TIDAK hanya poster-poster Presiden Bashar al-Assad yang dilenyapkan dari berbagai kota di Suriah seiring jatuhnya ibukota Damaskus ke tangan koalisi oposisi pada Minggu (8/12/2024), patung-patung ayahnya pun, Hafez al-Assad, turut dihancurkan massa dari Damaskus hingga Hama. Kota yang terakhir ini punya sejarah getir di mana tangan Rezim Assad berlumuran darah puluhan ribu korban pembantaian empat dasawarsa silam.
Bashar al-Assad sang diktator penerus trah keluarganya sudah lebih dulu kabur ke Rusia sehari sebelum Damaskus direbut. Ibukota jatuh ke tangan pasukan koalisi pemberontak yang dikomando organisasi paramiliter Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) demi menuntaskan Revolusi Suriah (2011-2024) yang mengakhiri 54 tahun Rezim Assad yang selama ini didukung Iran dan terutama Rusia.
Lengah sedikit, Rusia dan Iran “kehilangan” Suriah, begitu komentar Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump. Maklum, Iran masih sibuk dengan Israel dan Rusia masih direpotkan Ukraina.
“Assad sudah tumbang. Ia kabur dari negaranya. Pelindungnya, Rusia, (presiden) Vladimir Putin, tak tertarik melindunginya lagi karena (perkara) Ukraina,” tulis Trump di media sosial, Truth Social, dikutip Reuters, Senin (9/12/2024).
Baca juga: Selintas Hubungan Iran dan Israel
Kota Hama juga jadi target penting untuk direbut para gerilyawan HTS pada 6 Desember 2024 sebelum beralih ke kota Homs dan Damaskus dua hari berselang. Selain strategis, Hama punya makna simbolis yang dianggap penting dan kaburnya militer serta pejabat Rezim Assad disambut massa warga kota tersebut.
“Alhamdulillah kami membebaskan kota Hama dan sekarang atas seizin Tuhan, berikutnya kami akan masuk ke kota Homs,” ujar seorang prajurit HTS yang tak disebutkan namanya, kepada Al Jazeera, 6 Desember 2024.
Secara historis, Hama begitu signifikan untuk direbut. Di kota inilah perlawanan terakhir kelompok oposisi Ikhwanul Muslimin Suriah terjadi berikut pembantaian puluhan ribu penduduk oleh militer Suriah atas perintah Presiden Hafez al-Assad. Kota ini juga jadi “penyambung” akar perlawanan oposisi dari era Ikhwan Suriah sejak 1940-an dan koalisi oposisi pasca-Arab Spring 2011.
Tragedi Terburuk di Rezim Assad
Kelompok oposisi sayap kanan Ikhwan Suriah yang muncul sejak 1945 pimpinan Mustafa al-Siba’i dan Muhammad al-Mubarak al-Tayyib selalu dianggap “duri dalam daging” bagi pemerintahan Partai Baath yang sekuler sejak 1960-an. Dari perlawanan secara konstitusional, Ikhwan Suriah beralih ke perlawanan fisik hingga dikategorikan perlawanan teror oleh kalangan Baathist, utamanya ketika pemerintahan Partai Baath menyatakan Ikhwan Suriah sebagai organisasi terlarang pada 1963.
Ikwan Suriah tercatat pernah menyerang Sekolah Artileri Aleppo dan menewaskan 83 kadet pada 16 Juni 1979. Namun diktator Hafez al-Assad yang berkuasa sejak 1971 melancarkan sejumlah serangan balasan yang tak hanya menargetkan para anggota milisi Ikhwan Suriah tapi juga penduduk sipil yang dianggap mendukung dan bersimpati pada Ikhwan Suriah. Di antaranya Pengepungan Aleppo (April 1980-Februari 1981) yang menewaskan 2.000 jiwa dan Pembantaian Hama (2-28 Februari) yang menewaskan 40 ribu orang.
Sebelum pembantaian itu, Hama jadi benteng kalangan konservatif Islam sekaligus pusat perlawanan Ikhwan Suriah. Pada medio April 1981, Hama diserbu pasukan Suriah, menewaskan sekira 400 orang dan 600 lainnya terluka.
Baca juga: Nestapa Sabaya
Menurut Patrick Seale dalam Asad: The Struggle for the Middle East, tragedi yang kelak disebut Pembantaian Hama 1982 itu bermula dari sebuah sweeping oleh unit Tentara Arab Suriah (SAA) di kawasan kota tua Hama pada dini hari, 2 Februari 1982. Tapi pasukan itu justru masuk dalam jebakan milisi Ikhwan Suriah pimpinan komandan lokal Omar Jawwad alias Abu Bakar.
“Abu Bakar kemudian memerintahkan serangan umum melalui pengeras suara masjid untuk melawan (tentara pemerintahan) Baath,” tulis Seale.
Mendengar perlawanan yang dialami pasukan itu, Presiden Hafez al-Assad mengirim 12 ribu pasukan tambahan. Termasuk pasukan elit Kompi Pertahanan Revolusi dari Divisi Pasukan Khusus ke-14 pimpinan adik sang diktator, Rifaat al-Assad.
“Setiap pekerja (paramiliter) partai, setiap prajurit yang dikirim ke Hama sadar bahwa kali ini militansi oposisi Islamis harus dilenyapkan dari kota dengan segala cara,” lanjut Seale.
Baca juga: Commander Arian dan Kemerdekaan Perempuan
Pasukan SAA itu kemudian balik mengepung segala penjuru kota hingga tiga pekan berselang. Semua jalur suplai makanan, bahan bakar, dan listrik diputus.
“Mereka tidak bisa membunuh kami dengan senjata dan peluru maka mereka berusaha membunuh kami dengan kelaparan dan cuaca dingin. Saat itu pilihan kami sebagai penduduk sipil hanya bertahan hidup dengan martabat atau mati sekalipun,” kenang Maha Mousa, salah satu penyintas Pembantaian Hama 1982, di laman Amnesty International, 28 Februari 2012.
Satu per satu kawasan di kota Hama kemudian jadi target pemboman artileri, tank, dan pesawat-pesawat pembom. Pemboman dilakukan untuk membuka ruang bagi pasukan SAA masuk ke dalam kota dengan maksud memancing gerilyawan oposisi keluar. Tapi, banyak penduduk sipil justru ikut meregang nyawa.
“Pada lima hari setelah pengepungan saya baru bisa keluar rumah. Saya membantu menguburkan jasad ibu hamil. Pada hari ke-10 saya sempat keluar rumah lagi tapi saya trauma karena melihat mayat-mayat yang bergelimpangan,” kenang penyintas bernama Abd al-Hadi al-Rawani.
Baca juga: Lima Invasi Israel ke Lebanon
Pada 15 Februari, pasukan SAA dan paramiliter Partai Baath mulai melakukan pembersihan. Terlepas dari sejumlah baku tembak yang terjadi, para penyintasnya masih trauma atas penangkapan belasan ribu orang yang dituduh pengikut oposisi. Mereka yang ditangkapi mengalami penyiksaan luar biasa hingga nyawa melayang.
“Saya menyaksikan sekitar 60 orang dieksekusi lalu jari-jarinya dimutilasi dan setelahnya diletakkan di dinding Masjid Mas’oud. Hingga dua tahun setelah kejadian itu tidak ada yang berani memindahkan jari-jari itu,” sambung Mousa.
Sekira sepertiga bangunan di Hama rata dengan tanah. Selain itu, 88 masjid, tiga gereja, dan sejumlah situs bersejarah mengalami kerusakan berat. Salah satunya Istana Azm dari masa Kesultanan Utsmaniyah pada abad ke-18.
Baca juga: Alkisah Gereja Tertua di Gaza
Dari pihak pasukan Assad tercatat 1.000 personel yang tewas, sementara di pihak milisi oposisi ada sekira 300-400 jiwa. Angkanya bervariasi ketika sudah menyentuh korban penduduk sipil.
Rifaat al-Assad sesumbar telah menewaskan 38 ribu orang yang dianggap simpatisan oposisi. Jurnalis Inggris Robert Fisk, yang berada di Hama saat pembantaian terjadi, mengklaim ada 20 ribu jiwa. Sedangkan Komite HAM Suriah mencatat 25-40 ribu tewas dan 17 ribu lainnya hilang.
Pemerintahan Assad sebisa mungkin menutupi Pembantaian Hama 1982 dengan menyatakan tragedi itu sekadar “peristiwa” atau “insiden”. Kendati begitu, dunia internasional mengecam dengan menyatakan Pembantaian Hama 1982 menjadi satu simbol represi brutal Rezim Assad yang bahkan termasuk ke dalam genosida.
Baca juga: Tepung Seharga Nyawa di Gaza