PONDOK kecil berdinding seng di Kamp Pengungsi Zaatari, Yordania itu sama sekali tak meredam hawa dingin. Kekurangan penerangan di dalamnya menambah kesulitan.
Pada suatu malam di Januari 2017 itu, Fawzi Qatleesh membantu adik perempuannya, Rose, mengerjakan PR bahasa Inggris hanya berbekal sebatang lilin. Seraya membantu Rose, Fawzi menguraikan mimpinya jadi pesepakbola profesional laiknya Cristiano Ronaldo. Dia hanya ingin membantu ibu, ayah, dan kedua adiknya keluar dari status pengungsi ke kehidupan yang lebih laik. Fawzi jadi tulang punggung keluarga lantaran ayahnya terpisah di kamp pengungsian Suriah lain di Azraq.
Demi mengejar mimpinya, Fawzi memilih putus sekolah. Kesempatan itu kemudian tiba pada suatu pagi. Di lapangan berpasir di dalam kamp, Fawzi dan kawannya, Mahmoud Dagher, yang tergabung di Kamp Zaatari menampilkan aksinya mengolah si kulit bundar dengan ciamik walau beralaskan sandal jepit.
Baca juga: Cristiano Ronaldo, Lebah Kecil dari Madeira
Tim itu sedang dipantau para pemandu bakat dari Aspire Academy Qatar. Sialnya, walau bermain apik, Fawzi sang kapten tim mesti menahan kepedihan dan mengikhlaskan ban kaptennya kepada Mahmoud. Dirinya tak bisa dibawa tim pengungsi karena perkara administrasi. Fawzi yang lahir tahun 1998 dianggap terlalu tua. Hanya Mahmoud, kelahiran 1999, bersama pemain lain yang dibawa ke Doha, Qatar.
Tetapi itu bukan akhir dari segalanya. Adegan haru itu sekadar permulaan dokumenter Captains of Zaatari garapan sutradara asal Mesir Ali El Arabi. Film ini kisahnya berpusar antara dua sahabat pengungsi Suriah, Fawzi dan Mahmoud, dengan beragam kepahitan kehidupan mereka di kamp pengungsian.
Tanpa dinyana, “mukizat” tiba pada hari-hari berikutnya. Delegasi dari Aspire Academy yang kembali ke kamp, mengizinkan Fawzi menyusul Mahmoud dan rekan-rekannya dalam tim Syrian Dream ke Qatar demi mengikuti program eksebisi di Turnamen Al-Kass International Cup U-17 2017.
Baca juga: Kamp Pengungsi Suriah dan Nestapa Sabaya
Dari pemandangan tandus dan memprihatinkan di kamp, mata Fawzi dimanjakan beragam kemajuan pesat dan fasilitas latihan Aspire Academy nan canggih setibanya di Doha. Dari mata Fawzi dan Mahmoud terpancar kebahagiaan yang mengharukan kala mereka ditemui petinggi sepakbola Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa bin Ahmed al-Thani; menyaksikan latihan klub raksasa Bayern Munich; hingga bertemu legenda hidup sepakbola David Trezeguet dan Xavi Hernández.
“Momen di mana kami meninggalkan Zaatari dan datang ke Qatar, tak peduli apakah nantinya kami jadi pemain profesional, momen itu jadi yang pertama saya mendapatkan kesempatan dalam hidup saya. Suatu hari ketika saya punya anak dan dia bertanya apa saja yang pernah saya lakukan, saya akan bilang bahwa saya bermain di Turnamen Al-Kass. Turnamen yang biasanya hanya bisa saya tonton di Suriah dan bermimpi berpartisipasi,” kata Fawzi.
“Ada banyak orang yang pantas mendapatkan kesempatan ini, begitu juga di kamp-kamp lain. Karena yang dibutuhkan para pengungsi adalah kesempatan mendapatkan kesehatan, pendidikan, dan mimpi olahraga, bukan belas kasihan,” timpal Mahmoud.
Namun ketika menjelang pertandingan penting kemudian, Fawzi mendapat cobaan fisik dan mental. Selain dibelit cedera lutut, ia juga mendengar kabar ayahnya menderita kanker. Bagaimana Fawzi bersama Mahmoud bisa meretas mimpinya kala banyak persoalan menerpa? Saksikan kelanjutannya di aplikasi daring Mola TV.
Baca juga: Qatar di Gelanggang Sepakbola
Kontradiksi Dua Dunia
Melodi-melodi melankolis nan mengharukan mengiringi beberapa adegan pahit Fawzi dan para pengungsi Suriah dalam Captains of Zaatari. Untuk lebih memperkuat nuansa Timur Tengah, komposer Gil Talmi juga menyisipkan alunan nada khas Arab dari alat musik petik qanun.
Music scoring itu begitu klop saat mengiringi adegan-adegan cerita yang diracik El Arabi yang cenderung seperti film drama ketimbang plot dokumenter klasik. Maka dalam karya pertamanya ini ia tak banyak menyajikan potret kamp yang mendetail kecuali aneka kepahitan yang dialami keluarga dua protagonisnya.
“Saya ingin penonton bisa terbawa ke kehidupan kedua kapten dan berbagi segala hal tentang mereka: perjalanan, perkembangan, rasa sakit, dan kebahagiaan. Saya ingin menunjukkan bahwa para pengungsi ini punya kehidupan. Dan mereka punya hak untuk berinteraksi dengan dunia dan merasa bahwa mereka bagian dari dunia ini,” kata El Arabi kepada Variety, 28 Januari 2021.
Baca juga: Senjakala "Raja Roma" dalam One Captain
Oleh karenanya meski El Arabi mengikuti Fawzi dan Mahmoud selama enam tahun di kamp yang menampung 80 ribu pengungsi itu dan menghasilkan ratusan jam footage, ia sudah berpatokan hanya menampilkan 75 menit di antaranya. El Arabi memfokuskan kisahnya pada kontradiksi dua dunia dan kehidupan yang mereka alami secara lebih intim dan humanis. Kontradiksi itu yakni lingkungan terkungkung dan memilukan di kamp dengan suasana gedung-gedung megah serta fasilitas mutakhir di Qatar. Antara kemiskinan di keluarga mereka dengan para pemain kaya Bayern yang mereka saksikan sesi latihannya. Antara harapan yang suram di kamp dengan asa meroket di fasilitas Aspire Academy.
Dengan alur cerita yang lebih intim dan humanis, penonton juga diajak merasakan lebih jauh kecemasan mereka sebagai pengungsi berusia muda. Jika tidak ada program sepakbola, bisa saja mereka diculik militan teroris ISIS atau diambil paksa untuk jadi tentara pemerintah Suriah. Masa depan mereka sekadar bisa digantungkan lewat sepakbola dan pendidikan, dua dari beberapa kebutuhan dasar untuk para pengungsi.
“Fawzi bilang pada saya bahwa sepakbola adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa bukan sebagai pengungsi. Olahraga adalah salah satu cara terpenting dalam perdamaian. Melalui kampanye yang empatik, saya percaya para bintang sepakbola yang anak-anak itu temui bisa membantu kehidupan para pengungsi lebih baik,” tandasnya.
Sayangnya dokumenter ini tak menjelaskan sejak kapan Fawzi mengenal sepakbola.
Sejarah Sepakbola Suriah
Sebagaimana yang dikisahkan dalam Captains of Zaatari, sosok Fawzi tak pernah mau jauh dari sepakbola. Selain seragam tim Syria Dream, Fawzi selalu membanggakan jersey kuning-biru klub Inggris Arsenal yang disablon namanya, “F. Qatleesh”, saat masih mengolah bola di balik pagar besi kamp.
Fawzi sudah bercita-cita menjadi pesepakbola profesional sejak sebelum pecah Perang Saudara Suriah pasca-Arab Spring melanda negerinya pada 2011.
“Saya dulu mulai bermain di tim Al-Shul’a pada 2009. Saya meninggalkan Daraa karena perang. Saya sudah bermain sejak kecil dan oleh karenanya sepakbola adalah hidup saya. Saya tak bisa membayangkan hidup saya tanpa sepakbola,” kata Fawzi kepada Goal Click.
Baca juga: Kontroversi Iringi Sejarah Arsenal
Setelah mengasah kemampuan di tim Al-Shul’a pada usia 11 tahun itu, Fawzi pindah ke klub Al-Sarih Sport Club lalu Al-Hussein FC di Irbid. Tetapi sejak 2012 Fawzi dan keluarganya terpaksa mengungsi ke Yordania. Ia sempat terpisah dari ayahnya dan di usia 17 tahun mesti jadi kepala keluarga bagi ibu dan kedua adiknya di Kamp Zaatari, kamp pengungsi Suriah terbesar di Yordania.
Dengan mengenyam pengalaman di Aspire Academy pada 2017, asa Zaatari jadi pesepakbola profesional dan membela tim nasional negaranya kian besar. Terlebih, sejak Desember 2011 timnas Suriah tak pernah lagi memainkan laga-laga internasionalnya di kandang sendiri. Tim berjuluk “Elang Qasioun” itu acap mengungsi ke negara-negara Arab lain saat menghadapi tim lain di berbagai pentas internasional. Padahal, sebelum perang, Suriah jadi salah satu tim asal Timur Tengah yang cukup diperhitungkan selain Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, dan Iran.
Baca juga: Sepakbola Palestina Merentang Masa
Perkembangan sepakbola Suriah sendiri awalnya tidak pesat. Sebagaimana banyak negara Asia lain, masyarakat Suriah mengenal sepakbola dari Prancis. Kolonialis Eropa itu menguasai Suriah sejak 1916 dan membentuk Negara Mandat Lebanon dan Suriah pada 1920. Di dalamnya turut didirikan enam negara bagian: Damaskus, Aleppo, Alawite, Jabal Druze, Hatay, dan Lebanon Raya.
“Pasca-1916, saat masih di bawah mandat Prancis dan Inggris, klub-klub mulai eksis sebagai aktivitas rekreasi untuk militer. Klub pertamanya adalah Hamzasp Club yang berdiri pada 1923, walau sebuah tim non-resmi sudah pernah eksis di Sekolah Shibani di Aleppo. Lalu pada 1928 Barada Club dan Qasiyoun Club lahir di Damaskus,” tulis Nour El-Houda Karfoul dalam “Women and Sport in Syria” yang termaktub dalam buku Muslim Women and Sport.
Klub-klub itu masih dikhususkan buat kaum pria, baik sipil maupun militer Prancis, dan kalangan pelajar Suriah. Mayoritas klub berkembang sendiri-sendiri karena Suriah masih sangat kekurangan praktisi olahraga, terutama sepakbola, walaupun olahraga dijadikan kurikulum di sekolah-sekolah.
Pada 1930-an, sepakbola dijadikan alat politik untuk menentang kolonialisme Prancis. Menjelang Olimpiade Berlin 1936, beberapa aktivis Lebanon dan Suriah, seperti kakak-beradik Gabriel dan Pierre Gemayel, Arif al-Habbal, dan Husayn Sija’an “berguru” ke Jerman untuk mempelajari manifestasi semangat kepemudaan melalui olahraga.
“Menarik melihat catatan Arif al-Habbal yang mengunjungi kamp-kamp Pemuda Hitler di Jerman dan Olimpiade 1936. Husayn Sija’an ambil bagian dalam delegasi menghadiri konferensi sepakbola di Berlin pada 1936,” ungkap Götz Nordbruch dalam Nazism in Syria and Lebanon: The Ambivalence of the German Option, 1935-1945.
Baca juga: Gema Kemerdekaan Palestina dari Seberang Lapangan
Di tahun itu juga La Fédération de Syrie de Football didirikan dan pada 1937 diterima jadi anggota FIFA walau secara administratif masih dianggap negeri bawahan Prancis. Perang Dunia II membuat Suriah baru bisa membuat kompetisi di masing-masing provinsinya dan timnasnya perlahan pada 1946 seiring Republik Suriah merdeka dari Prancis.
Setelah bertahun-tahun sepakbola sekadar dimainkan di lapangan sederhana, pemerintah republik akhirnya membangun stadion pertamanya, Aleppo Municipal Stadium, pada 1948 (kini Stadion 7 April) di kota Aleppo. Kota Aleppo paling maju persepakbolaannya. Induk olahraganya pun diubah menjadi Syrian Arab Football Association (SFA).
SFA kemudian menggulirkan kompetisi-kompetisi resmi pertamanya. Di masa pra-kemerdekaan, klub-klub yang eksis sekadar bermain di liga atau turnamen internal di masing-masing provinsi. Mulai 1959, diciptakan turnamen lintas provinsi, Syrian Cup, yang sejak 1966 diikuti kelahiran Liga Primer Suriah.
Di pentas internasional, Suriah tampil pertamakali sebagai tim negara merdeka pada Kualifikasi Piala Dunia 1950. Walau hingga kini masuk Piala Dunia masih sulit digapai, seiring waktu Suriah jadi tim yang disegani di dunia Arab, bahkan di Asia. Suriah dua kali menjadi runner-up Pan Arab Games (1953, 1997) dan juara pada 1957. Ia juga tiga kali runner-up Arab Cup (1963, 1966, 1988). Terakhir, Suriah juara Mediterranean Games (1987) dan Piala Asia Barat (2012).
Deskripsi Film:
Judul: Captains of Zaatari | Sutradara: Ali El Arabi | Produser: Ali El Arabi, Amjad Abu Alala, Aya Dowara, Michael Henrichs | Produksi: Ambient Light | Distributor: Dogwoof |Genre: Dokumenter | Durasi: 75 menit | Rilis: 31 Januari 2021, Mola TV