SUATU malam di tahun 1849, Araminta ‘Minty’ Ross (diperankan Cynthia Erivo) berlari ke dalam hutan. Nafasnya terengah-engah. Ketimbang ditangkap kembali oleh Gideon Brodess (Joe Alwyn), tuannya yang memburunya, Minty bertaruh nyawa dengan loncat ke Sungai Delaware.
Minty beserta ibu, seorang saudari, dan keempat saudaranya merupakan budak selama turun-temurun di pertanian keluarga Brodess di Bucktown, Maryland. Sementara ayahnya, Ben Ross (Clarke Peters), dan suaminya, John Tubman (Zackary Momoh), sudah berstatus manusia bebas.
Minty kabur lantaran ia hendak dijual pemiliknya, sebagaimana dua saudarinya beberapa tahun lalu. Tuhan memberi keajaiban dengan masih melindungi Minty. Ia selamat setelah loncat ke sungai dan dirawat Thomas Garret (Tim Guinee), seorang pandai besi kulit putih yang juga aktivis anti-budak di Wilmington. Garret pula yang lantas membantu Minty melintasi perbatasan Maryland menuju Philadelphia yang bebas perbudakan.
William Still (Leslie Odom Jr.), ketua Komite Anti-Perbudakan Philadelphia, jadi orang yang dicari Minty untuk diminta pertolongan. Di kantor Still, kemudian Minty mengubah namanya jadi Harriet Tubman sebagai identitas barunya sebagai orang merdeka. Nama tersebut diambil dari kombinasi nama ibunya, Harriet ‘Rit’ Ross (Vanessa Bell Calloway) dan suami pertamanya, John Tubman.
Tapi itu bukanlah akhir dari segalanya. Adegan-adegan itu sekadar “pemanasan” pada pembuka film Harriet garapan sutradara Kasi Lemmons. Biopik yang mendramatisir petualangan Harriet Tubman sebagai aktivis anti-perbudakan dan kelak jadi perempuan pertama yang mengomandani sebuah pasukan di Perang Saudara Amerika (1861-1865).
Baca juga: Just Mercy dan Keadilan Minoritas Kulit Hitam
Cerita berganti ke setahun kemudian, di mana Harriet sudah menetap dengan ditampung Mary Buchanan (Janelle Monáe). Lama-kelamaan, Harriet merasa kesepian tanpa keluarganya. Penglihatan dan suara-suara Tuhan yang didapatnya dari mimpi kemudian membulatkan tekadnya untuk menyelamatkan dan membebaskan keluarganya.
Still menentang karena menganggap aktivitas anti-perbudakannya dengan jaringan rahasia Underground Railroad sedang genting. Terlebih, pemerintah federal pada 1850 meloloskan The Fugitive Slave Act atau Undang-Undang (UU) Pelarian Budak. Setiap negara bagian di utara wajib mengembalikan setiap budak yang lari dari semua negara bagian di selatan, kata UU tersebut.
Tetapi Harriet bersikeras tetap akan melakoninya meski tanpa dibantu Still. Ia yakin pada suara-suara Tuhan yang didapatnya melalui mimpi. Kendati mulanya kesulitan menyelamatkan keluarganya, ia akhirnya mampu memimpin eksodus puluhan budak lain dari Maryland melintas ke Kanada hingga dijuluki “Musa” oleh para pemburu budak.
Hilangnya puluhan budak jadi pukulan telak ekonomis bagi para tuan tanah kulit putih. Gideon yang dibantu Bigger Long (Omar Dorsey), seorang kulit hitam pelacak jejak yang berkhianat, tak menyerah begitu saja.
Bagaimana kemudian Harriet bisa membebaskan orangtua dan kerabatnya dari ancaman Gideon dan Bigger Long? Baiknya nikmati lanjutan keseruan petualangannya di aplikasi daring Mola TV.
Dramatisasi
Tone film temaram yang mendominasi adegan per adegan dalam Harriet membawa penonton pada suasana kelam era perbudakan di “Tanah Paman Sam”. Rangkaian music scoring racikan komposer Terence Blanchard yang dikombinasikan lagu-lagu gospel turut mencampur-aduk perasaan penonton pada adegan-adegan menegangkan kala Harriet bergelut melawan waktu dalam upayanya melarikan puluhan budak.
Saat dirilis perdana pada September 2019 dan diputar secara umum dua bulan berselang, Harriet menuai pujian dan kritik miring. Pujian para kritikus disematkan pada penampilan Erivo yang memerankan tokoh utama hingga masuk nominasi Golden Globe 2020.
“Penampilan Erivo sangat meyakinkan dan kuat. Upaya menegangkan misi penyelamatannya yang bersejarah dibingkai fiksi dengan alur yang cepat dan gaya quick-cut,” ulas Richard Roeper di kolom Chicago Sun-Times, 30 Oktober 2019.
Baca juga: Race, Kisah Dramatis Atlet Kulit Hitam di Olimpiade Nazi
Sementara, kritik menyasar pada pendekatan penulisan skenario racikan Lemmons, penggambaran alur per alur ceritanya yang terlalu terburu-buru, dan di beberapa bagian membingungkan.
“Cynthia Erivo mengantarkan penampilan yang mengharukan sebagai ikon aktivis Amerika Harriet Tubman tetapi (alur) filmnya mulai berantakan di sepertiga bagian akhirnya, mulai jauh dari sejarahnya dengan dramatisasi yang tak masuk akal demi mengubah karakter Tubman sebagai pahlawan bersenjata,” tulis Jason Best di kolom Marie Claire, 11 November 2020.
Baca juga: Selma dan Sejarah yang Berlari Terlalu Cepat
Walau filmnya bergenre biopik, sutradara Lemmons tak mentah-mentah mengambil informasi dari biografi-biografi Harriet. Bersama penulis skenario Gregory Allen Howard, Lemmons mengaku meracik Harriet dengan banyak dramatisasi agar bisa lebih diterima semua usia.
“Saya sangat ingin membuat film yang bisa membuat kagum anak-anak usia 10 tahun ketika ia menonton bersama neneknya, di mana itu bukan hal mudah bagi sebuah film yang berlatarbelakang perbudakan. Lalu saya mencoba merepresentasikan Harriet seakurat yang saya bisa sembari tetap membuat film yang menghibur dengan jangkauan (usia) penonton yang lebih luas,” tutur Lemmons kepada IndieWire, 28 Oktober 2019.
Fakta Historis
Namun, dramatisasi yang dibuat Lemmons cukup banyak menyimpang dari fakta historisnya. Penggantian nama dari Araminta ‘Minty’ Rose menjadi Harriet Tubman, misalnya. Dalam film, penggantian nama itu digambarkan terjadi setelah Harriet berhasil kabur ke Philadelphia pada 1849. Padahal faktanya, Minty sudah ganti nama menjadi Harriet sebelum ia berhasil melarikan diri, kendati beberapa sejarawan masih berbeda pendapat tentang kapan waktu tepatnya.
Kate Clifford Larson dalam biografi Bound for the Promised Land: Harriet Tubman, Portrait of an American Hero (2004) mengungapkan, Minty sudah mengganti namanya jadi Harriet Tubman tak lama setelah menikah dengan John Tubman pada 1844. Sementara, Catherine Clinton dalam Harriet Tubman: The Road to Freedom (2004) mengungkapkan Minty mengadopsi identitas Harriet Tubman saat merencanakan pelariannya ke Philadelphia medio 1849.
Baca juga: Minggu Berdarah di Kota Selma
Motif Harriet kabur digambarkan dalam film adalah menyelamatkan diri karena akan dijual setelah protes keras pada keluarga Brodess. Harriet menuntut ibunya dibebaskan berdasarkan perjanjian bahwa jika seorang budak sudah berusia 45 tahun, si pemilik akan memerdekakannya. Padahal, ibunya tak jua dibebaskan walau sudah berusia lebih dari 45 tahun.
Faktor lain yang membuat geram Harriet adalah tidak dipenuhinya tuntutannya agar kelak anaknya dari perkawinannya dengan John Tubman yang sudah lebih dulu merdeka tidak diberi status budak. Edward Brodess sang majikan bersikeras bahwa kelak anak Harriet akan tetap jadi budak mengingat Harriet masih berstatus “properti” miliknya.
Deskripsi itu jelas tak sesuai dengan kehidupan nyata Harriet. Faktanya, Harriet hendak dijual Edward karena dianggap mulai tak produktif gegara mulai sakit-sakitan. Tak berkenan dijual karena akan berpisah dengan keluarganya, Harriet pun berdoa agar Tuhan menjemput ajal tuannya.
“Ya Tuhan, jika Engkau tidak mengubah hati orang itu (Edward Brodess), bunuhlah dia, Tuhan, dan singkirkan dia dari muka bumi,” ucap Harriet dikutip Sarah Hopkins Bradford dalam Harriet Tubman: The Moses of Her People.
Ajaib, seminggu kemudian Edward pun dijemput ajal. Eliza Brodess, janda Edward, lantas hendak menjual Harriet demi menutupi banyak utang.
Baca juga: Robohnya Patung Tokoh Perbudakan dan Rasisme
Tetapi fakta itu didramatisir Lemmons dengan menggambarkan Edward meninggal satu hari setelah Harriet berdoa dan membuat Gideon, putra Edward, hendak menjual Harriet karena tak terima ayahnya mati karena doa Harriet. Itu hanya sedikit dari sekian ketidakakuratan historis akibat dramatisasi dalam Harriet.
Hal lain yang juga perlu digarisbawahi adalah penghilangan tokoh yang berpengaruh dalam perjuangan Harriet, semisal aktivis Frederick Douglass dan John Brown. Keduanya kelak bersama Harriet merencanakan serangan pasukan Union melawan Konfederasi di Perang Saudara Amerika. Padahal, di akhir film disisipkan penggambaran Harriet memimpin 150 serdadu kulit hitam Union dalam Serangan Sungai Combahee, 1-2 Juni 1863. Serangan itu jadi satu bab penting dalam Perang Saudara Amerika terkait pembebasan sekitar 800 budak yang lari dari South Carolina.
Lemmons seperti tak ingin repot memberi pencerahan kepada penontonnya bagaimana seorang aktivis perempuan cum eks-budak kulit hitam yang buta huruf bisa tiba-tiba memimpin pasukan. Padahal perannya di Perang Saudara Amerika jadi salah satu bab terpenting dalam kehidupannya hingga ia kondang sebagai ikon aktivis anti-perbudakan sekaligus perempuan pertama yang memimpin pasukan di garis depan.
Sebagaimana diuraikan Larson, Harriet mengawali perannya di dapur umum di bawah pimpinan Brigjen Benjamin Butler yang mengomando pasukan Resimen ke-6 dan ke-8 Milisi Sukarelawan Massachusetts. Harriet bergabung secara sukarela setelah mengetahui pasukan Jenderal Butler itu banyak melindungi budak yang kabur dari wilayah selatan. Para budak itu dijadikan Butler sebagai “contraband” atau tambahan pasukan tanpa gaji.
“Tubman menawarkan jasanya secara sukarela untuk mengurusi mereka. Lalu ketika pindah ke Port Royal, South Carolina, Tubman bertemu Jenderal David Hunter yang juga bersimpati pada isu anti-perbudakan. Di Port Royal sang jenderal juga banyak mengumpulkan prajurit kulit hitam masuk ke resimennya (di Korps ke-10 pasukan Union),” ungkap Larson.
Baca juga: Perang Saudara dan Perbudakan
Di Port Royal, status Harriet adalah sukarelawan dapur umum dan perawat. Harriet terampil meracik tanaman menjadi obat disenteri dan cacar yang mewabah di antara pasukan Union.
Pada 22 September 1862, Presiden Abraham Lincoln mengeluarkan Proklamasi Emansipasi. Proklamasi ini jadi langkah awal upaya pemerintah Union memerdekakan budak di semua negara bagian. Proklamasi juga memperbolehkan budak mendapat kebebasan dengan mengabdi di pasukan Union dan mendapat upah.
Harriet melihat kesempatan untuk berperan lebih selepas proklamasi itu. Dia lalu jadi salah satu yang mendaftar pada awal 1863. Walau tak diberi pangkat, Harriet tetap dipercaya Jenderal Hunter memimpin sekelompok pengintai kulit hitam yang bertugas mencari rute di belakang garis musuh sebagai jalur aman pelarian budak-budak dari selatan.
Kiprah Harriet yang mulai dikenal luas membuat Menteri Perang Edwin Stanton memberi kepercayaan lebih untuk sebuah misi di Sungai Combahee. Untuk misi itu, Harriet dipindahtugaskan ke Resimen Infantri Sukarelawan South Carolina Ke-2 di bawah komando Kolonel James Montgomery. Pasukan berkekuatan 300 serdadu kulit hitam ini akan melakoni misi Serangan Sungai Combahee (1-2 Juni 1863) dalam rangka mengevakuasi hampir 800 budak pelarian.
Serangan itu dimulai pada 1 Juni malam dengan sokongan tiga kapal: USS Sentinel, USS Harriet A. Weed, dan USS John Adams. Pasukannya dibagi menjadi tiga kompi. Satu tetap di kapal mengawaki meriam-meriam, satu lagi dipimpin langsung Kolonel Montgomery mendarat di pesisir Fields Point pada 2 Juni dini hari untuk menghancurkan lahan pertanian dan gudang-gudang suplai makanan pasukan musuh, sedangkan satu kompi berisi 150 prajurit sisanya dipimpin Harriet merapat ke dermaga feri Sungai Combahee menggunakan perahu-perahu.
Baca juga: Duel Kapal Ironclad di Perang Saudara Amerika
Bunyi peluit yang bersahutan dari tiga kapal jadi penanda ratusan budak untuk keluar dari persembunyian dan lari ke arah pesisir sungai. Walau situasi sempat kacau karena para budak itu berebut naik perahu, pada akhirnya misi itu berakhir sukses.
“Saya tak pernah melihat pemandangan seperti itu. Para perempuan berlarian membawa bayi-bayi di gendongan yang diikat di leher; kantong-kantong makanan di bahu, keranjang-keranjang di kepala yang kemudian diikuti anak-anak kecil. Semua berebut naik (perahu) termasuk ayam-ayam dan babi-babi ternak,” tukas Harriet dikutip Laurie Calkhoven dalam Harriet Tubman: Leading the Way to Freedom.
Deskripsi Film:
Judul: Harriet | Sutradara: Kasi Lemmons | Produser: Debra Martin Chase, Daniella Taplin Lundberg, Gregory Allen Howard | Pemain: Cynthia Erivo, Joe Alwyn, Leslie Odom Jr., Janelle Monáe, Clarke Peters, Vanessa Bell Calloway, Omar Dorsey, Tim Guinee, Henry Hunter Hall | Produksi: Perfect World Pictures, New Balloon, Stay Gold Features | Distributor: Focus Features | Genre: Biopik | Durasi: 125 menit | Rilis: 10 September 2019, Mola TV