Masuk Daftar
My Getplus

Commander Arian dan Kemerdekaan Perempuan

Kisah komandan perempuan membebaskan kaumnya dari ISIS dan sistem sosial patriarki di bawah desingan peluru.

Oleh: Randy Wirayudha | 28 Okt 2021
Potret kombatan perempuan YPJ dalam dokumenter "Commander Arian" (Dogwoof)

SUATU subuh pada Januari 2018. Setelah membuka matanya, Arian Afrîn bangkit dan berjalan pincang menuju wastafel di luar kamar rawatnya untuk cuci muka dan sikat gigi. Setelahnya, ia mengecek ponselnya untuk mencari kabar tentang kawan-kawan seperjuangannya di garis depan.

Seiring mentari mulai menyapa para penghuni kamp medis di sebuah wilayah utara Suriah yang dirahasiakan lokasinya itu, seorang dokter lantas memeriksa kepulihan Arian. Dia mengalami lima luka tembak: di pinggul kiri, perut, lengan kanan, dan dua di dadanya.

“Saya merindukan kawan-kawan. Di sini sudah seperti hidup di lingkungan sipil, di mana saya justru merasa takut akan maut. Di (garis depan) sana saya tak pernah takut mati,” kata Arian dalam permulaan dokumenter bertajuk Commander Arian: A Story of Women, War and Freedom.

Advertising
Advertising

Baca juga: Allied dan Kisah Mata-Mata Perempuan di Tengah Perang

Arian Afrîn yang harus dirawat selama 47 hari (Dogwoof)

Dokumenter garapan sutradara Spanyol Alba Sotorra Clua ini mengisahkan pergulatan lahir dan batin para kombatan Yekîneyên Parastina Jin (YPJ) atau Unit Perlindungan Perempuan Kurdi. Arian adalah salah satu komandan yang paling berpengalaman dari unit yang bernaung di bawah Syrian Democratic Forces (SDF) dan salah satu sayap milisi Yekîneyên Parastina Gel (YPG) atau Unit Pertahanan Rakyat Kurdi.

Ia begitu merindukan garis depan meski diharuskan memulihkan diri dahulu selama 47 hari. Arian mendapati lima luka tembak itu pada akhir 2017 kala terjebak dalam baku tembak dengan Daesh atau ISIS di kota Afrin.

“Kombatan Daesh semua biadab. Mereka ingin mendirikan sebuah bangsa, sebuah kehidupan tanpa perempuan. Bagi mereka, sepotong kain lebih berharga dibanding perempuan. Itu alasannya kami di YPJ memerangi mereka. Untuk mengakhiri ancaman mereka terhadap perempuan. Kami akan memerangi mereka sampai tiada lagi yang tersisa,” imbuhnya.

Baca juga: A Private War, Perang Batin si Wartawati Perang

Kolase Arian saat mengatur konvoi pasukannya (Dogwoof)

Alur cerita bergulir mundur ke tahun 2015, di mana Sotorra sudah mengikuti Arian bergerilya. Pasukan yang dipimpin Arian bersama SDF terlibat pertempuran di sebuah desa dekat Kobane, kota dengan populasi Kurdi terbesar di Suriah. Kobane saat itu sedang dikepung Daesh.

Bersama beberapa komandan SDF, Arian merancang sebuah misi untuk memecah garis pengepungan Daesh. Rencananya, pasukan YPJ dan SDF akan dibagi dua untuk membuka jalur dari timur dan barat kota. Kedua pasukan itu akan merangsek sampai ke satu titik di kota Tell Abyad yang berjarak 25 kilometer.

Tugas itu tentu tidak mudah. Konvoi Arian dan pasukannya harus waspada karena selain masih bercokolnya beberapa milisi Daesh di desa-desa yang mereka lewati, mereka juga mesti cermat mendeteksi ranjau-ranjau yang ditanam musuh.

Baca juga: Nestapa Sabaya

Prajurit-prajurit YPJ yang dipimpin Arian mayoritas masih remaja (Dogwoof)

Arian merupakan sosok komandan yang tegas, cekatan, dan sigap kala menginstruksikan persebaran pasukan atau dalam mengarahkan moncong senapan otomatis AKS-47 di tangannya. Arian juga sosok yang mengayomi dan memberi pencerahan kepada para prajuritnya yang mayoritas gadis belasan tahun. Menurutnya, keterlibatan mereka sebagai kombatan perempuan bukanlah untuk berperang semata tetapi juga untuk menunjukkan bahwa kaum perempuan Kurdi mampu dan kemudian berhak mendapat perlakuan setara. Sebagaimana banyak bangsa di Timur Tengah, masyarakat Kurdi masih kental akan kultur patriarkinya.

“Saya mengingat di masa kecil, di mana ada seorang gadis 12-13 tahun yang tinggal dekat rumah saya diculik dan diperkosa sampai hamil. Saat keluarganya tahu dia hamil, dia malah dibunuh keluarganya sendiri karena dianggap aib,” kata Arian lirih.

Arian ingin anak-anak buahnya punya tujuan hidup dan punya mimpi untuk mendobrak sistem sosial itu. Perempuan harus punya pilihan hidup, bukan hanya dinikahkan di usia dini dan terbelenggu di rumah sebagaimana kebiasaan sebelumnya.

Gadis-gadis remaja itupun mengerti. Mengingat negeri mereka sedang diguncang perang sejak 2011, mereka tak bisa mengusung dan menuntut emansipasi lewat cara-cara damai sebagaimana para perempuan di belahan dunia lain. Di Suriah, tiada pilihan lain selain ikut angkat senjata sebagai pembuktian diri bahwa kaum perempuan Kurdi punya hak untuk hidup bebas tanpa belenggu sistem sosial.

Bagaimana kemudian Arian memimpin kaum perempuan Kurdi dalam membebaskan diri dari Daesh dan sistem sosial itu? Saksikan kelanjutan Commander Arian hanya di platform daring Mola TV.

Baca juga: Oslo dan Perdamaian Israel-Palestina

Sosok sentral Arian yang memimpin kaum perempuan Kurdi meraih emansipasi lewat jalan pertempuran (Dogwoof)

Memahami Konsekuensi Perang

Sotorra hanya seorang diri mengikuti segala aktivitas Arian dengan kameranya sejak 2015. Alhasil beberapa gambar di tahun 2015, utamanya dalam momen-momen baku tembak, jadi goyang dan tidak solid akibat Sotorra juga mesti sigap untuk berlindung. Namun demikian, kekurangan secara estetik itu kemudian justru jadi nilai plus lantaran situasi gawat yang juga mengancam jiwa sang sineas hadir begitu nyata.

“Yang saya rasakan begitu intens karena saya juga mesti fokus pada hal-hal teknis sendirian. Tetapi merekamnya sendirian juga jadi cara yang tepat untuk mendapatkan intimasi yang ingin saya ciptakan dengan para kombatan ini. Mereka menganggap saya bagian dari mereka. Saya bahkan mengenakan seragam mereka dan ikut jaga malam,” kata Sotorra kepada EWA Women, 27 Desember 2018.

Karena ikut jaga malam itu, Sotorra sempat merekam pertempuran kecil di sebuah desa saat tengah malam. Tone gambarnya tentu sangat gelap lantaran ia tak bisa lighting kameranya.

Baca juga: Meretas Mimpi dari Kamp Pengungsi lewat Captains of Zaatari

Suasana Suriah Utara yang hancur akibat perang (Dogwoof)

Tetapi di lain waktu, Sotorra menampilkan tone terang-benderang berupa hamparan desa-desa gersang di utara Suriah yang diselimuti asap bom. Ada kalanya Sotorra mengambil kesempatan menampilkan gambar bentangan alam Suriah, di mana gradasi warna biru dan jingga berpadu di langit saat senja tiba. Hal itu jadi keindahan tersendiri bagi sebuah negeri yang sedang hancur-lebur karena perang.

Dibantu penata suara Mauricio Villavecchia, Sotorra tak perlu repot meramaikan suasana ceritanya dengan music scoring. Ada sedikit sisipan melodi alat musik petik khas Timur Tengah. Namun Sotorra membiarkan penonton menyesapi suasana pedih dengan nyanyian-nyanyian ratapan para kombatan YPJ serta suasana mendebarkan dari suara dentuman bom dan desingan peluru yang riil. Semua itu penting bagi Sotorra agar penontonnya bisa hanyut dan memahami karakter Arian dan pergulatan lahir dan batin para kombatan YPJ.

“Apa yang ia ajarkan kepada para prajuritnya sangat penting. Dia mengatakan untuk memikirkan apa artinya menjadi seorang perempuan dan ikut dalam perjuangan. YPJ sendiri utamanya bertindak untuk memberdayakan perempuan dengan tujuan emansipasi di dalam masyarakat. Saya ingin penonton memahami konsekuensi perang terhadap para perempuan ini dan betapa besarnya pengorbanan mereka,” tandas Sotorra.

Memerdekakan Perempuan Kurdi

Sistem sosial patriarki sudah sangat mengakar di masyarakat Kurdi, baik yang berdiam di Turki, Suriah, maupun Irak. Jalan menuju emansipasi yang ditempuh kaum perempuan jauh lebih keras ketimbang di belahan dunia lain. Mereka harus menempuh jalan pertempuran sebagai pembuktian bahwa kaum perempuan berhak hidup merdeka di alam demokratis.

“Kami bertempur agar rakyat kami bisa hidup dengan budaya dan kultur mereka di dalam Suriah yang demokratis. Agar lelaki dan perempuan bisa hidup setara, saya harus bertempur untuk memerdekakan diri sendiri, memerdekakan alam pikiran, dan memerdekakan kaum perempuan,” kata Arian.

Pemikiran Arian itu sangat berkaitan dengan gagasan Abdullah Öcalan, politikus Kurdi yang sejak 1970-an mendukung gerakan feminisme dan kesetaraan perempuan. Öcalan merupakan salah satu pendiri Partiya Karkerên Kurdistanê (PKK) atau Partai Pekerja Kurdistan yang berbasis di selatan Turki. Öcalan punya pemikiran yang kemudian jadi semboyan kaum perempuan Kurdi: “Sebuah negeri tidak akan merdeka kecuali perempuannya hidup merdeka.”

Baca juga: Tjoet Nja’ Dhien Petarung Konsisten

Abdullah 'Apo' Öcalan, salah satu pendiri PKK yang mempelopori kesetaraan gender masyarakat Kurdi (freedomforocalan.com/kurdipedia.org)

Sebelum diculik intel lalu dipenjara pemerintah Turki pada 1999, Öcalan sudah menuangkan pemikirannya tentang gender lewat dua buku: Nasıl Yaşamah? (terj. How to Live?) dan Erkeği Öldürmek (Killing the Male). Pemikirannya berangkat dari pengalaman keluarganya sendiri. Ia melihat bagaimana saudarinya yang menikah, justru kemudian hidup seperti terpenjara dan jadi budak di rumah tangganya.

Lantas sejak di dalam penjara, Öcalan menelurkan buku lagi, yakni Liberating Life: Women’s Revolution. Buku itu baru bisa diterbitkan pada 2013. Lewat buku itu ia memperkenalkan pemahaman akan kesetaraan gender dengan sains terkait perempuan atau yang ia sebut sebagai “Jineology”. Istilah itu diambil dari perpaduan lema “jin” yang artinya perempuan dan “jiyan” yang artinya kehidupan dalam bahasa Kurdi.

“Agar sebuah masyarakat bisa bertransformasi ditentukan dari bagaimana transformasi terhadap perempuan. Sama halnya, tingkat kemerdekaan dan kesetaraan perempuan menentukan kemerdekaan dan kesetaraan semua aspek masyarakat. Bagi sebuah negeri yang demokratis, kemerdekaan perempuan juga sangat penting,” tulis Öcalan.

Baca juga: Harriet "Musa" Pembebas Budak

Kombatan perempuan Kurdi di unit YJA-STAR (pajk.org)

Maka tak heran sejak PKK berdiri, Öcalan memberi ruang untuk kaum perempuan. Tidak hanya aktif dalam politik tapi kemudian juga militer di sayap milisi PKK.

“Kaum perempuan berada dalam jajaran pendiri PKK dan sudah ada di antara para gerilyawan sejak 1980-an. Organisasi perempuan pertama dalam PKK adalah Union of Patriotic Women (YJWK). Kemudian, didukung Öcalan, pada 1993, kaum perempuan membentuk pasukannya sendiri yang kini disebut YJA-STAR (Yekîneyên Jinên Azad ên Star/Unit Perempuan Merdeka),” ungkap Dilar Dirik dalam “Overcoming the Nation-State: Women’s Autonomy and Radical Democracy in Kurdistan” yang termaktub dalam buku Gendering Nationalism: Intersections of Nation, Gender and Sexuality.

YJA-STAR didirikan pada 2004 karenanya seiring waktu jumlah gerilyawan perempuan Kurdi terus meningkat. Mereka lazimnya ikut angkat senjata karena ingin melepaskan diri dari kemiskinan dan kultur konservatif masyarakat, di mana sering terjadi kekerasan terhadap perempuan.

Karena dengan angkat senjatalah mereka sedikitnya bisa merasakan kebebasan dari kultur konservatif itu. Terlebih, sebagaimana pemikiran Öcalan, militer PKK memberi ruang untuk kesetaraan gender. Maka hierarki militernya pun unik karena prajurit perempuan, sejak didirikannya YJA-STAR, tak menerima perintah dari komandan laki-laki. Justru kemudian para komandan perempuannya diperbolehkan mengomando unit prajurit campuran. Hal itu turut diadopsi YPJ saat didirikan pada April 2013 di Suriah sebagai bagian dari SDF.

Deskripsi Film:

Judul: Commander Arian: A Story of Women, War and Freedom | Sutradara: Alba Sotorra Clua | Produser: Alba Sotorra Clua, Stefano Strocchi, Marta Figueira | Produksi: AlbaSotorra Cinema Productions, Boekamp & Kriegsheim GmbH | Distributor: 39 Escanoles, Dogwoof |Genre: Dokumenter | Durasi: 77 Menit | Rilis: 29 April 2018 (Hot Docs Festival), Mola TV

TAG

molatv film suriah perempuan dokumenter

ARTIKEL TERKAIT

Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Sisi Lain dan Anomali Alexander Napoleon yang Sarat Dramatisasi Harta Berdarah Indian Osage dalam Killers of the Flower Moon Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama