Cristiano Ronaldo, Lebah Kecil dari Madeira
Ronaldo “Si Lebah Kecil” yang bermetamorfosis jadi petarung sepakbola. Kehadirannya nyaris ditolak sang ibu lantaran ekonomi keluarga.
CRISTIANO Ronaldo, megabintang Juventus berpaspor Portugal, dilaporkan positif terjangkit Covid-19 (virus corona). Tak hanya mengagetkan publik sepakbola internasional, kasus tersebut seolah membenarkan pendirian politikus Italia Vincenzo De Luca. Sebelumnya, De Luca membela keputusan Napoli yang tak hadir di jadwal Serie A kontra Juventus, 5 Oktober 2020, dengan harapan mencegah lebih banyak pemain tertular Covid-19.
“Tidak ada yang berterimakasih kepada kami karena mencegah Cristiano Ronaldo dari tertular virusnya. Coba bayangkan jika Napoli datang dengan beberapa kasus positif di skuad mereka seperti Genoa. Jika Ronaldo tertular sepekan kemudian, kami akan mendapat kecaman dari semua halaman depan surat kabar,” ujar De Luca, di laman resmi Juventus, Minggu (11/10/2020).
FPF, induk sepakbola Portugal, mengabarkan dalam situs resminya, Selasa (13/10/2020), megabintang berusia 35 tahun itu mendapati hasil positif pada tes Covid-19 pascalaga penyisihan Grup 3 UEFA Nations League kontra Prancis (0-0) di Stade de France.
“Cristiano Ronaldo dibebastugaskan dari tim nasional setelah mendapatkan hasil positif pada tes Covid-19, jadi dia takkan tampil menghadapi Swedia. Kondisi dia dalam keadaan baik, tanpa gejala, dan berada dalam isolasi,” demikian pernyataan FPF.
Baca juga: Di Balik Derby della Madonnina
Banyak yang mengharapkan pesepakbola berjuluk “CR7” itu bisa pulih sesegera mungkin sebagaimana sejumlah bintang lain, semisal Zlatan Ibrahimović (Swedia/AC Milan), yang sempat positif Covid-19 namun kini dinyatakan sembuh. Optimisme para penikmat bola bertolak dari gaya hidup sehat Ronaldo dan kondisi fisiknya yang di atas rata-rata pemain seusianya.
Menukil Sport Bible, 5 Februari 2020, saat Ronaldo dibeli Juventus pada 2018, hasil pemeriksaan medisnya menyatakan di dalam tubuh Ronaldo terdapat tujuh persen lemak tubuh, 50 persen massa otot, dan overall kondisi fisik seperti pemain yang baru berusia 20 tahun.
Ia bahkan bisa melompat lebih tinggi dari rata-rata para pemain NBA (kompetisi basket Amerika). Terbukti pada Desember 2019 lampau ia mampu menantang gravitasi. Ia mencetak gol fenomenal lewat sundulannya ke gawang Sampdoria. Gol itu ia ceploskan setelah melompat setinggi 2,56 meter di atas permukaan tanah.
Bintang ber-DNA Afrika yang Sempat Tak Diinginkan
Kebintangan Ronaldo bukanlah hasil dari usaha semalam. Ia merupakan hasil dari tempaan keras bertahun-tahun.
Semua bermula dari kepindahan Maria Dolores dos Santos Viveiros (ibunya) dan José Dinis Aveiro (ayahnya) dari daratan Portugal ke Funchal di Pulau Madeiro pasca-Revolusi Anyelir, kup militer untuk menjatuhkan rezim totalitarian Estado Novo pada 1974. Di Funchal, mereka menempati sebuah rumah kecil di Jalan Quinta do Falcão nomor 27A, Desa Santo António.
Ekonomi keluarga hanya ditopang Dinis. Dari berdagang ikan, Dinis kemudian menjadi pemecah batu, tukang kebun, lalu staf peralatan di sebuah klub divisi semenjana CF Andorinha de Santo António.
Baca juga: Lionel Messi, Alien Sepakbola yang Membumi
Pada pertengahan 1984, Dolores mengandung anak keempatnya. Dengan ekonomi pas-pasan, kehamilan itu menjadi masalah buatnya sehingga dia memutuskan mengambil tindakan nekat.
“Usia Dolores saat itu 30 tahun dan kehamilannya sama sekali tak direncanakan. Tidak ada cukup makanan untuk semua orang di rumah itu. Faktanya dia pernah mencoba untuk aborsi. Seorang tetangga menyarankan dia minum bir hitam yang direbus dan berlari sampai dia pingsan,” tulis jurnalis sepakbola Guillem Balague dalam Cristiano Ronaldo: The Biography.
Upaya tersebut gagal. Dolores pun mendatangi dokter. Namun, Tidak satupun dokter yang ia datangi mau membantunya aborsi. Akhirnya dia melihat tidak adanya alasan untuk menggugurkan kandungannya. “Kehamilan ini akan jadi kebahagiaan di rumah kami,” kenang Dolores, dikutip Balague.
Dolores pun melahirkan bayi bungsunya pada 5 Februari 1985. Dolores menamainya Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro. Nama “Ronaldo” diambil dari Ronald Reagan, presiden ke-40 Amerika Serikat (1981-1989), yang merupakan figur pujaan Dolores dan Dinis sejak Reagan masih seorang aktor.
Menurut Balague, di dalam tubuh Ronaldo mengalir DNA nenek moyang asal Afrika. Darah itu mengalir dari garis ayahnya.
“Nenek buyut Cristiano dari garis ayah adalah Isabel Rosa Piedade yang lahir di Praia, ibukota Cape Verde (negara kepulauan di barat Afrika) tahun 1864. Saat 16 tahun dia bermigrasi ke Funchal, di mana dia menikahi José Aveiro. Isabel dan Jose punya putra bernama Humberto (Cirílo Aveiro) yang tak lain ayah dari José Dinis dan kakek Cristiano,” sebut Balague.
“Silsilah Afrika itu yang mungkin jadi penjelasan tentang bawaan lahir kemampuannya sebagai pesepakbola. Singkatnya, serat-serat otot yang lazim dimiliki para sprinter kulit hitam (serat putih, tipe II, untuk kontraksi cepat yang memproduksi ledakan energi tanpa memerlukan oksigen) juga dimiliki Ronaldo sejak lahir,” imbuhnya.
Metamorfosis Lebah Kecil
Kehadiran Ronaldo perlahan menghadirkan kebahagiaan di keluarga Dinis-Dolores. Dua kakak Ronaldo yang masih sekolah diterima bekerja sebagai pelayan restoran. Dolores sendiri diterima bekerja di sebuah hotel di kota (Funchal). Tiada satupun dari mereka kekurangan makan sejak itu.
Ronaldo menggemari sepakbola, terutama setelah beranjak usia lima tahun dia bisa menontong tayangan sepakbola di televisi. Ayah dan ibunya masing-masing punya tim idola sama-sama dari Pulau Madeira.
“Tim favorit Dinis adalah Maritimo. Tim Primiera Liga lain di Madeira adalah (CD) Nacional yang jadi favorit ibunya. Sang ibu juga fan Sporting Lisbon, salah satu klub terbaik Portugal. Suasana di rumah jadi penuh tensi setiapkali terjadi Derby Madeira,” tulis Michael Part dalam Cristiano Ronaldo: The Rise of a Winner.
Baca juga: Dinho Oh Dinho...
Karena masih terlalu muda dibanding beberapa anak di lingkungannya, Ronaldo jarang diajak main bareng. Dia hanya menendang-nendang bola dari kaus kaki yang ia bentuk seperti bola kecil. Melihat itu, sang ayah membawakan bola bekas dari CF Andorinha untuknya.
Sejak saat itu Ronaldo diajak main bareng oleh anak-anak di lingkungannya. “Saya biasa bermain di jalanan karena saat saya kecil tidak ada lapangan bola dekat rumah. Ketika saya berusia lima atau enam tahun dengan teman-teman biasa bermain di tengah jalan menggunakan dua pasang batu sebagai gawangnya. Kami pun harus berhati-hati dengan lalulintas jalannya. Kami juga harus mengambil batunya jika ada bus yang mau lewat dan meletakkannya lagi setelah itu. Begitu seterusnya,” kenang sang bintang dalam Cristiano Ronaldo karya Gail B. Stewart.
Di sekolah ia termasuk anak yang mudah menyerap pelajaran. Mata pelajaran kesukaannya kala duduk di bangku kelas lima sekolah dasar adalah Ilmu Alam.
Baca juga: Mesin Uang Bernama Beckham
“Pulau saya, Madeira, adalah pulau volkanik yang punya banyak varietas tumbuhan yang bisa berubah menjadi taman mempesona. Kelas-kelas Ilmu Alam begitu membuat saya tertarik dan semua perhatian saya terfokus pada pelajaran-pelajaran itu.” kata Ronaldo, dikutip Stewart.
Namun, kecintaan Ronaldo pada sepakbola lebih besar. Ia pun sering bolos sekolah. “Saya menyesal tak belajar lebih rajin, namun saya harus membuat pilihan dalam hidup saya,” sambung Ronaldo yang akhirnya memilih putus sekolah.
Ibunya memaklumi. Melihat bakat putra bungsunya, Dolores tak ambil pusing dengan protes guru-gurunya soal seringnya Ronaldo bolos sekolah. Dolores paham bahwa sepakbolalah yang akan jadi jalan hidup putranya di masa depan.
Di usia tujuh tahun, Ronaldo mulai diasah di CF Andorinha, klub amatir tempat ayahnya bekerja. Di sini, Ronaldo mulai punya julukan “Abelhinha” alias si Lebah Kecil.
“Julukannya karena dia bisa men-dribble bola secara cepat dengan langkah-langkah zig-zag dan karena dia punya tubuh yang kurus dan kecil. Hal ini yang membuatnya sempat gusar karena rekan-rekan setimnya mulai tumbuh besar, sementara badannya tetap kurus dan kecil. Hal ini juga yang menurut para pelatihnya jadi kelemahannya saat menghadapi pemain lawan yang lebih besar dan kuat,” sambung Stewart.
Selain mampu membawa bola dengan cepat, kelebihan lain Ronaldo adalah intuisi dan refleksnya. Kelebihan ini sudah ia latih secara mandiri sejak sering bolos sekolah.
“Ketika teman-temannya menolak bolos sekolah untuk main bola, dia selalu menemukan cara melatih skill-nya sendiri. Dekat rumahnya ada sebuah sumur dengan tembok besar, sekitar 20 meter persegi. Itu sempurna untuk berlatih menendang bola ke tembok. Karena bola dengan cepat kembali mengarah padanya, dengan sendirinya refleksnya terlatih untuk mengontrol bola, seperti yang kemudian dia praktikkan terhadap lawan dalam pertandingan,” lanjutnya.
Baca juga: Ronaldo dan Pahit Manis Kisah Martunis
Soal fisik, Ronaldo mengakalinya dengan meminta porsi makanan dua kali lipat dari sang ibu. Tapi bukannya tambah besar, tubuhnya malah meninggi.
Buah dari semua kedisiplinan itu membuat karier Ronaldo terus menanjak. Pada 1995, dia pindah ke CD Nacional, klub profesional idola ibunya, untuk lebih mengembangkan sayapnya. Tiga tahun ia berkostum CD Nacional. Dari sinilah titik balik karier sepakbolanya terjadi. Tiga hari trial yang dilakoni Ronaldo membuat dua pelatih akademinya, Paulo Cardoso dan Osvaldo Silva, terkesan.
“Saya menoleh ke Osvaldo dan bilang, ‘Yang ini berbeda. Dia punya sesuatu yang istimewa.’ Dan kami bukan satu-satunya yang berpikiran sama. Di akhir sesi, semua peserta trial mengerubunginya. Mereka sudah tahu dia yang terbaik,” kenang Cardoso, dikutip Luca Caioli dalam Ronaldo: The Obsession for Perfection.
Baca juga: Tendangan dari Bauru
“Dia bisa bermain dengan kedua kakinya, luar biasa sangat cepat dan saat di lapangan, bola ibarat menyatu dengan tubuhnya. Tapi yang membuat saya sangat terkesan adalah determinasinya. Kekuatan karakternya sangat kentara. Dia berani, tak kenal takut oleh pemain yang lebih tua. Bahkan dia sudah punya kualitas kepemimpinan dan hanya para pemain hebat yang memilikinya,” timpal Direktur Akademi Sporting CP Aurélio Pereira.
Setelah itu, Ronaldo yang berusia 12 tahun direkrut Sporting Clube de Portugal (Sporting Lisbon). Mulai 17 April 1997 itulah Ronaldo memulai petualangan sepakbola profesionalnya. Ronaldo terpaksa meninggalkan keluarganya.
Di Balik Imej Arogan
Tekad kuat plus kerja keras membuat Ronaldo akhirnya menjadi megabintang. Selain dipinang berbagai klub besar dan jadi andalan timnas Portugal, berbagai gelar individu telah direngkuhnya.
Namun, tiada gading yang tak retak. Imej arogan jadi isu yang acap diusung para haters-nya. Predikat yang lekat pada dirinya hingga kini itu mulai eksis sejak ia berseragam Manchester United (MU).
Sejatinya, Ronaldo seorang “family man”. Baginya keluarga nomor satu. Terhadap ayahnya yang pecandu minuman keras pun dia memberi perhatian. Sejak berkarier di MU, berulang kali ia membawa ayahnya ke rumahsakit untuk mengatasi kecanduannya.
Baca juga: Wartawan Pencetus Ballon d'Or
“Tapi pada akhirnya tak ada yang bisa ia lakukan. Kondisi ginjal ayahnya terus memburuk. Saat kualifikasi Piala Dunia medio September 2006, ia mendapat kabar ayahnya wafat. Pelatih menyarankannya untuk pulang. Ronaldo menolak. ‘Ayah saya pasti ingin saya tetap bermain. Dia sudah melakukan segalanya dalam hidupnya agar saya bisa bermain sepakbola,” kata Ronaldo, dikutip David Fischer dalam Cristiano Ronaldo: International Soccer Star.
Trauma akibat meninggalnya sang ayah membuat Ronaldo disiplin dalam gaya hidup sehat. Dia menjauhkan diri dari minuman keras.
Kebajikan yang diajarkan sang ayah juga ikut membentuk karakter Ronaldo. Kecintaannya pada kemanusiaan merupakan salah satu kebajikan itu. Salah satu bukti tingginya rasa kemanusiaan Ronaldo adalah ketika dia mendengar kisah bocah Martunis yang jadi korban tsunami Aceh pada 2004. Ronaldo terharu mendengarnya dan setahun berselang datang ke Aceh lalu mengangkat Martunis sebagai anak.
Baca juga: Para Bintang yang Disanjung Standing Ovation
“Ayah saya mengajarkan bahwa saat Anda menolong orang lain, Tuhan akan membalasnya dua kali lipat. Dan itu yang terjadi pada saya,” cetus Ronaldo soal jamaknya kegiatan amal yang ia lakoni, dikutip Brian Doyle dalam Cristiano Ronaldo: World-Beater.
Demi kemanusiaan itu pula Ronaldo rela menjual trofi Ballon d’Or yang diperolehnya tahun 2012. Hasil 1,5juta euro yang didapatnya lalu didermakannya.
“Dia menggunakan uangnya untuk membantu membiayai sebuah sekolah di Jalur Gaza, Palestina. Sikap Ronaldo dalam donasinya bukan untuk membuat pernyataan politik terkait pihak mana yang ia dukung; dia hanya ingin membuat hidup anak-anak di Gaza lebih baik,” tandas Doyle.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar