony dan Disney “bercerai”. Akibatnya, jagoan super si “Manusia Laba-Laba” ber-alter ego Peter Parker itu takkan lagi nongol di Marvel Cinematic Universe (MCU).
Sony sebagai si empunya hak tayang karakter Spider-Man, disebutkan mengakhiri kerjasama dengan Disney yang menaungi MCU pimpinan Kevin Feige. Sony menolak kesepakatan baru pengucuran dana 50:50 dengan Disney untuk mengongkosi film-film MCU yang menghadirkan Spider-Man lagi.
Alhasil, film Spider-Man: Far From Home yang terbit 2 Juli 2019 lalu menjadi film terakhir yang berkelindan dengan seri-seri Avengers milik MCU. Sejak 2015, salah satu mahakarya mendiang Stan Lee ini turut meramaikan semesta Marvel: Captain America: Civil War (2016), Spider-Man: Homecoming (2017), Avengers: Infinity War (2018), Avengers: Endgame (2019), dan Spider-Man: Far From Home (2019).
Besar kemungkinan seandainya kemudian Sony memproduksi sendiri aksi Spider-Man di versi live-action, bakal diperankan aktor selain Tom Holland. Ia dianggap sebagian besar fans Spider-Man sebagai sosok paling cocok memerankan sang “webslinger”, di antara aktor-aktor pendahulunya macam Tobey Maguire atau Andrew Garfield.
Baca juga: Enam Aktor di Balik Topeng Spider-Man
Beberapa kelompok fans menyuarakan protes tidak hanya di media sosial. Nate Philips, fans asal New York, bahkan sampai mencetuskan petisi “Keep Spider-Man with Disney and the MCU” di situs change.org. Hingga tulisan ini dibuat, petisi itu sudah memetik lebih dari 128 ribu tandatangan fans lain. Tapi, bagaimana di Indonesia?
“Kami di Komunitas Marvel Indonesia (KMI) beragam. Ada yang enggak setuju, ada yang setuju. Saya pribadi tak terlalu mempersoalkan. Kita tidak fanatik sampai harus buat petisi,” sebut founder KMI Dedi Fadim kepada Historia.
KMI jadi wadah tersendiri bagi fans Spider-Man maupun para superhero Marvel lain sejak berdirinya. Bagi Dedi, fans yang begitu fanatik menanggapi perpisahan Spider-Man dan Avengers seolah tak melihat sisi positif di mana Spider-Man mestinya jadi jagoan yang mandiri dan tak melulu dikaitkan dengan mendiang Iron Man/Tony Stark.
“Saya pribadi ingin Spider-Man jadi superhero mandiri sama seperti aslinya di komik. Kalau terus dikaitkan dengan Iron Man, film solo-nya enggak akan berkembang. MCU sendiri takkan masalah tanpa Spider-Man karena film-film MCU sebelumnya sudah menarik buat fans. So, it’s not a big deal,” lanjutnya.
Baca juga: Spider-Man Terjerat Tipu Daya
Stan Lee menciptakan Spider-Man, jagoan super yang mandiri, pada 1962. Semua petualangannya dilakukan Spider-Man/Peter Parker seorang diri. Bahwa di layar perak bergabung dengan para jagoan lain di tim Avengers merupakan hal menarik, bukan berarti Spider-Man mati kutu tanpa mereka.
“Malah bagus kalau Spider-Man bisa memulai petualangannya sendiri. Spider-Man bukan penerus kejayaan Tony Stark. Tidak akan mungkin jadi the next Tony Stark. Karena kalau dia di-plot begitu, maka dipastikan film berikutnya takkan sukses karena selalu dikaitkan sama Iron Man. Spider-Man is Spider-Man. Bukan muridnya Stark atak penerusnya. Dia hanya menjadi next superhero yang membantu menggantikan Iron Man menjaga kedamaian dunia,” tandas Dedi.
Dari Mana Datangnya Inspirasi Stan Lee?
Sudah jamak diketahui bahwa Spider-Man/Peter Parker merupakan salah satu “anak rohani” Stan Lee si “Godfather” Semesta Marvel. Komikus senior Marvel Tom DeFalco dalam Spider-Man: The Ultimate Guide menguraikan, Stan Lee memang menciptakan Spider-Man pada 1962 menyusul kesuksesan karya lainnya, Fantastic Four.
Karakter jagoan bersenjata jaring laba-laba itu melakoni debutnya di komik Amazing Fantasy edisi ke-15, Agustus 1962. Kendati begitu, Stan Lee mengakui Spider-Man ia ciptakan terinspirasi dari karakter pahlawan tanpa kekuatan super, Spider, dari majalah The Spider: Master of Men.
“Satu hal yang memengaruhi saya (menciptakan Spider-Man, red.) adalah dari bacaan kegemaran saya saat bocah. Saya membaca majalah The Spider yang tentunya, gambarannya sama sekali tidak seperti Spider-Man namun saya selalu merasa nama karakternya dramatis,” kata Stan Lee dalam otobiografi yang ditulis bersama George Mair, Excelsior!: The Amazing Life of Stan Lee.
Baca juga: Goodbye Stan Lee!
Karakter The Spider itu sendiri diciptakan oleh penulis sekaligus co-founder Popular Publications (PP) Henry ‘Harry’ Steger III pada Oktober 1933. Menurut penulis cum komikus senior lain, Tim DeForest, dalam Storytelling in the Pulps, Comics, and Radio, Steger menciptakan The Spider sebagai pesaing karakter jagoan The Shadow ciptaan Walter Brown Gibson.
The Shadow lebih dulu muncul, yakni di Majalah Detective Story Hour 31 Juli 1930 keluaran Sreet & Smith Publications’. Kedua penerbit saat itu merupakan pesaing besar majalah bergambar, ibarat Marvel dan DC Comics di masa setelahnya.
“The Spider pertamakali terbit pada Oktober 1933, bersamaan dengan peluncuran G-8, majalah keluaran Popular Publications lainnya. Mulanya The Spider bagaikan kloningan The Shadow. Ia pria kaya (ber-alter ego) Richard Wentworth yang menyamarkan dirinya sebagai sosok bongkok namun bertaring dan berambut panjang,” sebut DeForest.
Personanya terbilang menakutkan lantaran memang dibuat untuk menakuti para penjahat. Ia juga digambarkan seperti sosok pahlawan yang main hakim sendiri. Tak heran ia turut diburu polisi. Namun ia tak seperti Spider-Man, di mana Richard Wentworth/The Spider tak punya kekuatan super dalam melawan musuh-musuhnya.
Baca juga: Asal-Usul si Kocak Deadpool
Ia sekadar bersenjatakan pistol M1911 dengan peredam suara dan “Web-Lee”, pistol pelontar jaring listrik. Setelah ia membunuh penjahat, lazimnya ia akan memberi cap darah bergambar laba-laba di dahi si penjahat agar semua orang tahu bahwa dialah yang menghabisi nyawa si penjahat.
“Dia beraksi di luar garis hukum. Diburu polisi dan ditakuti publik. Tiada yang bisa menghentikannya. Jika ia tertembak di dada, dia hanya akan menjejalkan tangan ke lukanya untuk menghentikan pendarahan dan dia terus beraksi. Dia lihai meloloskan diri dari beragam perangkap penjahat maupun polisi. Jargon khasnya adalah: ‘I am my brother’s keeper and I will give my life if necessary to keep my brother safe’,” lanjut DeForest.
Selain dalam bentuk majalah, karakter The Spider dialihwahanakan ke berbagai media. Selain novel dan komik, sosoknya juga muncul di layar perak lewat film The Spider’s Web (1938), dan serial The Spider Returns (1941) yang digarap Columbia Pictures.