Masuk Daftar
My Getplus

Upaya Belanda Mengalahkan Aceh

Taktik bertahan tentara Aceh begitu merepotkan pasukan tempur Belanda. Penghancuran dari dalamlah yang akhirnya menjatuhkan kerajaan kuat itu.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 18 Apr 2020
Potret perang Samalanga pertama pada 26 Agustus 1877 (Wikimedia Commons)

Rencana cepat Belanda mengamankan seluruh wilayah Sumatera terganjal di wilayah Aceh. Kerasnya perjuangan rakyat, serta medan yang asing membuat orang-orang dari Benua Biru ini harus rela mengalihkan seluruh fokusnya ke sana. Tentu bukan perkara mudah. Kurangnya informasi tentang daerah tersebut benar-benar membuat Belanda kewalahan.

Terbukti ketika pasukan tempur Belanda melakukan serangan ke wilayah itu pada 1873 –dikenal sebagai Perang Aceh Pertama. Di bawah pimpinan Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah, rakyat Aceh berhasil memukul mundur J.H. Kohler dan ribuan pasukannya. Mereka yang selamat kocar-kacir meninggalkan Aceh, sementara Kohler sendiri tewas dalam upaya pendudukan tersebut.

Kehilangan muka pada percobaan pertama membuat Belanda kembali merapatkan barisan di tahun berikutnya. Dalam penelitian Arndt Graf, dkk dalam Aceh: History, Politics, dan Culture, para pemimpin Belanda bersikeras menguasai wilayah Aceh yang strategis bagi kepentingan dagang mereka. Serangan besar pun disiapkan. Kekuatannya diperkirakan tiga kali lipat dari pendaratan yang pertama.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kemenangan dan Kegagalan di Aceh

“Kehilangan muka itulah hendak ditebusnya dengan segala keangkaramurkaan dan cara-cara yang jauh dari peri kemanusiaan, bahkan juga melanggar hukum internasional sendiri,” tulis Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad Jilid Kedua.

Namun Belanda harus menghadapi kenyataan bahwa persiapan perang rakyat Aceh begitu matang. Bagian pantai utara dan timur yang biasa menjadi tempat masuk kapal-kapal ke wilayah tersebut dijaga dengan sangat baik. Begitu pula jalur darat di selatan dan pantai barat yang tidak kalah ketat penjagaan dari pasukan kerajaan Aceh.

Menyerang dari Dalam

Demi bisa menghancurkan pertahanan rakyat di daerah-daerah tersebut, kata Said, Belanda menggunakan dua cara: Pertama, menghancurkan perkampungan dan pelabuhan dengan tembakan meriam dari kapal-kapal perang mereka. Kedua, mengangkat orang-orang yang mudah diperalat untuk menjalankan siasat pecah belah.

Mengenai cara yang kedua, para penjajah ini telah menjalankannya selama bertahun-tahun sebelum dimulainya Perang Aceh Pertama. Salah satunya melalui Sultan Mahmud dari Kesultanan Deli. Ia yang bersedia menandatangani perjanjian politik dengan Belanda, pada 22 Agustus 1862, menjadi jalan bagi Belanda untuk melancarkan rencananya. Deli menjadi batu loncatan bagi mereka menguasai daerah-daerah di sekitar pusat Kerajaan Aceh. Dari wilayah milik Sultan Deli tersebut, Belanda berhasil melebarkan kekuasaannya ke daerah Asahan dan Pulau Kampai.

Dijelaskan Anthony Reid dalam Asal Mula Konflik Aceh: dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, bersedianya Deli membantu Belanda tidak lain karena wilayah mereka telah lama diusik oleh Aceh. Sehingga datangnya orang-orang Eropa ini menjadi harapan Deli menjauhkan Aceh dari wilayahnya.

“Deli mencari perlindungan dari serangan Aceh, sedangkan Serdang tidak dapat menentukan mana yang tidak terlalu buruk dari kedua yang buruk itu,” ujar Reid.

Baca juga: Belanda Mengganggu Kemerdekaan Aceh

Selain Sultan Deli, seorang Minangkabau bernama Raja Burhanuddin diikutkan juga dalam pengumpulan infromasi tentang Aceh. Menurut Anthony Reid, Raja Burhanuddin tercatat sebagai pegawai tetap Belanda di Batavia. Mula-mula ia pergi ke Serdang, menyamar sebagai haji dan pedagang. Tugasnya menghentikan keterlibatan Tanah Batak ke dalam Perang Aceh.

“Provokasi yang dilancarkan oleh Burhanuddin, bahwa Aceh hendak memaksa Batak masuk Islam, ternyata tidak mempan. Terus terang dijawab oleh raja-raja Batak, bahwa mereka tidak ingin memusuhi Aceh. Baru mereka bersedia melawan siapapun kalau mereka diserang, sebelum itu tidak percaya provokasi Belanda,” tulis Said.

Gagal di Tanah Batak, Raja Burhanuddin melanjutkan perjalannya ke Barus, baru ke Aceh Besar. Hampir selama 25 hari pegawai tetap Belanda ini berada di Aceh, ia sudah mendapat begitu banyak informasi untuk dilaporkan. Raja Burhanuddin berkesimpulan bahwa kekuasaan yang disiapkan di banyak daerah hanya ditujukan bagi penjagaan lokal, tidak untuk bergabung dengan pasukan utama Aceh.

Baca juga: Mitos dan Fakta Kolera di Aceh

Upaya memasuki wilayah Aceh rupanya datang juga dari penduduk asing. Menurut Said, beberapa tahun sebelum penyerangan Belanda, ada seorang Tionghoa yang datang dari Penang telah berhasil mendekati Sultan Mansur Sjah di ibukota. Tionghoa itu adalah Ang Pi Auw. Ia menyatakan diri masuk Islam dan diberi nama Chi’ Putih, serta diberi gelar kepercayaan (Panglima Setia Bakti) oleh Sultan Mansur. Namun belakangan diketahui Tionghoa ini berperan sebagai agen ganda, baik bagi Aceh maupun Belanda.

“Sejauh mana keyakinan Sultan Aceh kepadanya tidaklah jelas, tapi sukar untuk mencari nama Ang Pi Auw yang sudah disebut panglima dalam usaha perlawanan rakyat ketika Belanda menyerang. Nama Ang Pi Auw muncul kembali sesudah dia mendapat angkatan sebagai “luitenant de Chineezen” dari Belanda. Rupanya dia memperoleh tanda jasa pula dari Belanda,” ujar Said.

Baca juga: Prajurit Perempuan Kesultanan Aceh

Demi mematangkan rencananya, Belanda mengirim mata-mata lain. Adalah G. Lavino, konsul Belanda di Penang. Sebagai sekutu, basis kekuatan Aceh di Penang cukup besar sehingga Lavino ditugasi mengacaukannya. Tugas pertama Lavino adalah mengusik Panitia Delapan –dewan penasihat Aceh di Penang yang juga bekerja membantu memasok persediaan logistik Aceh semasa perang. Lavino mencari informasi sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang berada di antara Panitia Delapan tersebut.

“Jaringan-jaringan spionase Belanda giat dan harus diakui cukup aktif. Lavino mempunyai banyak pembantu, mereka dapat saja lolos keluar masuk Aceh tanpa diketahui,” tulis Said.

TAG

aceh

ARTIKEL TERKAIT

Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Kopral Roeman Melawan Teungku Leman Sejumput Kisah Sersan Baidin Sersan Zon Memburu Panglima Polim Di Masa Revolusi Rakyat Aceh Menerima Pengungsi Sebelum Sersan Pongoh ke Petamburan Darlang Sang "Radja Boekit" Meninggal di Meja Bedah Tewasnya Kapten "Sakti" Paris Ganden Sang Ksatria Fotografer Bersaudara dalam Perang Lombok dan Aceh