UNTUK kali pertama sejak bergulirnya reformasi, ancaman pembunuhan menyasar pejabat tinggi negara. Ini diungkapkan langsung oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian pasca kerusuhan menyikapi hasil pemilu 21-22 Mei 2019. Mereka yang jadi target pembunuhan antara lain Jenderal (Purn.) Wiranto (Menkopolhukam), Jenderal (Purn.) Luhut Panjaitan (Menko Kemaritiman), Jenderal Pol. Budi Gunawan (kepala Badan Intelijen Negara), dan Yunarto Wijaya (pimpinan lembaga survei Charta Politika).
Mantan kepala staf Kostrad, Mayjen (Purn.) Kivlan Zein disebut-sebut berada di balik rencana pembunuhan tersebut. Kivlan sendiri dan orang-orang yang ditugaskan untuk melancarkan aksi pembunuhan sudah tertangkap. Mereka dinyatakan sebagai tersangka dan terancam jeratan pasal perbuatan makar.
Perbuatan makar dengan merencanakan pembunuhan juga pernah terjadi di masa Presiden Sukarno. Pada 28 Mei 1965, Sukarno sendiri yang mengatakan hal itu di hadapan para panglima Kodam se-Indonesia saat berpidato di Istana Olahraga, Senayan. Mereka yang menjadi sasaran pembunuhan adalah Presiden Sukarno, Menteri Panglima AD Letjen Ahmad Yani, dan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Soebandrio. Yani dan Soebandrio merupakan pembantu-pembantu utama Sukarno.
Baca juga: Ahmad Yani, Sang Flamboyan Pilihan Bung Karno
“Salah satu plan adalah, untuk bunuh beberapa pemimpin Indonesia, Soekarno, Yani, Soebandrio, itu yang pertama-tama harus om zeep gebracht, harus dibunuh. Malah kalau bisa sebelum Konferensi Aljazair,” kata Bung Karno dalam pidatonya berjudul “Imperialis Mau Menghantam, Kita Harus Siap Siaga” termuat di kumpulan pidato Bung Karno: Masalah Pertahanan-Keamanan.
Menurut Sukarno, rencana pembunuhan itu berasal dari kaum imperialis atau dalam istilahnya disebut nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme). Secara tersirat, nekolim merujuk Amerika Serikat (AS) yang memimpin blok Barat dalam percaturan Perang Dingin. Sejak pertengahan 1950-an, AS telah merancang penggulingan Sukarno dengan mensponsori pemberontakan PRRI-Permesta.
Sukarno melanjutkan, jika aksi pembunuhan itu gagal, maka akan dilancarkan serangan terbatas. Caranya dengan membongkar rahasia Sukarno, Yani, dan Soebadro. Apakah itu berkaitan dengan skandal pribadi atau perbuatan memalukan lainnya. “Sehingga rakyat akan berontak, memberontak terhadap, Sukarno, Yani, dan Soebandrio,” kata Sukarno.
Baca juga: Sukarno, Majalah Playboy, dan CIA
Dugaan Sukarno ini didasarkan atas temuan dokumen rahasia yang diserahkan oleh Soebandrio lewat Badan Pusat Intelijen (BPI). Dokumen tersebut bermuasal dari aksi massa demonstran terhadap gedung Kedutaan Inggris di Jakarta dan kediaman sineas Holiwood, Bill Palmer di kawasan Puncak. Didapatilah salah satu surat mencurigakan yang ditujukan kepada Kementerian Luar Negeri Inggris. Isinya mufakat antara Dubes Inggris Andrew Gilchrist dan Dubes Amerika dengan bantuan sejumlah dewan jenderal di kalangan AD (our local army friends) untuk menjatuhkan rezim Sukarno.
Belakangan, dokumen yang dikenal dengan nama “Dokumen Gilchrist” itu dinyatakan palsu karena diragukan otentisitasnya. Menurut Anthony Dake dalam disertasinya yang dibukukan In The Spirit of The Red Banteng: Indonesia Communist Between Moscow and Peking 1959-1963, Soebandrio adalah pemalsu Dokumen Gilchrist. Soebandrio yang tidak memeriksa secara teliti keaslian dokumen itu serta merta menyerahkannya kepada Sukarno untuk maksud dan tujuan politik tertentu.
Baca juga: Mulai Gilchrist Sampai WikiLeaks
Namun menurut Peter Dale Scott, mantan diplomat Kanada dan pakar politik University of California, sejak awal Mei 1965 pemasok-pemasok militer Amerika yang mempunyai hubungan dengan CIA (terutama grup Lockhead) sedang merundingkan penjualan perlengkapan dengan komisi-komisi melalui jasa perantara. Ini ditujukan kepada pihak militer Indonesia di luar kelompok Yani dan Nasution sebagai pimpinan resmi AD.
“Hadiah-hadiah itu diperuntukkan bagi pendukung-pendukung fraksi ketiga dalam AD yang sampai saat itu kurang dikenal, yaitu Mayjen Soeharto,” tulis Scott dalam artikelnya yang terkenal “U.S. and Overthrouw of Sukarno, 1965--1967” (CIA dan Penggulingan Sukarno) termuat di jurnal Pacific Affairs (1985). Scott menyebutkan bahwa Soeharto mempunyai seorang utusan yang telah lama membina hubungan dengan dinas intelijen Amerika, CIA bernama Kolonel Walandouw.
Baca juga: Soeharto di Tengah Dua Jenderal
Seturut dengan Scott, tokoh PNI Manai Sophiaan dalam Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI, mengatakan prasangka Sukarno perihal ancaman terhadap dirinya benar adanya. Pendapat Sophiaan mengacu kepada kemiripan dokumen-dokumen State Department dan CIA yang telah dideklasifikasi.
Pada fakta sejarahnya, ancaman pembunuhan sebagaimana yang dikemukakan Sukarno memang tidak pernah terjadi. Namun kedudukan politik Sukarno, Yani, dan Soebandrio ditentukan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus. Inilah tonggak berakhirnya rezim Sukarno.
Yani tewas dalam insiden pagi jahanam 1 Oktober 1965. Pimpinan AD kemudian berpindah kepada Soeharto. Soebandrio ditangkap dan kemudian dipenjarakan selama 30 tahun. Itupun atas perintah dari Soeharto yang memperoleh mandat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966. Sukarno terjungkal dari kekuasaannya yang pada akhirnya digantikan oleh Soeharto. Demikianlah masa Orde Baru dimulai.
Entah makar atau bukan, di balik narasi sejarah seputar penggulingan Sukarno masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan maupun pemerhati sejarah sampai saat ini.
Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S