Masuk Daftar
My Getplus

Tak Mau Berkompromi

Perempuan yang konsisten dengan jalan perjuangan yang dipilihnya.

Oleh: Aryono | 03 Mar 2017
Christine Hakim (kiri) ketika memerankan Tjoet Nja' Dhien (1986). (tasteofcinema.com).

Christine Hakim, srikandi film Indonesia, kagum terhadap Tjoet Nyak Dhien, perempuan pejuang dari Aceh. Bukan hanya karena dia memilih jalan perjuangan, tapi juga tetap konsisten melawan Belanda.

Tjoet Nyak Dhien (1848-1908), putri Teuku Nanta Seutia, seorang bangsawan Kesultanan Aceh yang memilih angkat senjata melawan Belanda. Dua kali dia menjanda. Kedua suaminya, Teuku Cik Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar, gugur di medan perang. Alih-alih menyerah, dia terus mengobarkan perlawanan hingga tertangkap dan dibuang ke Sumedang.

Christine Hakim mengenal betul sosok Tjoet Nyak Dhien karena pernah membawakan peran ini dengan baik dalam film Tjoet Nja’ Dhien (1986) karya sutradara Eros Djarot. Berkat aktingnya, dia meraih penghargaan pemeran utama wanita terbaik dalam Festival Film Indonesia 1988.

Advertising
Advertising

Baca juga: Cut Nyak Dhien Berhijab?

Di tengah kesibukannya menyiapkan film Tjokroaminoto di bilangan Jakarta Selatan, Christine Hakim menuturkan pandangannya tentang sosok Tjoet Nyak Dhien. Berikut adalah percakapannya.

Apa yang menarik dari sosok Tjoet Nyak Dhien?

Dia berangkat dari latar belakang darah biru di Aceh, bangsawan Aceh, namun memilih jalan perang untuk mempertahankan hak merdeka rakyat Aceh yang terenggut akibat polah Belanda.

Itu pula alasan yang membuat Anda berani mengambil peran Tjoet Nyak Dhien dalam film tahun 1988?

Awalnya Mas Eros (Eros Djarot) hanya meminta saya membantunya. Namun, dalam perjalanan, peran tokoh utama ditawarkan kepada saya. Kala itu saya berpikir belum ada film sejarah yang mengangkat perempuan Indonesia. Apalagi ini tokoh dari Aceh. Ini, pikir saya, akan memberi warna bagi perfilman Indonesia. Ditambah lagi, memerankan Tjoet Nyak Dhien seperti menjadi turning point, menapak tilas kembali leluhur. Sebab, ada darah Aceh mengalir dalam tubuh saya.

Bagaimana cara Anda mendalami karakternya?

Hanya dari literatur semacam buku-buku sejarah Indonesia saja saya bisa menangkap sosoknya. Misalnya, dalam buku De Atjeh-Oorlog, yang khusus bicara tentang Perang Aceh, ada laporan dan opini tentara Belanda tentang pribadi Tjoet Nyak Dhien. Dia dikenal tidak pernah mau berkompromi dengan Belanda. Dia berbeda dari suami keduanya, Teuku Umar, yang pernah bersedia bekerjasama dengan Belanda selama tiga tahun untuk mencuri siasat Belanda.

Apa karakter kuat Tjoet Nyak Dhien?

Dari yang saya baca dalam De Atjeh-Oorlog, sikap keras kepala adalah kelemahan sekaligus kelebihannya. Dia tak mau bertemu muka dengan Belanda, misal untuk berunding. Tak heran jika tak ada satu pun foto tentang dirinya, kecuali satu foto ketika dia tertangkap. Saat itu dia sudah tua, sakit punggung, dan sudah hampir buta.

Baca juga: Konflik Aceh Mereda Tapi Bioskop Terlupa

Ketika Pang Laot, salah satu panglima perang Tjoet Nyak Dhien, menyarankannya untuk menyerah, dia menolak tegas. Dia keras kepala. Tapi dia konsisten pada jalan perjuangan yang dia pilih.

Apa inspirasi yang bisa Anda petik?

Saya kira sikap keras kepala yang dimiliki Tjoet Nyak Dhien juga ada pada diri saya. Sikap seperti ini, saya ambil sisi positifnya saja, menumbuhkan sikap konsisten. Dengan sikap keras kepala ini, tak ada orang yang dapat menyetir saya.

Jika Tjoet Nyak Dhien keras kepala di jalur perjuangan mengembalikan hak rakyat Aceh, sampai hari ini saya keras kepala di jalur film yang memiliki nilai kemanusiaan.

TAG

Film Aceh

ARTIKEL TERKAIT

Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Kopral Roeman Melawan Teungku Leman Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Sejumput Kisah Sersan Baidin Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Sisi Lain dan Anomali Alexander