Masuk Daftar
My Getplus

Dilema Belanda dalam Pengakuan Proklamasi 17 Agustus 1945

Belanda mengingkari proklamasi 17 Agustus 1945 dengan menghalalkan berbagai cara.

Oleh: Randy Wirayudha | 30 Des 2021
Ilustrasi tentara Belanda memasuki perkampungan sipil di Indonesia (NIMH)

DUA puluh tujuh Desember 72 tahun yang lampau, Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan bekas wilayah jajahannya kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Sampai detik ini, tanggal tersebut diakui Belanda secara de jure sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada 17 Agustus 1945 sekadar mereka akui secara de facto.

“Sampai detik ini Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Ini sudah keluar dari etika diplomatik. Kalau dua negara saling berhubungan diplomasi, seharusnya keduanya saling mengakui dan menghargai,” ujar Batara Richard Hutagalung, pendiri Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), dalam webinar bertajuk “Kejahatan Kolonial Belanda dan Pengingkaran terhadap Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945” yang digelar Forum Diskusi Indonesia Menggugat via Zoom, Senin (27/12/2021).

Bagi Batara, hubungan diplomatik RI-Belanda adalah relasi yang janggal. Pasalnya secara hukum, Belanda belum mengakui proklamasi beserta institusinya, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Memang pada 16 Agustus 2005 Menteri Luar Negeri (Menlu) Belanda Bernard Rudolf Bot menerima proklamasi 17 Agustus 1945, namun itu sekadar de facto. Artinya, Belanda mengakui fakta RI eksis sebagai sebuah entitas tapi tidak berlandaskan hukum alias de jure.

Advertising
Advertising

“Saya sudah menyampaikan petisi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Agustus 2013 dan petisi kepada Presiden Jokowi Agustus 2015, agar memutus hubungan yang janggal antara Indonesia dan Belanda karena Belanda hanya mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949. Ini demi kedaulatan dan martabat bangsa. Indonesia pernah memutus hubungan dengan Belanda tanggal 17 Agustus 1960. Jadi sekarang katanya ada perbedaan pandangan antara Indonesia dan Belanda. Tidak ada. Proklamasi 17 Agustus 1945 dipandang dari segala sudut itu sah,” sambungnya.

Baca juga: Kunjungan Pertama Penguasa Belanda ke Indonesia

Sah yang dimaksud yakni sah secara hukum internasional berdasarkan Montevideo Convention on the Rights and Duties of States. Konvensi itu merupakan hasil dari penandatanganan oleh 20 pemimpin negara Benua Amerika dalam Konferensi Internasional Negara-Negara Benua Amerika di Montevideo, Uruguay pada 26 Desember 1933. Meski begitu, teori deklarasi berdirinya sebuah negara diterima sebagai hukum internasional.

“Jadi landasan hukum internasional mengenai syarat suatu negara menjadi negara berdaulat, itu hanya tiga: adanya wilayah, adanya penduduk permanen, dan ada pemerintahan. Titik. Tidak dibutuhkan pengakuan siapapun. Yang penting dalam menyatakan kemerdekaan suatu negara, itu sanggup mempertahankan diri. Seperti Indonesia, Vietnam, USA, dan negara-negara Amerika Selatan, itu sanggup mempertahankan diri dari agresi militer mantan penjajahnya,” lanjut Batara.

Batara Richard Hutagalung, salah satu pendiri KUKB (Dok. Historia)

Keabsahan tentang sebuah negara yang berdaulat dipertegas lagi dengan lahirnya Piagam Atlantik yang diprakarsai Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt dan PM Inggris Winston Churchill di Placenta Bay, Kanada pada 9-12 Agustus 1941. Mengutip Julius Stone dalam “Peace Planning and the Atlantic Charter” yang termuat dalam jurnal Australian Quarterly edisi Juni 1942, piagam itu berisikan delapan butir prinsip-prinsip utama tentang negara yang berhak menentukan nasibnya dan bebas secara politik, sosial, dan ekonomi.

Oleh karenanya, eksistensi RI sejak 17 Agustus 1945 sejatinya sudah sah secara hukum internasional. Pasalnya, secara historis, negara Hindia Belanda sebagai koloni Kerajaan Belanda sudah musnah sejak menyerah dari Jepang di Kalijati pada 8 Maret 1942. Otomatis wilayahnya jatuh ke tangan pemerintahan militer Jepang.

“Kemudian Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945. Tetapi dokumen menyerah tanpa syarat oleh Jepang itu baru ditandatangani pada 2 September 1945. Ini artinya dalam hukum internasional, antara tanggal 15 Agustus-2 Septeber 1945, terjadi yang namanya vacuum of power. Di masa vacuum of power tersebut pada 17 Agustus 1945 para pemimpin di bekas wilayah pendudukan Jepang menyatakan kemerdekaan Indonesia. Jadi di situ dinyatakan berdirinya negara dan bangsa Indonesia,” tambahnya.

Baca juga: Mencari Titik Temu Dua Sudut Pandang Sejarah

Pengingkaran Secara Fisik dan Psikologis

Inilah yang coba diingkari Belanda saat kembali ke Indonesia dengan dibantu Sekutu-Inggris dan Australia. Menilik Perjanjian Chequers, antara Inggris dan Belanda, 28 Agustus 1945, Inggris jelas akan membantu Belanda merekolonisasi bekas wilayahnya, tak peduli walau RI sebagai entitas sebuah negara sudah berdiri 11 hari sebelumnya.

“Pada pertemuan di Chequers, di rumah peristirahatan PM Inggris, pihak Inggris dan pemerintahan Belanda meneken Perjanjian Administrasi Sipil (CAA), sebuah pakta Inggris-Belanda rahasia yang punya tujuan utama merestorasi kekuasaan Belanda atas kepemilikan tanah koloninya, bernama NEI (Hindia Belanda, red.),” tulis Ooi Keat Gin dalam Post-War Borneo, 1945-1950: Nationalism, Empire, and State-Building.

Maka Belanda menjamah kembali Indonesia dengan kekuatan militernya. Seiring waktu, sedikit demi sedikit Belanda meraih lagi wilayah kekuasaannya di Indonesia. Seiring dengannya, perang psikologis juga dilancarkannya. Sejarawan Universitas Indonesia Dr. Ambar Wulan mendapati banyak data dan arsip Jawatan Kepolisian (kini Polri) terkait aksi-aksi non-militer Belanda untuk melemahkan Indonesia secara ekonomi, sosial, dan politik yang belum banyak ditemukan di literatur-literatur mainstream.

“Saya coba mempertemukan antara strategi perang semesta dengan laporan-laporan intelijen kepolisian berupa tindakan-tindakan undercover oleh Belanda. Tindakan-tindakan Belanda yang non-militer, bagaimana Belanda melakukan serangan-serangan ekonomi, mendegradasi moral rakyat Indonesia memperjuangkan kemerdekaan. Kemudian bagaimana serangan-serangan politik intelijen undercover Belanda,” ungkap Ambar.

Baca juga: Penelitian Menyeluruh Kekerasan Serdadu Belanda di Indonesia

Tindakan-tindakan itu antara lain upaya mencampuri urusan keamanan dalam negeri RI. Belanda mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan kala sejumlah gerakan oposisi di internal republik pasca-Perundingan Linggarjati  timbul.

“Belanda ingin ikut mengelola dan mengatur keamanan dalam negeri dan itu ditolak oleh PM Amir Syarifuddin. Belanda ingin menunjukkan bagaimana RI tidak mampu mengelola keamanannya. Jika Belanda bisa ikut campur, artinya Belanda ingin mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia tidak laik menjadi sebuah negara,” imbuhnya.

Kolase pasukan Belanda membakar perkampungan di Indonesia (NIMH)

Tak berhenti sampai di situ, Belanda melancarkan gangguan keamanan terhadap wilayah RI sebagai bagian dari Total War atau perang semestanya. Selain dengan menyelundupkan ribuan uang palsu ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), Belanda juga menyebar mata-mata dan kaki-tangannya untuk menimbulkan kegelisahan di kalangan rakyat bawah.

“Ada juga Belanda menciptakan kriminalitas by design. Saya menemukan satu arsip dari Djawatan Kepolisian, di mana Belanda mencoba membuka penjara yang berisi tentunya penjahat, di daerah Surakarta untuk melakukan kejahatan di wilayah republik,” terang Ambar.

Baca juga: Penelitian tentang Kejahatan Perang Belanda di Indonesia

Itu belum termasuk tindakan-tindakan kejahatan Belanda sendiri di daerah pendudukannya. Seperti perampasan harta-benda, intimidasi, penculikan, hingga rudapaksa. Acapkali atas banyak tindakan kejahatan undercover-nya itu Belanda kemudian menuduhkannya kepada pihak republik.

“Memang itu terjadi dan itu pernah terjadi saat Perang 10 November di Surabaya. Banyak info yang menyebutkan tokoh-tokoh pejuang itu berbuat kriminal, anarkis terhadap mantan-mantan tahanan (interniran) Jepang pada saat mereka mau kembali ke Belanda,” tutur Bambang Sulistomo, putra pahlawan nasional Bung Tomo.

Bambang Sulistomo, putra pahlawan Soetomo alias Bung Tomo (Tangkapan Layar Webinar)

Bambang menengarai, itu taktik Belanda untuk menyebar fitnah kepada kalangan masyarakat. Tujuannya agar tokoh-tokoh perjuangan tak dielu-elukan masyarakat.

“Bagaimana mereka men-design berbagai macam kejahatan seolah-olah itu diciptakan pejuang-pejuang sehingga para pejuang itu tidak muncul keluar. Orangtua kami pernah dituduh melakukan tindakan anarkis,” tambahnya.

Tuntutan yang Tak Kedaluwarsa

Berbagai kejahatan Belanda, baik teror psikis ataupun kekerasan fisik, meninggalkan luka mendalam di benak bangsa Indonesia namun nyaris tanpa penyelesaian secara hukum. Itu menjadi ironis karena International Criminal Court (ICC) berada di Den Haag, Belanda.

Berangkat dari keprihatinan itu, Batara dan beberapa tokoh “Angkatan 45” membentuk Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) pada 5 Mei 2002 untuk menuntut pemerintah Belanda. KUKB ingin mengajukan tuntutan berpegangan pada Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes Against Humanity yang digagas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 26 November 1968.

“Jadi untuk kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan tidak diterapkan asas kedaluwarsa. Sampai kapanpun bisa dituntut. Dipertegas dalam Statuta Roma 1998, ini menjadi landasan dari berdirinya ICC di Den Haag. Di dalam ICC ditetapkan empat kejahatan yang tidak mengenal kedaluarsa: genosida, kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaaan, dan kejahatan agresi. Keempatnya ini dilakukan tiga negara tersebut (Inggris, Belanda, dan Australia),” sambung Batara.

Baca juga: Belanda Akan Minta Maaf Kepada Indonesia

Pada 1999, Batara dan tokoh-tokoh “Angkatan 45” juga membentuk Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman Inggris 10 November 1945. Pendirian itu berangkat dari penelitian Batara sejak 1994. Dalam waktu kurang dari setahun, komite itu berhasil mendatangkan permintaan maaf resmi pemerintah Inggris melalui Duta Besar Inggris untuk RI, Richard Gozney, pada 27 Oktober 2000.

“Di situ beliau, dalam bahasa Indonesia tanpa teks, mengatakan atas nama pemerintah dan rakyat Inggris meminta maaf atas peristiwa tersebut dan bahwa mohon pengertian untuk melihat situasi pada waktu itu. Dia mengakui terus terang bahwa memang pada waktu itu politik Inggris adalah membantu Belanda memperoleh kembali jajahannya,” kenang Batara.

Kolase pembantaian serdadu Belanda terhadap penduduk sipil Indonesia (NIMH)

Dengan membentuk lagi KUKB dengan para tokoh yang sama, Batara mulai membidik pemerintah Belanda pada 20 Maret 2002. Mereka melakukan aksi demonstrasi di Kedutaan Belanda ketika Belanda memperingati 400 tahun berdirinya Kongsi Dagang Hindia Timur VOC. KUKB melayangkan tiga tuntutan: pengajuan de jure kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, permintaan maaf kepada bangsa Indonesia, dan tanggungjawab atas kehancuran yang diakibatkan oleh agresi militer Belanda 1945-1949.

“Jadi di sini pengertiannya utang kehormatan, bukan utang uang. Walaupun ujung-ujungnya kita tuntut war reparations, pampasan perang. Jadi tidak ada dalam konsep kami itu untuk menuntut kompensasi orang per orang,” jelasnya.

Baca juga: Maaf dan Ganti Rugi Belanda atas Penjajahan di Indonesia

Bersama ketua dewan penasihat KUKB, Laksma (Purn) Mulyo Wibisono, Batara melawat ke Parlemen Belanda pada 15 Desember 2002. Mereka menyampaikan dua pertanyaan besar. Pertama, mengapa sampai begitu lama Belanda belum juga mau mengakui proklamasi 17 Agustus 1945 secara de jure. Kedua, mengapa kasus-kasus kejahatan perang tentara Belanda dipetieskan.

“Di sana saya menyampaikan contoh kasus (pembantaian) Rawagede. Kemudian, pada 18 Desember saya membentuk KUKB Cabang Belanda, di mana saya mengangkat Jeffry Pondaag sebagai ketua dan Charles Suryadi sebagai sekretaris. Jeffry ini sejak 2002, ketika kami mengadakan deklarasi untuk menuntut pemerintah Belanda, dia minta mandat sebagai perwakilan KUKB di Belanda,” ungkap Batara.

Kemudian Batara menugaskan Jeffry untuk mencari pengacara guna membawa pemerintah Belanda ke ICC. Publik Belanda pun gempar. Generasi muda di Belanda, kata Batara, sebenarnya tidak keberatan mengakui 17 Agustus 1945. Yang keberatan adalah veteran Belanda.

Baca juga: Mayoritas Responden Tuntut Belanda Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945

Pemerintah Belanda pun dilematis. Jika mengakui de jure, berarti Belanda harus mengakui bahwa yang mereka namakan Aksi Polisionil I dan II adalah agresi militer terhadap negara merdeka dan berdaulat. Lalu tentara Belanda yang sudah mendapat bintang jasa dan penghargaan tiba-tiba menjadi penjahat perang.

“Saya sampaikan di Belanda, it’s your problem. Kalau mau ada hubungan diplomatik harus ada saling mengakui. Oleh sebabnya saya sampaikan, hubungan RI-Belanda ini ilegal, karena UUD kita 1945 bukan 1949. Buntutnya nanti kita bisa tuntut pampasan perang. Yang pertama harus dikembalikan itu 4,5 miliar gulden yang dibayarkan hasil KMB (Konferensi Meja Bundar) 1949. Di dalam 4,5 gulden itu di dalamnya membiayai dua agresi militer. Ini yang tidak masuk akal. Bukannya Belanda yang membayar Indonesia tapi kok Indonesia yang membayar Belanda?” kata Batara lagi.

Namun sebagaimana ayahnya, Letkol dr. Wiliater Hutagalung, dan beberapa pejuang lain di masa revolusi fisik, perjuangan Batara dkk. menemui jalan terjal dan “pengkhianatan”. Bermula dari persoalan uang sumbangan dari ketua dewan penasihat KUKB, Abdul Irsan.

“Jadi pak Abdul Irsan menyumbang 1000 dolar, menugaskan Jeffry untuk membentuk yayasan dan mencari pengacara. Tapi Jeffry tidak mau mempertanggungjawabkan dan kemudian keluar pernyataan dari KUKB Belanda, bahwa mereka tidak merasa di bawah KUKB Jakarta. Oleh karena itu ketua dewan penasihat memecat Jeffry dari KUKB dan otomatis tidak berlaku lagi,” terangnya.

Profesor Liesbeth Zegveld (kiri) pengacara yang sempat menangani para keluarga korban pembantaian tentara Belanda (Randy Wirayudha/Historia)

Di Belanda kemudian muncul Yayasan KUKB. Dengan menggandeng pengacara Belanda Liesbeth Zegveld, pada 2009 yayasan memfasilitasi sembilan janda korban pembantaian Rawagede untuk menuntut pemerintah Belanda. Para janda itu dibawa Zegveld ke pengadilan sipil Belanda, bukan ICC seperti niat awal. Alasannya, Zegveld enggan menyentuh isu politis.

Pengadilan sipil Belanda lalu memvonis pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggungjawab. Di butir kedua (vonis) disebutkan fakta bahwa wilayah Rawagede sampai akhir 1949 adalah wilayah Belanda dan oleh karena itu masuk yuridiksi Belanda.

“Kemudian saya baca argumentasi Zegveld, dia mewakili janda-janda dari Rawagede sebagai warga Belanda. Di sini poin yang terpenting. Jadi mereka yang dapat kompensasi waktu itu bukan sebagai rakyat Indonesia tapi warga Belanda. Ini kemudian dilanjutkan untuk mengajukan keluarga korban dari Sulawesi. Saya sudah sampaikan waktu itu ke sekjen yang di Belanda, Purbo Hadinoto, hentikan itu. Ini pengkhianatan!” seru Batara.

Baca juga: Harga untuk Kemerdekaan Indonesia

Bagi Batara dkk., langkah Jeffry Pondaag di KUKB jelas menyimpang jauh dari cita-cita awal. Ia pun prihatin dan tak habis pikir bagaimana para keluarga korban menuntut kompensasi yang tak seberapa sebagai warga Belanda yang sama saja mengakui Belanda masih menguasai Indonesia hingga 27 Desember 1949.

“Saya katakan itu adalah pengkhianatan. Karena pengkhianatan terhadap pejuang-pejuang RI. Mereka gugur untuk mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945, mengapa sekarang janda dan anak-anaknya ngemis-ngemis uang kecil sebagai warga Belanda? Bahwa Jeffry itu memperjuangakan para janda itu sebagai warga Belanda. Jadi yang dapat kompensasi itu bukan rakyat Indonesia,” tandasnya.

Sementara itu, Jeffry yang dikonfirmasi Historia justru mempertanyakan pernyataan Batara. Lebih-lebih, menurut Jeffry, Batara sudah tidak aktif di KUKB sejak 2006.

“Sekarang kalau tentang apa yang dikatakan oleh dia (Batara), itu sebetulnya karena dia tidak terlibat. Yang jelas dia sudah mengundurkan diri kok. Dia sendiri yang minta mengundurkan diri karena ada pekerjaan di Maluku. Saya masih ada e-mail-nya kok. Dari awal dia memang terlibat, terus dia mengundurkan diri dan kita minta Ray Sahetapy jadi ketua,” kata Jeffry saat dihubungi Historia.

Baca juga: Keluarga Korban Westerling Menangkan Gugatan

Jeffry melanjutkan, Batara sempat ingin kembali ke KUKB. Akan tetapi dia ditolak dengan beberapa alasan tertentu.

“Jadi kita di sini tidak setuju dengan cara dia. Dan juga kalau dia ngomong, hanya untuk dia sendiri. Pasti kawan-kawan lain juga tidak dia sebut. Saya dan ada beberapa kawan, 8-9 orang padahal yang bantu mengorganisir sampai dia bisa datang ke parlemen Belanda (tahun 2005). Dia juga pernah datang ke kantor pengacara (Liesbeth Zegveld), ditolak dia. Dia enggak mau diterima,” sambungnya.

Terkait gugatan para janda korban pembantaian tentara Belanda di Rawagede, Sulawesi, dan Rengat yang dimenangkan di pengadilan sipil Belanda, menurut Jeffry, itu karena hampir tidak ada cara lain untuk bisa mengguggat. Yayasan KUKB bahkan sampai berfriksi hingga Zegveld mengundurkan diri pada Agustus 2021.

“Soal (dasar hukum Konvensi PBB 1968) itu kan sudah ditelusuri oleh kantor pengacara (Zegveld). Satu-satunya jalan untuk menggugat pemerintah Belanda secara pribadi. Kita (yayasan) menggugat tidak bisa karena bukan korban langsung,” tambah Jeffry.

Baca juga: Mencari Titik Temu Dua Sudut Pandang Sejarah

Beberapa keluarga korban kemudian memang memenangkan gugatan. Tetapi, vonisnya sama saja menganggap para korban yang dibunuh adalah warga Hindia Belanda, bukan Indonesia. Ini yang juga jadi letak permasalahan yang membuat Zegveld mundur.

“Itu bukti pengadilan Belanda adalah pengadilan kolonialis. Saya bilang ke pengacaranya, itu kalau (persoalan) zaman kolonial harus bahas juga di pengadilan. Saya mendesak ke pengacara untuk membahas zaman kolonialnya, ini dia legal atau tidaknya. Di situ dia tidak mau. Karena itu di dalam satu vonis, tertulis bahwa militer Belanda melakukan mereka punya pekerjaan itu legal. Di situ saya tidak setuju. Bagaimana bisa legal dan menganggap itu wilayah mereka?” jelasnya.

Raja Belanda Willem-Alexander (kiri) saat mengunjungi Presiden RI Joko Widodo di Istana Bogor pada Maret 2020 (Fernando Randy/Historia)

Kini, satu-satunya peluang hanya gugatan ke pengadilan sipil yang masih bisa ditempuh. Sebab, mengajukan tuntutan kepada pemerintah Belanda ke ICC hampir mustahil.

“Enggak bisa, ICC terbentuknya setelah 1949. Kalau mau menggugat (ke ICC) itu hanya pemerintah kita yang bisa. Anda tahu sendiri bagaimana pemerintah kita. Waktu itu, masak (presiden) Jokowi diam saja waktu Raja Belanda minta maaf atas kekerasan ekstrem? Kan aneh. Kok Pak Jokowi diam saja? Dan juga bagaimana itu (penjajahan) 350 tahun?” tukas Jeffry.

Baca juga: Kemenangan Semu Atas Kejahatan Perang Belanda

TAG

pembantaian rawagede agresi militer belanda serdadu-belanda

ARTIKEL TERKAIT

Banjir Darah di Puri Smarapura Penelitian Dekolonisasi Belanda Membuka Perdebatan Baru Umpatan Serdadu Belanda di Danau Toba Benarkah Westerling Sakti Mandraguna? Keluarga Korban Westerling Menangkan Gugatan Raja Jacob Ponto Dibuang ke Cirebon Ali Alatas Calon Kuat Sekjen PBB Mempertanyakan Solusi Dua Negara Israel-Palestina Lobi Israel Menyandera Amerika? Tante Netje 54 Tahun Jadi Ratu