Selma dan Sejarah yang Berlari Terlalu Cepat
Sebuah film yang berkisah tentang perjuangan warga kulit hitam Amerika Serikat mencapai kesetaraan.
Sambil bercermin dan memasang ascotnya, pria kulit hitam itu bermonolog. “Kuterima kehormatan ini untuk orang-orang yang telah berkorban. Yang kematiannya telah membuka jalan kita. Dan untuk 20 juta pria dan wanita negro. Terhina oleh martabat dan penghinaan atas keputusasaan,” katanya.
Martin Luther King Jr. (diperankan David Oyelowo), pria kulit hitam itu, langsung sadar monolognya membuyarkan konsentrasi sehingga dia salah memakai ascot. Dalam sekejap, adegan itu langsung berganti pada adegan lain: Istri King, Coretta Scott (Carmen Ojogo), buru-buru datang membantunya.
Sutradara Ava DuVernay membuat adegan pembuka yang apik dengan memadukan dua setting berbeda dalam waktu hampir bersamaan. Didukung dengan visual effect canggih, pergantian berlangsung sangat halus. Adegan pembuka menceritakan King dan istrinya yang sedang bersiap menghadiri penganugerahan Nobel Perdamaian tahun 1964. Penghargaan bergengsi itu merupakan ganjaran atas perjuangan King selama bertahun-tahun dalam mewujudkan hak-hak asasi negro Amerika Serikat.
King aktivis pejuang keadilan hak-hak asasi warga kulit hitam Amerika Serikat sejak muda. Dialah yang menggagas dan memimpin aksi boikot bus di Montgomery pada 1955. Pada 1957, King ikut membidani lahirnya Christian Leadership Conference (SCLC).
Baca juga: Nasib Serdadu Hitam Paman Sam
Selma mengisahkan perjuangan Martin Luther King Jr. dan teman-temannya dalam mewujudkan hak pilih warga Afro-Amerika yang dimulai dari kota kecil Selma di negara bagian Alabama. Di kota tersebut, praktik rasialis kala itu terus berlangsung.
Setelah adegan penganugerahan nobel sebagai simbol pencapaian perjuangan King dan teman-temannya, sutradara membawa mundur (flashback) penonton ke perjuangan mereka. Adegan pertemuan King saat dijamu Presiden Lyndon B Johnson (Tom Wilkinson) –yang lebih menyukai perjuangan King yang memuat pesan damai, dibanding perjuangan Malcolm X.
Di lapangan, realitas yang ada berbeda dari yang dikatakan Johnson bahwa pemisahan kulit putih-kulit hitam di Amerika sudah tak ada lagi di masa pemerintahannya. Di negara bagian-negara bagian selatan, kata King, intimidasi, penyerangan, bahkan pembunuhan rasial terhadap warga kulit hitam masih banyak. Yang tak kalah penting, negro tetap tak mendapatkan hak memilih (vote). Annie Lee Cooper (Oprah Winfrey) mengalaminya saat mendaftar untuk mendapat kartu pemilihan umum. Oleh karena itu King mendesak Johnson agar pemerintah federal mengeluarkan undang-undang yang menjamin hak warga kulit hitam untuk bebas memilih, mengakui tindakan rasialnya selama 20 tahun, dan menghukum para oknum aparat.
Penolakan Johnson, dengan alasan pemerintahannya sedang fokus pada pemberantasan kemiskinan, membuat warga kulit hitam berjuang sendiri melawan diskriminasi. King dan empat temannya berangkat ke Selma, Alabama dari Atlanta, Georgia.
“Di sinilah tempat yang kita butuhkan. Di sinilah medan pertempuran selanjutnya,” Kata Diane Nash (Tessa Thomson), satu-satunya perempuan dalam mobil yang ditumpangi King.
Baca juga: Rasisme di Titik Nol
Di kota kecil itulah perjuangan mereka berawal. Berbagai halangan datang menghampiri mereka, dari mulai pemukulan King oleh seorang pemuda kulit putih di hotel, penyerangan dan penangkapan beberapa aktivis saat aksi damai ke Pengadilan Selma, hingga pembunuhan aktivis Jimmie Lee Jackson. King dan beberapa temannya juga sempat ditahan karena dianggap mengobarkan kerusuhan.
Sutradara DuVernay lagi-lagi melakukan “manuver” baik. Saat King dipenjara, dia mengisi slot kosong dengan adegan kunjungan Malcolm X kepada istri King, Coretta. Kunjungan itu menjadi cerita tersendiri yang menggambarkan hubungan King dan Malcolm. Kesan negatif terhadap Malcolm itu diceritakan King saat dia menceritakan kepada Coretta yang membesuknya tak lama kemudian. Adegan kunjungan Malcolm kepada Coretta menjadi cerita penghubung menarik untuk menjelaskan bagaimana hubungan kedua tokoh perlawanan warga kulit hitam itu.
DuVernay terampil dalam membangun plot dan mengisinya dengan adegan-adegan yang pas. Adegan long march King dan warga kulit hitam pada 21 Maret 1965 ke Montgomery, yang berbuntut rusuh dan membuat Johnson marah, sangat pas ditempatkan di bagian akhir film sehingga menimbulkan kesan heroik pada diri King. Puncaknya terjadi di akhir, saat Presiden Johnson berpidato sekaligus mengumumkan berlakunya Voting Righ Act atau hak memilih bagi warga kulit hitam.
Dikriminasi dan Rasialisme
Hingga kini diskriminasi rasial di negeri Paman Sam masih belum tuntas. Kendati tak sebanyak dan segamblang dulu, tapi kejadian serupa masih kerap terjadi. Penyebabnya beragam, mulai hal-hal sepele seperti lebih sukanya polisi menangkap pengguna narkoba kulit hitam ketimbang pengguna kulit putih, hingga tindakan diskriminatif lain.
Awal 2015, kota Baltimore dilanda kerusuhan rasial. Kisahnya berawal dari terbunuhnya seorang tahanan kulit hitam di sebuah penjara. Insiden itu memicu aksi protes yang disertai kekerasan yang mengakibatkan banyak korban luka-luka dan kerusakan parah di kota. Untuk mengatasi keadaan, Gubernur Maryland Larry Hogan menerapkan status keadaan darurat dan mengaktifkan Garda Nasional.
Baca juga: Rasis Tak Kunjung Habis
Empat puluh tujuh tahun silam, kota ini juga mengalami peristiwa serupa. Pembunuhan Martin Luther King Jr. pada April 1968 memicu negro Baltimore melakukan protes keras, penjarahan, dan melawan aparat keamanan. Peristiwa itu lalu menyebar ke kota-kota lain. Sampai-sampai presiden harus turun tangan menghentikan kerusuhan itu.
Penyebab utama dari peristiwa kerusuhan itu adalah ketidakadilan yang sering diterima oleh warga kulit hitam. Mereka bak warga negara kelas dua yang tak pernah dianggap sebagai prioritas. Itu pula alasan kenapa mayoritas negro AS miskin. Sebuah poling pada 2012 menunjukkan, 51 persen warga Amerika masih memiliki sentimen negatif terhadap kaum negro. Angka itu meningkat sekitar tiga persen dari survei pada 2008.
Visualisasi dalam Film
Sutradara DuVernay jeli membaca dan menangkap keadaan tersebut. Pemilihan sudut pandang secara tematis pada perjuangan King dan warga kulit hitam AS mewujudkan UU Hak Memilih Warga Kulit Hitam secara teknik menjadikan film ini menarik tapi juga menghabiskan energi banyak untuk membuatnya. Dia tak terjebak pada biopic yang menjemukan: bertele-tele pada jalur cerita kronologis. Dan yang lebih penting, sudut pandang DuVernay membuat Selma aktual dengan kondisi AS kini.
Baca juga: Rasisme dalam Film Sejarah
DuVernay juga membuat Selma seakan menjadi gambaran realita perjuangan warga kulit hitam Amerika kala itu. Tak berlebihannya penonjolan figur King membuat figur-figur lain mendapat tempat cukup, dan menjadikan Selma bukan monopoli perjuangan King. Namun dalam filmnya kali ini DuVernay “pelit” humor. Bila dibandingkan Kenau, misalnya, Selma terasa lebih “berat”.
Film ini menjadi cerminan tentang Amerika yang tak pernah berhenti menghadapi persoalan rasialisme. Bahkan bangsa sebesar Amerika yang mengklaim sebagai pengusung utama nilai-nilai kebebasan dan demokrasi pun terseok-seok menghadapi persoalan itu. Film ini seakan menggugat kebebasan dan kesetaraan yang sering diajarkan oleh Amerika kepada bangsa-bangsa lain di dunia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar