Masuk Daftar
My Getplus

Tjoet Nja’ Dhien Petarung Konsisten

Gelora perlawanan Tjoet Nja’ Dhien di Perang Aceh yang tragisnya dipatahkan pengkhianatan. Peringatan spoiler!

Oleh: Randy Wirayudha | 24 Agt 2021
Epos Tjoet Nja' Dhien yang dikemas dalam drama biopik pada 1988 direstorasi dengan lebih jernih (Tangkapan Layar Mola TV)

RUANGAN sederhana di pedalaman Aceh itu hening dan temaram diterangi obor di suatu malam pada 1896. Di sana, Teuku Umar (diperankan Slamet Rahardjo) sedang bertukar pikiran dengan para panglimanya. Pemimpin gerilya Aceh itu lalu merenung sejenak sebelum mengutarakan niatnya melancarkan serangan fisabilillah terhadap kaphe-kaphe Belanda.

“Kalian harus ingat! Udep saree, matee syahid!” ujar Teuku Umar kepada pasukannya yang disambut gema takbir serentak.

Sang istri, Tjoet Nja’ Dhien (Christine Hakim), dan putrinya, Tjoet Gambang (Hendra Yanuarti), hanya bisa mendoakan. Sebagai perempuan Aceh, ia pun muak dengan keberingasan Belanda sejak Perang Aceh yang bergulir 23 tahun ke belakang.

Advertising
Advertising

Baca juga: Semesta Wiro Sableng Menyapa Dunia

Kolase sosok Teuku Umar (Tangkapan Layar Mola TV)

Sementara, petinggi militer Belanda di Kutaradja (kini Banda Aceh) yang belajar dari pengalaman, mendatangkan ribuan pasukan Korps Marechaussee te Voet pimpinan Letkol Johannes Benedictus van Heutsz (Huib van den Hoek) dari Jawa. Pasukan khusus anti-gerilya itu punya taktik lebih mobile dan bengis.

Gabungan pasukan Marechaussee dan tentara reguler KNIL (Tentara Hindia Belanda) itu, yang diperkuat informasi dari pengkhianat bernama Teuku Leubeh (Muhamad Amin), mampu mematahkan perlawanan Teuku Umar. Teuku Umar tertembak dan tewas kala menyerang Belanda di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Tetapi itu bukanlah akhir dari perjuangan rakyat Aceh. Kematian Teuku Umar justru menggelorakan semangat Tjoet Nja’ untuk meneruskan perlawanan.

“Berjuang melawan kaphe-kaphe Belanda adalah bagian dari keimanan… Aku bersyukur karena yang ada di sekelilingku sekarang hanyalah mereka, orang-orang kita, yang mengerti arti perjuangan dalam keimanan,” ujar Tjoet Nja’ Dhien.

Baca juga: Wiro Sableng si Pendekar Konyol dan Ajaran 212

Letnan Kolonel Joannes Benedictus van Heutsz yang memimpin Korps Marechaussee (Tangkapan Layar Mola TV)

Adegan-adegan itu jadi permulaan film drama Tjoet Nja’ Dhien. Film ini disutradarai penulis Eros Djarot.

Adegan beringsut ke upaya Tjoet Nja’ Dhien membawa keluarga dan warganya melanjutkan jihad dengan bergerilya di pedalaman. Ia bersama Pang Laot (Piet Burnama), panglima yang paling setia sejak masa Teuku Umar, memimpin sisa pasukan mendiang suaminya.

Tak hanya cermat dalam taktik gerilya, Tjoet Nja’ juga pandai menjalin jaringan untuk mendukung perjuangannya dari segi perbekalan dan persenjataan. Suatu waktu, ia menyamar jadi rakyat jelata untuk masuk ke Meulaboh dan bertemu Habib Meulaboh (Rosihan Anwar). Ia diberikan bantuan harta yang digalang sang habib untuk perjuangan. Tjoet Nja’ lalu menggunakan harta itu untuk membeli senjata api dari seorang saudagar Portugis.

Baca juga: Kemasan Anyar Nagabonar

Adegan negosiasi Tjoet Nja' Dhien dengan saudagar Portugis (Tangkapan Layar Mola TV)

Sang saudagar Portugis mengaku terkesan dengan perjuangan Tjoet Nja’. Jika perwira-perwira Belanda melancarkan perang berkepanjangan demi harta dan tahta, Tjoet Nja’ berperang dengan tulus demi membebaskan negerinya dari penjajah Belanda.

“Semua ini politik. Bila pemberontakan berhenti, pemerintah pusat juga akan menghentikan dana perang yang begitu besar jumlahnya. Kenapa Van Heutsz bawa pasukan begitu besar? Hanya untuk uang, pangkat. Money and glory. Mereka itu berjuang demi gaji. Dunia ini penuh permainan. Banyak juga orangmu yang jadi pengkhianat hanya karena uang ,” kata sang saudagar itu.

“Bagaimana dengan tuan sendiri?” tanya Tjoet Nja’.

“Ingat, Tjoet Nja’, aku seorang pedagang. Di mana ada uang mengalir, di situlah aku berada. Kalau ada pedagang besar teriak-teriak: ‘Aku berjuang untuk negeri ini!’ Ah, omong kosong. Aku benci orang munafik.”

Baca juga: De Oost dan Ikhtiar Menyembuhkan Luka Lama

Sosok Teuku Leubeh, saudagar besar yang mengkhianati perjuangan rakyat Aceh (Tangkapan Layar Mola TV)

Kata-kata sang saudagar ditujukan pada pengkhianatan Teuku Leubeh. Ia juga yang menginformasikan di mana dan kapan bisa menghabisi sang pengkhianat itu.

Namun, pembunuhan terhadap Teuku Leubeh tak menghentikan pengkhianatan. Tjoet Nja’ kemudian mengendus pengkhianatan Nja’ Fatma, pembantunya sendiri, yang mengaku terpaksa melakukannya demi membebaskan suami dan anaknya. Fatma lantas dibunuh Nja’ Bantu (Rita Zaharah), pembantu lain Tjoet Nja’.

Ketika Tjoet Nja’ tergolek sakit, Nja’ Bantu mengorbankan diri dalam sebuah pertempuran. Ia memakai pakaian selaiknya Tjoet Nja’ untuk memimpin pertempuran.

Baca juga: De Oost, Perang Westerling di Timur Jauh

Pang Laot yang mengaku terpaksa berkhianat demi keselamatan Tjoet Nja' Dhien (Tangkapan Layar Mola TV)

Makin lama, perlawanan Tjoet Nja’ makin lemah. Pada 1906 ia terdesak ke pedalaman Beutong Le Sageu dengan kondisi kesehatan yang memburuk serta jumlah pasukan dan persenjataan yang menipis.

Kondisi itu membuat Pang Laot kian prihatin dan akhirnya membelot. Diam-diam ia menemui perwira Marechaussee, Kapten Veltman (Rudy Wowor). Dia lalu mengultimatum Tjoet Nja’: jika bersedia bekerjasama, akan diberi jaminan perawatan dan takkan diasingkan dari tanah Aceh.

Bagaimana kelanjutan kisah Tjoet Nja’ Dhien yang dikhianati panglima terdekatnya itu? Biar lebih seru, sepatutnya Anda saksikan sendiri di aplikasi daring Mola TV.

Versi Restorasi

Tjoet Nja’ Djien yang ditayangkan Mola TV sejak 17 Agustus 2021 ini adalah film versi kedua hasil restorasi. Mengutip laman resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 10 Juli 2021, film yang memenangi Piala Citra di kategori film terbaik Festival Film Indonesia 1988 ini ditransformasi dari pita seluloid ke Digital Camera Package (DCP) agar secara visual dan audionya lebih jernih.

Film Tjoet Nja’ Djien mulanya punya dua salinan. Salinan pertama berdurasi 132 menit, dirilis pada 1988. Versi kedua durasinya lebih pendek, 108 menit, dan dirilis setahun setelahnya. Versi kedua itulah yang lantas direstorasi oleh IdFilmCenter Foundation, Haghefilm Digitaat, dan Eye Filmmuseum dalam kurun 2017-2018  dengan alasan bahwa kualitas audio versi 1989 lebih baik dan lebih mudah untuk direstorasi ketimbang versi 1988.

Baca juga: Bumi Manusia Rasa Milenial

Lantunan syair-syair Aceh untuk membangkitkan semangat pasukan Tjoet Nja' Dhien (Tangkapan Layar Mola TV)

Hasilnya, generasi sekarang bisa lebih sedap menghayati alur demi alur kisah perjuangan Tjoet Nja’ Dhien tanpa terganggu gambar buram dan suara yang buruk.

Sang sutradara selain menyemarakkan film dengan adegan-adegan peperangan nan epik juga menyuguhkan pemandangan bentangan alam pegunungan hingga pantai elok tanah Aceh. Audio yang direstorasi juga membuat penonton bisa lebih merasakan suasana Aceh lewat music scoring melankolis Melayu garapan komposer Idris Sardi. Nuansa kultur Aceh makin terasa dengan lantunan syair-syair Aceh yang diiringi rapai (alat musik tabuh khas Aceh).

Baca juga: Tabula Rasa yang Menggugah Selera

Hasil restorasi juga sangat terang memampang berbagai detail wardrobe dan properti yang terbilang apik di masanya. Para gerilyawan Aceh digambarkan tak hanya berjuang dengan rencong, tombak, dan klewang namun juga sudah membawa senapan seperti blunderbuss.

Detail properti dan wardrobe KNIL dan Marechaussee sangat kentara hasil riset matang. Berbagai atribut seragamnya cukup sesuai dengan masanya, pun dengan senjata karbin Mannlicher M-1888 yang sohor sebagai senjata khas Marechaussee selain klewang.

Kendati begitu, bukan berarti hasil versi restorasinya sempurna. Banyak cutting saat pergantian adegan tak begitu halus atau presisi. Alhasil, cukup mengganggu.                                

Keturunan Petarung yang Konsisten

Rambut memutih, kerutan di wajah, dan usianya tak muda lagi tak mengurangi semangat Tjoet Nja’ untuk angkat senjata. Kharisma membuat pengikutnya begitu hormatinya dan lawannya begitu menyeganinya.

“Dhien, istri (Teuku) Umar, adalah wanita yang berbahaya. Dia adalah putri dari Teuku Nanta Seutia, musuh besar Jenderal van Swieten. Dan suami pertamanya, Ibrahim Lam Nga, juga seorang panglima perang. Saya juga pernah menjelaskan ini kepada Tuan Snouck Hurgronje. Dialah otak dari Teuku Umar,” terang sang pengkhianat, Teuku Leubeh, kepada Letkol Van Heutsz dalam sebuah adegan di film.

Baca juga: Christine Hakim Bicara tentang Tjoet Nja' Dhien

Sosok Tjoet Nja' Dhien yang diperankan Herlina Christine Natalia Hakim (Wikipedia/Mola TV)

Dialog itu jadi upaya tim produksi menampilkan latarbelakang singkat Tjoet Nja’ yang lahir di Lampadang (kini Lamteh) sekitar tahun 1848. Mengutip H. M. Zainuddin dalam Srikandi Atjeh, ayahnya, Teuku Nanta Seutia, merupakan uleebalang di wilayah Kesultanan Aceh. Ia masih punya garis keturunan Datuk Makhudum Sati, salah satu perantau Minangkabau pertama di tanah Aceh. Sementara, ibunya sampai kini masih samar identitasnya. Hanya disebutkan ia putri dari seorang uleebalang.

“Teuku Nanta Muda Seutia Radja menikahi seorang putri bangsawan Lampagar. Sebab itu pula ia dianggap seorang uleebalang yang gagah berani oleh Sultan Alaiddin Mansjursjah. Teuku Nanta Seutia mendapat 2 orang putra dan seorang putri. Di antaranya dua anak laki-laki itu seorang meninggal, seorang lagi Teuku Tjut Rajeuk kurang sempurna akalnya. Anak yang putri dinamainya Tjut Dhien dan elok parasnya, baik budi pekertinya dan tingkah lakunya tangkas,” tulis Zainuddin.

Baca juga: Cut Nyak Dhien Berhijab?

Sebagai salah satu uleebalang dan panglima, Teuku Nanta Seutia turut menyabung nyawa menghadapi kolonial Belanda yang mendeklarasikan perang terhadap Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873. Dalam serangkaian perlawanannya, turut pula seorang uleebalang lain, Teuku Ibrahim Lam Nga, suami pertama Tjoet Nja’.

“Awal mula perang dipicu kesepakatan Traktat Sumatera 1871 antara Inggris-Belanda yang memberikan keleluasaan Belanda meluaskan pengaruh di Pulau Sumatera dan Inggris menguasai Semenanjung Malaya. Pihak Inggris dan Belanda mengabaikan kedaulatan Kesultanan Aceh yang sebelumnya diakui dalam Traktat London 1814. Ketika itu kekuasaan kolonial diberi hak mengeksplorasi merica dan hasil hutan,” tulis Jean Rocher dan Iwan Santosa dalam KNIL: Perang Kolonial di Nusantara dalam Catatan Prancis.

Kolase Teuku Umar, suami kedua Tjoet Nja' Dhien (KITLV)

Para pejuang Aceh menghadapi pasukan ekspedisi kedua Hindia Belanda yang turun dari kapal frigat Citadel van Antwerpen di pesisir timur Aceh. Pasukan ekspedisi itu terdiri dari 10 ribu kombatan KNIL pimpinan Jenderal Jan van Swieten yang dilengkapi dua senjata mesin gatling dan 75 meriam. Teuku Ibrahim syahid pada Juni 1878 dalam sebuah pertempuran di Lembah Beurandeun Gle’ Taron, sementara Teuku Nanta kembali ke kampung halamannya karena usia yang kian renta.

Setelah beberapa bulan menjanda, Tjoet Nja’ dilamar Teuku Umar. Teuku Umar bukanlah orang asing baginya. Dari silsilah, Teuku Umar terhitung masih keponakan Teuku Nanta Seutia. Tjoet Nja’ bersedia dengan memberi syarat diperbolehkan ikut bergerilya bersama suaminya.

Baca juga: Upaya Belanda Mengalahkan Aceh

Setelah Teuku Umar gugur pada 11 Februari 1899, Tjoet Nja’ bersama putrinya, Tjoet Gambang, berikrar melanjutkan jihad sebagai seorang janda. Ia mengikuti heroisme Laksamana Keumalahayati kala menghadapi armada Portugis dan VOC (Kongsi Hindia Timur) di peralihan abad ke-16 dan abad ke-17.

“Tradisi kepahlawanan perempuan Aceh telah dibangun 4 atau 5 abad sebelum mereka terlibat perang dengan Belanda. Laksamana Keumalayahati, seorang jenderal militer pertahanan laut Kesultanan Aceh, mampu menjadi penguasa laut berpengaruh dan disegani di seluruh Laut Andaman, Laut Aceh, Selat Malaka sampai pantai barat Sumatera. Keumalayahatilah yang menundukkan Portugis dan Spanyol di seluruh kekuasaan perairan Aceh,” ungkap Juftazani dalam De Atjeh Oorlog: 1873-1890.

Adegan penangkapan Tjoet Nja' Dhien (Tangkapan Layar Mola TV)

Taktik gerilya Tjoet Nja’ dan sejumlah tokoh Aceh di wilayah lain melelahkan Belanda dan pihak Aceh. Selain menggembosi kas pemerintah kolonial di Batavia, gerilya Tjoet Nja’ hingga empat dekade kemudian perang itu menimbulkan korban jiwa terbesar Belanda.

“Dari seluruh perang di kepulauan Nusantara, Perang Aceh adalah yang paling kejam dan berdarah. Perang Aceh adalah ujian kekuasaan Belanda dan KNIL. Secara keseluruhan jumlah prajurit Belanda yang gugur mencapai 37 ribu atau 10 kali lipat jumlah korban serdadu Belanda dalam Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1949),” tulis Rocher dan Iwan.

Baca juga: Kemenangan dan Kegagalan di Aceh

Namun, perlawanan Tjoet Nja’ dapat dipatahkan karena banyaknya pengkhianatan. Terakhir adalah pengkhianatan Pang Laot dengan niat “menyelamatkan” Tjoet Nja’ yang pada 1906 sudah menderita encok dan penglihatannya makin rabun. Ia pun disergap pasukan Belanda yang dipimpin Letnan van Vuuren setelah mendapat informasi lokasi persembunyiannya dari Pang Laot.

“Setelah pasukannya dikepung, Cut Nyak Dien mencabut rencongnya. Dia bermaksud menikam serdadu Belanda tapi berhasil dicegah. Setelah gagal, Cut Nyak Dien bermaksud menikam rencongnya ke dadanya sendiri yang juga berhasil dicegah. Setelah semua usahanya gagal, Cut Nyak Dien memaki-maki serdadu Belanda dengan mengatakan ia tidak ingin badannya dipegang tentara kafir. Badannya telah lemas tapi semangatnya tetap menyala. Letnan Van Vuuren kagum melihat keberanian pemimpin wanita Aceh ini. Ia memberikan penghormatan militer karena Cut Nyak Dien adalah musuh tentara Belanda yang satria,” tulis Mardanas Safwan dalam Teuku Umar.

Setelah ditangkap, semangat non-kooperasi Tjoet Nja’ tak luntur. Ia menolak pemberian akomodasi dan logistik dari pihak Belanda. Sikap tersebut terus dibawanya hingga akhir hayat.

Potret Tjoet Nja' Dhien (duduk, kedua dari kiri) di usia senjanya kala diasingkan di Sumedang (Tropenmuseum)

Deskripsi Film:

Judul: Tjoet Nja’ Dhien | Sutradara: Eros Djarot | Produser: Alwin Abdullah, Alwin Arifin, Sugeng Djarot | Pemain: Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Rudy Wowor, Hendra Yuniarti, Piet Burnama, Muhamad Amin, Robert Syarif, Rosihan Anwar, Rita Zahara, Huib van den Hoek, Herald Meyer | Produksi: Kanta Indah Film | Genre: Drama Biopik | Durasi: 105 menit | Rilis: 1988, 17 Agustus 2021 (Mola TV).

TAG

sejarah-aceh invasi aceh molatv

ARTIKEL TERKAIT

Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Ganden Sang Ksatria Kritik Adat dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck Adu Taktik Sniper di Front Timur Kala Prajurit TNI Memenuhi Panggilan Tugas Kisah Klopp dan Liverpool yang Klop Commander Arian dan Kemerdekaan Perempuan Iniesta, Pahlawan dari La Masia Angkringan Punya Cerita Gold dan Kisah Penipuan Tambang Emas di Kalimantan