Perang Saudara dan Perbudakan
Peringatan Perang Saudara Amerika Serikat mengundang pro dan kontra.
Peringatan Perang Saudara bukan hal yang paling ditunggu oleh masyarakat Amerika. Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu episode paling memilukan sekaligus paling berdarah dalam sejarah Amerika.
Meski demikian, persiapan peringatan 150 tahun Perang Saudara yang akan berlangsung selama empat tahun tetap berjalan. Setidaknya dilakukan beberapa kelompok di negara-negara bagian di Selatan. Mereka berencana merayakan momen-momen gemilang ketika pada 1861, sebelas negara bagian di Selatan menyatakan kedaulatan mereka, melepaskan diri dari Amerika Serikat, dan bergabung di bawah bendera Konfederasi.
Masuk dalam agenda peringatan itu adalah “Pesta Dansa Pemisahan Diri” (secession ball) di kota pelabuhan Charleston, yang dulu dipakai untuk menampung dan memperdagangkan budak. “Sebuah malam penuh keceriaan dengan iringan musik, dansa, makanan, dan minuman,” tulis undangan untuk acara tersebut. Acara serupa dalam skala lebih kecil digelar di kota-kota lain. Sebuah parade akan digelar di Montgomery, Alabama, yang juga dimeriahkan dengan acara rekonstruksi pengambilan sumpah Jefferson Davis sebagai presiden Konfederasi.
Baca juga: Nasib Serdadu Hitam Paman Sam
Organisasi Sons of Confederate Veterans dan cabang-cabangnya di beberapa negara bagian mempersiapkan sejumlah iklan televisi yang akan ditayangkan tahun depan. “Yang kami inginkan adalah kedaulatan untuk memerintah diri kami sendiri,” demikian bunyi sebuah iklan yang dibuat cabang Georgia.
Kondisi itu, di mana masih ada pihak-pihak yang bersimpati pada pemisahan diri dan seolah menafikan soal perbudakan, menunjukkan betapa beragam pendapat orang Amerika tentang Perang Saudara. Hingga kini orang-orang Amerika masih memperdebatkan penyebab, makna, dan warisan dari Perang Saudara.
“Kami di Selatan telah dipermalukan untuk waktu amat lama dan dituduh rasis. Kami hanya ingin kebenaran diungkapkan,” ujar Michael Givens, pemimpin Sons of Confederate Veterans, menjelaskan alasan pembuatan iklan televisi itu. Meski ada banyak penyebab perang, ujarnya, “kami hanya berjuang untuk melindungi diri dari invasi dan untuk kemerdekaan kami.”
Tentu saja tak semua orang setuju dengan program ini. National Association for the Advancement of Colored People (NAACP) –salah satu organisasi pembela hak-hak sipil terkemuka di Amerika– berencana memprotes beberapa acara dalam peringatan itu. Menurut NAACP, merayakan pemisahan diri sama artinya dengan merayakan perbudakan.
“Saya hanya bisa membayangkan perayaan macam apa yang akan mereka lakukan jika mereka menang perang,” ujar Lonnie Randolph, Presiden NAACP Carolina Selatan.
Baca juga: Perbudakan di Nusantara
Dia bilang dia tercengang atas “pengagung-agungan dan ketidakterimaan atas apa yang sebenarnya terjadi.” Ketika orang-orang Selatan bicara tentang hak-hak mereka, ujarnya, “sesungguhnya mereka membicarakan satu hak saja –untuk memperjual-belikan manusia.”
Acara itu hanya satu dari ratusan, atau bahkan mungkin ribuan, yang akan berlangsung selama empat tahun ke depan, untuk memperingati 1,5 abad Perang Saudara. Dari wilayah Fort Sumter hingga Appomattox, situs-situs bersejarah di seluruh negara bagian Selatan, dan beberapa situs di Utara, berencana memperingati beberapa aspek dari konflik paling berdarah di Amerika –dan mungkin paling tak terselesaikan.
Beberapa kegiatan murni bersifat sejarah. Beberapa kegiatan lainnya, seperti peringatan 147 tahun pidato Abraham Lincoln di Gettysburg, akan dilakukan dengan khidmat. Pada Sabtu mendatang (4/12), peringatan tahunan itu akan menyalakan 23.000 lilin, yang yang mewakili jumlah korban pertempuran.
Beberapa kota dan negara bagian mempromosikan sejarah Perang Saudara untuk menarik turis. Di Atlanta, Cyclorama, sebuah lukisan raksasa yang menggambarkan hari pertama pertempuran di Atlanta, direstorasi sebagai bagian dari rencana promosi,” ujar Camille Love, direktur budaya pemerintah kota Atlanta.
Baca juga: Skandal Perbudakan Raffles di Hindia Belanda
Memperingati Perang Saudara tak pernah mudah seperti terjadi pada peringatan satu abad, yang digelar 50 tahun lalu. Saat itu muncul gerakan hak-hak sipil. Sebagian besar negara-negara bagian di Selatan menerapkan kebijakan Separate but Equal (Terpisah tapi Setara) untuk memisahkan kalangan masyarakat kulit hitam dan kulit putih. Peringatan itu malah menjadi semacam ejekan yang menggarisbawahi bahwa budak belum sepenuhnya bebas dan kesetaraan belum benar-benar tercapai.
Saat itu Kongres Amerika membentuk Komisi Peringatan Seabad Perang Saudara, yang kemudian kehilangan kredibilitasnya ketika anggotanya memutuskan bertemu di sebuah hotel yang mendukung kebijakan pemisahan diri. Tahun ini Kongres tak membentuk komisi apapun, dan pernyataan yang mereka keluarkan soal Perang Saudara tak begitu jelas.
“Kami tak tahu apakah akan memperingatinya, karena kami tak pernah menghadapi implikasi sesungguhnya dari Perang Saudara,“ ujar Andrew Young, seorang veteran gerakan hak-hak sipil dan mantan walikota Atlanta.
Baca juga: Kala Budak Memberontak
“(Mungkin) jawaban mudah untuk sebagian orang kulit hitam adalah perang itu membebaskan kami, namun sebenarnya tidak,” itu bukan yang sesungguhnya terjadi,” ujar Young. “Kami masih harus menjalani 100 tahun keterasingan. Kami tak pernah melakukan rekonsiliasi secara tuntas dengan kekuatan-kekuatan yang memisahkan kami.”
Sentimen yang ditimbulkan Perang Saudara masih terlihat awal tahun ini ketika Gubernur Virginia Bob McDonnell menjadikan bulan April sebagai Bulan Sejarah Konfederasi –tanpa sedikit pun menyebut-nyebut tentang perbudakan. Setelah muncul protes, dia meminta maaf dan mengubah pernyataannya; mengutuk perbudakan sekaligus menyatakan bahwa perbudakan adalah penyebab perang.
Keputusan McDonnell menjadikan April sebagai bulan bersejarah didorong Sons of Confederate Veterans, yang menyatakan bahwa Konfederasi adalah bentuk perjuangan bagi pemerintahan kecil dan hak-hak negara bagian. Peringatan 1,5 abad Perang Saudara kali ini bersamaan dengan kemunculan “Tea Party Movement” –serangkaian protes pada 2009 yang menuntut pemerintah Amerika menekan pengeluaran, memotong pajak, serta mengembalikan intrepretasi asli Konstitusi Amerika dalam menjalankan pemerintahan. Peringatan ini memberi peluang bagi Sons of Confederate Veterans untuk mempromosikan pandangannya.
Jeff Antley, seorang anggota Sons of Confederate Veterans yang juga anggota Confederate Heritage Trust, mengatur acara Pesta Dansa Pemisahan Diri dan rekonstruksi Perang Saudara yang berlangsung selama 10 hari di Fort Sumter, tempat tembakan pertama dalam Perang Saudara meletus pada 12 April 1861. Dia mengatakan, acara ini bukanlah tentang politik modern namun dimaksudkan untuk menghormati orang-orang di Carolina Selatan yang menandatangani persetujuan pemisahan diri pada 20 Desember 1860. Carolina Selatan adalah negara bagian pertama yang memisahkan diri dari Amerika Serikat.
“Kami merayakannya untuk 170 orang yang mempertaruhkan jiwa dan nasib mereka untuk mempertahankan keyakinan mereka, yakni pemerintahan sendiri,” ujar Antley. “Banyak orang di Selatan masih percaya bahwa itu tindakan yang benar dan terpuji. Apakah saya yakin atas apa yang mereka lakukan adalah benar? Tentu saja,” ujar Antley, sembari menambahkan bahwa ini adalah pendapat pribadi, bukan organisasi. “Tak perlu ada rasa malu atau penyesalan atas tindakan yang mereka ambil.”
Antley mengatakan, dia tak membela perbudakan, sesuatu yang dia benci. “Tapi saya membela hak negara-negara Selatan untuk memisahkan diri, hak para serdadu untuk mempertahankan rumah-rumah mereka, dan hak untuk pemerintahan sendiri. Meski ada perbudakan, tak berarti hak-hak ini tak punya arti.”
Sebagian besar sejarawan mengatakan, tak mungkin menghilangkan perbudakan dari konteks Perang Saudara. Sebagaimana dijabarkan James W. Loewen, sosiolog dan penulis buku Lies My Teacher Told Me, “Negara-negara Utara tak berperang untuk mengakhiri perbudakan. Mereka berperang untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan. Perlahan perang itu berubah menjadi perang antiperbudakan –tapi perbudakan adalah alasan utama negara-negara Selatan memisahkan diri.”
Dalam pernyataan pemisahan diri, Mississippi, misalnya, menyebut perbudakan sebagai “harta kekayaan terhebat di dunia,” dan mengatakan bahwa usaha menghilangkan perbudakan adalah sebuah pelecehan terhadap “perdagangan dan peradaban manusia.”
Konflik itu masih terjadi hingga beberapa dekade terakhir, yang menampilkan berbagai versi sejarah, yang diceritakan atau tidak diceritakan, dalam berbagai pameran di museum-museum atau piagam-piagam pertempuran.
“Pertempuran ingatan ini tak hanya bersifat akademis,” ujar Mark Potok, direktur di Southern Poverty Law Center. “Pertempuran ingatan ini juga tentang pandangan masyarakat saat ini. Saya tak merasa gerakan neo-Konfederasi sedang tumbuh kembali, tapi ia punya kesempatan untuk hidup kembali karena peringatan 1,5 abad ini.” [New York Times]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar