Masuk Daftar
My Getplus

Perkawanan Dua Perwira AD, Yani dan Mitro

Kisah keakraban antara Letnan Jenderal Achmad Yani dengan Kolonel Soemitro.

Oleh: Martin Sitompul | 26 Okt 2019
Ahmad Yani dan Soemitro. Ilustrasi: Gun Gun Gunadi/Historia.

DENGAN kondisi punggung sakit, Kolonel Soemitro menghadap bosnya, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani. Mitro dipanggil langsung ke rumah Yani di Jalan Lembang untuk membicarakan penugasannya ke Kalimantan. Sang kolonel yang berperut tambun itu sedang menderita slipped disc - tulang belakang keseleo yang mengenai urat - sehingga jalannya miring-miring untuk mengurangi rasa sakit. Melihat perut bawahannya yang besar, Yani nyeletuk dalam bahasa Jawa kepada istrinya, Yayuk.

“Bu, Bu lihat Mitro, wetenge, weteng Panglima (perutnya perut Panglima),” kata Yani.  Dia kemudian kemudian memberikan perintah kepada Mitro.

“Mit, kamu pergi ke Balikpapan, gantikan Hario Kecik,” ujar Yani.

Advertising
Advertising

“Ini perintah, atau masih tanya pendapat,” tanya Mitro.

“Perintah,” jawab Yani tegas.  

Baca juga: 

Ahmad Yani, Sang Flamboyan Pilihan Bung Karno

Dijawab demikian, Mitro tidak dapat berkutik. Padahal, dirinya baru saja "menolak"  rencana Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudra (Asisten III Menpangad bidang personel) dan Mayor Jenderal Soeprapto (Deputi II Menpangad bidang administrasi) yang akan memberinya posisi baru. Mitro memang selalu menolak dengan alasan ingin tetap bersama keluarga. Tapi kalau sudah berurusan dengan Yani – orang nomor satu di jajaran Angkatan Darat – lain cerita.

“Namanya prajurit, ya, harus nurut perintah. Hidup prajurit itu ditentukan oleh perintah,” kenang Mitro dalam otobiografinya Soemitro: Dari Panglima Mulawarman sampai Pangkopkamtib yang disusun Ramadhan K.H.  

Perintah Yani disanggupi oleh Mitro. Bagi Mitro, Yani adalah seorang atasan sekaligus kawan sejak lama. Menurut Mitro, Yani bersedia mendengarkan pendapat yang berbeda dan siapa saja bebas berargumentasi. Tapi kalau Yani sudah ambil keputusan, semua orang mesti tunduk.  

Maka pada Februari 1965, berangkatlah Mitro ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Mitro menggantikan Panglima Kodam Mulawarman Brigadir Jenderal Soehario Padmodiwirio yang biasa dipanggil Hario Kecil. Sementara Mitro, akrab disapa Mitro Gendut. Sebagai panglima yang baru, pangkat Mitro naik setingkat jadi brigadir jenderal.  

Di Balikpapan, Soemitro cukup ketat terhadap anak buahnya. Dia menahan tiga perwira menengah yang berafiliasi dengan PKI. Berita ini terdengar sampai ke Jakarta. Akibatnya, Mitro dipanggil menghadap Presiden Sukarno. Yani ikut serta mendampingi Mitro ke Istana Negara.

Baca juga: 

Kisah Jenderal Pemarah

Pagi sekali Yani dan Mitro diterima Bung Karno  yang tengah berada di beranda belakang Istana Negara. Perbincangan terjadi di sela-sela waktu Bung Karno bersarapan. Selagi asyik makan, tiba-tiba Bung Karno bertanya kepada Mitro.

“Saya dengar Generaal Mitro sering ngrasani (membicarakan kejelekan, red) saya? tanya Sukarno.

Mitro kaget  dalam beberapa detik. Namun kemudian dia menjawab: “Oh tidak pernah, Pak. Saya bisa merasakan nggraga gitok (kekurangan) saya sendiri.”

“Oh, bagus, bagus,” balas Bung Karno. Sejurus kemudian, dia kembali bertanya, “lalu ngrasani apa, Generaal Mitro?”

“Saya tidak pernah ngrasani, Pak. Saya cuma belajar dari kesalahan-kesalahan Bapak,” ujar Mitro.

Mendengar itu, Yani cemas karena menganggap jawaban Mitro agak lancang. Sontak saja Yani menginjak kaki Mitro. Mitro tertegun dan berbisik pada Yani dalam bahasa Jawa, apakah dia tetap lanjut melapor keadaan di Balikpapan kepada Bung Karno atau tidak sama sekali.

Wis, menenga cengkemmu! (Sudah, tutup saja mulutmu!),” kata Yani dengan nada jengkel. Yani dan Mitro beruntung karena Bung Karno menanggapi dengan santai. Mereka pun pulang dari Istana dengan hati lega karena terhindar dari “omelan” Presiden.  

Baca juga: Rencana Pembunuhan Sukarno, Yani, dan Soebandrio

Keakraban Yani dan Mitro pun ditangkap oleh Amelia Yani, salah seorang putri Yani. Amelia yang menulis biografi ayahnya, Profil Seorang Prajurit TNI dalam bab khusus “Apa  dan Siapa, Teman-teman Bapak” memasukan Mitro sebagai salah satu di antaranya. Perkenalan mereka bermula di kereta api pada 1956.

“Sewaktu bapak pindah ke Jakarta sedangkan Pak Mitro dalam perjalanan ke Surabaya,” tulis Amelia.  

Beberapa bulan sebelum peristiwa 30 September 1965, Yani bersama para asisten dan deputinya berkunjung ke Kalimantan. Turut pula dalam kunjungan itu Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo, Mayor Jenderal Suwondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Pandjaitan, dan Brigadir Jenderal Soetoyo. Tidak ketinggalan, aktifitas main golf mengisi waktu luang sang panglima di sana.

Sore hari, Yani main golf ditemani Taswin Natadiningrat. Panglima Mulawarman Brigadir Jenderal Soemitro datang ke lapangan untuk menyambut Yani dan melaporkan kiriman radiogram dari Jakarta. Yani menyapa Mitro.

“Golf, Mit?” kata Yani.

Baca juga: 

Jenderal Yani di Lapangan Golf

Karena Soemitro belum mahir main golf, dia menolak. “Golf itu untuk orang disabled (cacat)!,” ujar Mitro bercanda.

Yani membalas, “Kurang ajar kowe (kau)!”

Itulah pertcakapan terakhir Mitro dengan Yani.

Sepeninggal Yani, Mitro menjadi perwira penting di masa peralihan menuju Orde Baru. Pada awal 1970-an, Mitro merupakan orang kedua di jajaran TNI AD dengan kedudukan  Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Karier militer Jenderal Mitro jatuh usai peristiwa kerusuhan Malari 1974. Dalam insiden itu, dia berseteru dengan mantan anak buah Yani yang lain: Ali Moertopo.  

Baca juga: Soemitro dan Ali, Kisah Duel Dua Jenderal

TAG

jenderal ahmad-yani

ARTIKEL TERKAIT

Evolusi Angkatan Perang Indonesia Kisah Perwira TNI Sekolah di Luar Negeri Dicopot dari Panglima ABRI, Jenderal Benny Moerdani Santai Sudirman dan Bola Sehimpun Riwayat Giyugun Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto Pengemis dan Kapten Sanjoto Jenderal Disko Ancaman Pemakzulan Gubernur Jenderal VOC