DIREKTUR Aceh Documentary Faisal Ilyas menyayangkan penetapan darurat militer atas Aceh pada awal 2003. Tak hanya merusak faktor keamanan semata, status itu mengubah banyak hal, antara lain hilangnya bioskop.
“Di Aceh sampai tahun 2002 atau 2003 masih ada bioskop. Sejak Aceh ditetapkan sebagai daerah darurat militer, bioskop sudah tidak beroperasi lagi mungkin karena adanya konflik. Pada masa sebelumnya, bioskop sudah beroperasi di beberapa daerah di Aceh, seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Bireuen, dan Langsa. Semuanya bioskop lokal, belum masuk bioskop jaringan,” kata Faisal Ilyas dihubungi Historia via telepon.
Kehadiran bioskop di Aceh sudah ada sejak 1930-an. Di Kota Banda Aceh, ada Deli Bioskop di Jalan Muhammad Jam dan Rex Bioskop di Peunayong. Masing-masing bioskop dimiliki pengusaha Tionghoa dan Benggali. Mereka menjadi perintis usaha bioskop ketika belum ada anggapan bahwa usaha ini investasi yang menguntungkan.
Selain Deli dan Rex, antara 1900-1936 ada beberapa bioskop yang cukup terkenal di Aceh, misalnya Bioscoop di Bireuen dan Langsa, Tiong Wha Bioscoop di Lhokseumawe, Sabang Bioscoop di Sabang, ada juga Gemeente Bioscoop di Sigli.
Saat itu bioskop dikenal dengan kumedi gambar. Bioskop sudah hadir di Aceh bahkan sebelum listrik masuk. Untuk memutar film, tulis Rizal Saivana dkk. dalam artikel “Perkembangan Bioskop di Kota Banda Aceh, 1930-2004” yang dimuat dalam Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. 1, Oktober 2016, orang-orang menggunakan pijar yang ditembak ke layar. Salah seorang bertugas memutar tuas agar film tetap berjalan.
Film yang beredar pada 1930-an masih film bisu dengan warna hitam-putih. Film-film Eropa dan film Arab menjadi film yang banyak diputar di era ini. Di kursi paling depan duduk para pemain musik yang tugasnya mengisi kebisuan film.
Pada 1947, Deli Bioskop berubah menjadi Garuda Bioskop. Di depan Garuda Bioskop inilah Presiden Sukarno pernah menyampaikan pidato politiknya pada 16 Juni 1948. Dengan begitu, Garuda Bioskop menjadi gedung bioskop paling bersejarah di Aceh. Selain Garuda Bioskop, ada pula Bioskop Merpati yang dibangun di tahun 1960 di Peunayong.
Memasuki 1970-an, dibarengi dengan kemajuan perfilman Indonesia, film-film baru banyak diproduksi. Untuk memfasilitasi pemutaran film baru ini, bioskop baru juga banyak berdiri. Dari 1970-an sampai 1990-an, beberapa bioskop baru itu adalah Gajah Theater di Simpang Lima yang dibangun tahun 1975, Bioskop Elang di Setui (1978), Sinar Indah Bioskop (SIB) di Peunayong (1979), Bioskop Jelita di Beurawe (1979), dan Pas 21 di Pasar Aceh Shopping Centre (1980). Beberapa bioskop, seperti SIB, Jelita Theatre, Garuda Theatre, Bioskop Gajah, Bioskop Merpati, dan PAS 21 masih beroprasi hingga awal tahun 2000-an.
Konflik berkelanjutan antara GAM-pemerintah Indonesia, yang disusul penetapan status darurat militer pada 2003-2004, mematikan bioskop. Tak ada bioskop di Aceh hari ini. Sejak 15 tahun lalu, begitu konflik Aceh pecah, mobilitas orang-orang jadi tebatas. Untuk keluar rumah dengan relatif aman, orang-orang hanya bisa melakukannya sejak pukul 06.00 pagi hingga 06.00 sore.
Bioskop-bioskop sepi pengunjung. Bukan hanya itu, tsunami yang melanda Aceh akhir 2004 mengubah kondisi politik dan bioskop di Aceh. Konflik GAM-RI mereda sementara bioskop terlupa. Tak ada rekonstruksi gedung bioskop di Aceh. Sejak itu, masyarakat Aceh kehilangan ruang putar.
Untuk menonton film, para pegiat film meminjam sebuah aula untuk mereka sulap jadi ruang putar. Pada Desember 2017, misalnya, Aceh Documentary menyelenggarakan Aceh Film Festival. Film-film diputar di Aula Taman Budaya.
Usaha untuk menghadirkan kembali bioskop di Aceh jelas ada. Sejak lima tahun terakhir, isu tentang pembangunan bioskop di Aceh disampaikan oleh para pegiat dan penikmat film. Kehadiran bioskop bagi mereka tidak hanya sebagai sarana hiburan tetapi juga ruang apresiasi atas karya-karya film yang mereka buat.
Namun, tulis Rizal dkk., sebagian orang menganggap kehadiran bioskop di Banda Aceh bisa memperluas akses maksiat bagi muda-mudi yang belum menikah. “Konotasi bioskop di Aceh agak negatif karena ruangnya gelap. Kalau ruang gelap, bisa dipisah antara laki-laki dan perempuan. Kalau filmnya, film itu kan subjektivitas pembuat film. Kalau kami hanya berusaha memasyarakatkan film. Film yang kami putar adalah film yang dekat dengan masyarakat Aceh,” kata Faisal.