Qatar di Gelanggang Sepakbola
Mengenal sepakbola dari ekspatriat, negeri kecil di Teluk Persia ini tampil di pentas internasional lewat Piala Dunia.
KENDATI dikucilkan saat datang ke Piala Asia 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), tim Qatar mampu tampil cemerlang. Negeri itu dikucilkan gara-gara krisis diplomatik dengan negara-negara di Teluk Persia lain sejak 2017. Alhasil, Almouz Ali dan kawan-kawan berlaga nyaris tanpa dukungan suporter.
Namun, Al-Annabi (julukan timnas Qatar) justru bikin geger. Untuk kali pertama, Qatar pulang dengan trofi Piala Asia. Skor kemenangan 3-1 di final kontra Jepang juga jadi satu-satunya momentum jebolnya gawang Qatar sepanjang turnamen. Prestasi itu menjadi pemanasan apik bagi Qatar jelang Piala Dunia 2022 di negeri sendiri.
Dalam persepakbolaan Asia, nama Qatar memang kalah mentereng dibandingkan Arab Saudi, Iran, Korea Selatan, atau Jepang. Nama Qatar paling banter terdengar jika bersinggungan dengan sponsorship terhadap klub raksasa Spanyol Barcelona dan pemilik klub kaya Prancis, Paris Saint-Germain (PSG).
Penyebab kekurangtenaran Qatar apalagi kalau bukan prestasi. Namun, itu bisa dimaklumi mengingat negeri itu telat mengenal sepakbola. Yang pasti, dengan menjuarai Piala Asia 2019, negeri kaya minyak dan gas alam yang merdeka pada 3 September 1971 itu berhasil membuktikan dirinya bukan “anak bawang” lagi.
Mula Qatar Mengenal Sepakbola
Jika tak ditemukan ladang minyak di Dukhan dan Doha, mungkin Qatar akan sangat telat mengenal sepakbola. Pasalnya, dari para ekspatriat Inggris dan India yang bekerja di perminyakan itulah sepakbola diperkenalkan ke Qatar, bermula pada 1948. Sebelumnya, masyarakat lokal hanya mengenal beragam olahraga tradisional, salah satunya balapan unta.
Wartawan Inggris Anthony Haywood mengorek kisahnya dari Tom Clayton, mantan insinyur perminyakan British Petroleum (BP) yang ikut proyek eksplorasi minyak di Qatar pasca-Perang Dunia II. Clayton tiba di Qatar pada 1948 bersama sejumlah pekerja asal India yang didatangkan Iraq Petroleum Company (IPC), konsorsium perminyakan milik sejumlah perusahaan besar seperti Anglo-Iranian Oil Company (AIOC). AIOC pada 1954 berubah nama menjadi BP.
“Awalnya yang bermain hanya para pekerja India dan beberapa insinyur produksi asal Inggris. Para insinyur itu juga yang mulanya mengajari aturan sepakbola kepada para pekerja India,” ujar Clayton kepada Haywood, dimuat di Daily Mail, 22 November 2018.
Lama-kelamaan, orang-orang lokal yang turut dipekerjakan di kamp pengeboran minyak mulai tertarik sepakbola walau hanya sekadar menonton. “Kami tak pernah tahu olahraga semacam itu, namun masyarakat kami sangat menikmati permainan yang buat kami masih asing dan aneh itu,” kenang anggota Komite Olimpiade Qatar, Ibrahim al-Muhannadi.
Sepakbola di Qatar mulanya digelar sederhana, dimainkan di lahan berpasir dengan karung-karung sebagai gawangnya. Seiring pesatnya perkembangan sepakbola yang mulai menular ke masyarakat lokal, klub-klub pun bermunculan. Ben Weinberg dalam Asia and the Future of Football menulis, klub tertua Qatar adalah Al-Najah Sports Club (kini Al-Ahli SC) yang lahir pada 1950. Kompetisi pertama di Qatar adalah turnamen Izz al-Din, yang diikuti sejumlah klub di bawah naungan perusahaan-perusahaan minyak di Qatar.
Pada 1950-1951, Petroleum Development Qatar membuat kompetisi bertipe liga di mana juara pertamanya adalah Dukhan Sports Club. Naiknya animo masyarakat terhadap sepakbola kemudian melahirkan induk sepakbola, Qatar Football Association, pada 1960 QFA. Liga resmi Qatar mulai bergulir tiga tahun berselang. Pertandingan-pertandingannya berlangsung di Doha Sports Stadium, stadion pertama Qatar yang dibangun pada 1962 dan menjadi satu-satunya lapangan yang beralaskan rumput sebelum adanya Khalifa International Stadium pada 1975.
Selesai dengan urusan liga, Qatar serius membangun timnas sejak 1969. Adalah Taha Toukhi, pelatih asal Mesir yang jadi pembesut pertamanya. Hingga kini, Qatar lebih sering menggunakan pelatih asing. Data RSSSF menyebut hanya empat pelatih lokal yang menangani timnas Qatar: Mohammed Daham (1988), Abdul Mallalah (1993), Saeed al-Misnad, Fahad Thani (2013-2014).
Tampil di Peta Sepakbola Dunia
QFA melamar ke FIFA pada awal 1970 dan diterima tahun itu juga. Qatar melakoni laga internasional resmi pertamanya di ajang Arabian Gulf Cup (kini Gulf Cup of Nations) kontra tuan rumah Bahrain, 27 Maret 1970. Qatar keok 1-2 di turnamen yang hanya diikuti empat negara itu (Bahrain, Kuwait, Qatar dan Arab Saudi).
Di tingkat benua, Qatar pertamakali eksis di kualifikasi AFC Cup pada 1975, namun gagal lolos ke putaran final yang digelar 1976. Pun di kualifikasi Piala Dunia 1977, Qatar gagal lolos ke Piala Dunia 1978.
Baca juga: Sepakbola Palestina Merentang Masa
Pun begitu, Qatar telah menegaskan identitas mereka di peta sepakbola dunia. Tim junior mereka bahkan pernah bikin kejutan di Piala Dunia Junior (kini Piala Dunia U-20) di Australia, 3-18 Oktober 1981. Setelah lolos dari Grup A, Qatar menyingkirkan Brasil 3-2 di perempatfinal dan Inggris 2-1 di semifinal. Sayang, kejutan Qatar terhenti di final kala Badr Bilal dkk. kalah 0-4 dari Jerman Barat. “Momen melawan Inggris tak diragukan lagi jadi momen terhebat dalam karier saya,” kenang Bilal yang mencetak gol kemenangan Qatar atas Inggris di semifinal.
Timnas Qatar di final Piala Dunia Yunior 1981 kontra Jerman Barat (Foto: fifa.com)
Prestasi itu berulang 11 tahun berselang di Olimpiade Barcelona 1992. Qatar, yang ditukangi pelatih legendaris Brasil Evaristo de Macedo, melaju sampai perempatfinal. Laju mereka baru berhenti setelah dikalahkan Polandia 0-2 di Camp Nou. Di tahun yang sama, Qatar untuk kali pertama juara Gulf Cup di negeri mereka sendiri. Prestasi itu mereka ulangi tahun 2004 dan 2014.
Walau pelan, kemajuan sepakbola Qatar berjalan konstan. Penyebabnya, pemerintah Qatar punya perhatian besar di sektor olahraga. Terlebih, setelah Qatar National Vision 2030 dicetuskan pemerintah pada Oktober 2008.
Selain banyak membangun infrastruktur sepakbola, Qatar membangun para atletnya secara serius lewat Aspire Academy, yang dibuat Emir Qatar lewat dekrit Nomor 16 Tahun 2004. Qatar juga terus menyempurnakan liganya dengan mendatangkan banyak pemain asing untuk diambil ilmunya.
“Timnas yang bagus itu hasil dari liga profesional yang bagus. Liga yang bagus bahan bakunya ya dari akademi. Makanya akademi harus dijalankan secara profesional. Jangan melihat investasi akademi itu sebagai beban,” kata pengamat sepakbola Timo Scheunemann kepada Historia, Oktober 2018.
Baca juga: Saatnya Belajar dari Sepakbola Jepang
Upaya serius Qatar akhirnya membuahkan hasil di AFC U-19 2014 di Myanmar. Kesuksesan itu tak lepas dari komposisi tim, yang berisi atlet-pelajar jebolan Aspire Academy. Untuk mengatasi kekurangan pemain mengingat kecilnya jumlah penduduk, Qatar belakangan mengisi timnasnya dengan pemain naturalisasi, yang juga juga bertujuan agar lebih kompetitif. “Satu-satunya cara Qatar bisa kompetitif adalah mengimpor pemain dan menaturalisasi mereka,” ungkap Jesse Fink dalam 15 Days of June: How Australia Became a Football Nation.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar