Kisah Jenderal Pemarah
Beberapa jenderal kerap melampiaskan amarahnya secara terbuka. Mulai dari bicara keras hingga menampar bawahan.
ADA emosi yang tersulut dalam debat calon presiden seri keempat kemarin. Cerita bermula saat adu gagasan memasuki isu pertahanan dan keamanan. Calon nomor 2, Prabowo Subianto menyampaikan visi dan misinya. Menurut Prabowo, pertahanan Indonesia masih tergolong rapuh. Apabila negara asing menyerang, pertahanan Indonesia sangat lemah, demikian pendapat Prabowo.
Di tengah debat, sewaktu Prabowo menanggapi argumen Joko Widodo, sayup-sayup terdengar gelak tawa di tengah penonton. Mendengar itu, Prabowo menghardik dengan nada geram, “Kenapa kalian tertawa? Pertahanan Indonesia rapuh kalian ketawa. Lucu ya? Kok lucu?,” ujar Prabowo. “Silahkan ketawa kalau negara kita lemah… silahkan,” ucap Prabowo menantang seraya mengakhiri sesinya.
Baca juga: Darah Minahasa di Tubuh Prabowo
Prabowo berang. Dia jelas terpancing oleh ulah penonton. Pada kontestasi periode sebelumnya pun, Prabowo seperti punya masalah dalam manajemen emosi. Sebagai manusia, berlaku emosional itu merupakan hal yang sangat manusiawi. Namun itu bisa membawa celaka pada orang lain jika dijadikan alat intimidasi.
Jenderal Pistol-Pistolan
Seperti halnya Prabowo yang mantan tentara, sikap temperamental juga lumrah dialami para jenderal di masa lalu. Di era Orde Baru terdapat nama Jenderal Soemitro. Mantan Panglima Kopkamtib di era Orde Baru ini dikenal sebagai jenderal temperamental. Mitro – panggilan Soemitro – memang punya karakter tegas dan blak-blakan.
“Pak Mitro kadang-kadang lepas kendali,” kata Wakil Kepala Staf AD periode 1973-74 Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo yang pernah menjadi orang dekat Soemitro kepada Historia. Ketika ditanya lepas kendali seperti apa, Sayidiman berujar, “Menampar orang dan bawahannya yang bersalah.” Penggamparan itu, menurut Sayidiman terjadi semasa Soemitro masih menjabat Panglima Kodam Brawijaya pada 1966.
Ketika menjabat Pangkopkamtib, sosok Soemitro kerap membayang-bayangi kewibawaan Presiden Soeharto. Untuk berebut pengaruh, Soemitro saling sikut dengan Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, Mayjen Ali Moertopo, perwira intelijen yang juga punya ambisi politik. Tragedi kerusuhan dan pembakaran yang pecah pada 15 Januari 1974 (Malari) konon sarat dengan nuansa rivalitas antara Soemitro dan Ali.
Baca juga: Soemitro dan Ali, Kisah Duel Dua Jenderal
Ujung dari Peristiwa Malari beriring jalan dengan tamatnya karier militer Soemitro. Dia dianggap gagal bertanggung jawab dalam mengendalikan keamanan kota Jakarta yang dilanda kerusuhan. Soemitro pun terpental dari gelanggang kekuasaan. Pada 1975, Soemitro menitip pesan kepada Benny Moerdani yang waktu itu masih menjadi perwira menengah intelijen anak buah Ali Moertopo.
“Tolong sampaikan kepada Ali. Kalau terus-terusan merusak nama baik saya, dia akan saya datangi dan saya ajak pistol-pistolan,” demikian pesan Soemitro sebagaimana terkisah dalam otobiografi Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib yang disusun Ramadhan K.H.
Ayo Kita Selesaikan!
Di era Orde Lama, ada Mayjen Moersjid. Pada 1962, Moersjid menjabat Deputi Operasi Menteri Panglima AD. Moersjid dikenal sangar. Dia pernah hampir baku hantam dengan Menteri Luar Negeri Soebandrio karena merujuk dirinya sebagai perwira arogan.
Berawal ketika Moersjid mendampingi Soebandrio ke Tiongkok pada akhir 1963. Sebelum berangkat, Moersjid telah dipesankan atasannya, Menteri Panglima AD Letjen Ahmad Yani agar tak terikat iming-iming apapun dari pemerintah Republik Rakyat Tionghoa. Di Beijing, Perdana Menteri Chou En-Lai menawarkan bantuan persenjataan apabila Indonesia mau.
Dalam memoarnya Soebandrio: Kesaksianku Tentang G30S, Soebandrio menyebutkan tawaran Chou berupa peralatan militer untuk 40 batalion tentara mulai dari senjata manual, otomatis, tank, dan kendaraan lapis baja. Semuanya gratis tanpa syarat. Namun tawaran tadi berakhir dengan ucapan terimakasih saja tanpa kesepakatan.
Ketika lobi-lobi dengan pihak Chou berlangsung, Moersjid secara spontan menyepak halus kaki Soebandrio di bawah meja sebagai isyarat penolakan. Sesampainya di Jakarta dalam rapat kabinet, Soebandrio mengatakan bahwa ada jenderal muda yang arogan. Moersjid sontak berdiri. Katanya, “Bandrio, kita selesaikan ini di luar,” sebagaimana dituturkan Siddharta Moersjid, putra keempat Moersjid kepada Historia.
Karena reputasinya yang pemberang, Moersjid dimentahkan oleh Presiden Sukarno untuk menggantikan Yani pada hari-hari yang menentukan setelah Gerakan 30 September 1965. Karier militernya mentok di masa peralihan ke Orde Baru sebagai duta besar dengan pangkat letjen.
Pateni Wae!
Kembali ke soal Malari. Meski jarang terlihat menampilkan sisi emosionalnya, Presiden Soeharto juga bisa berlaku berangasan. Jenderal yang dikenal karena senyum ramahnya ini pernah membunuh masa depan suratkabar yang cukup berpengaruh.
Pasca Malari, beberapa media mengabarkan pemberitaan kritis yang terkesan menyudutkan pemerintah. Salah satunya adalah harian Pedoman yang diasuh oleh Rosihan Anwar sebagai pemimpin redaksi. Beberapa suratkabar lain diantaranya, Indonesia Raya, Abadi, Harian Kami, dan Nusantara.
Baca juga: Mencatat Rosihan Mengenang Soerjono
Saat itu, Menteri Penerangan yang dijabat Mashuri Saleh punya otoritas melaksanakan pencabutan izin penerbitan suratkabar. Mashuri bertanya kepada Soeharto mengenai apakah Pedoman boleh diterbitkan kembali atau tidak. Momen tersebut terjadi sekira 14 hari sesudah Peristiwa Malari.
Dengan ketus dan gamblang Soeharto menjawab dalam bahasa Jawa, “Pateni wae (matikan saja)” tutur Mashuri kepada Rosihan Anwar termuat dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 5: Sang Pelopor.
“Maka tamatlah riwayat Pedoman, sebuah suratkabar yang mulai terbit di zaman revolusi, yaitu tanggal 28 November 1948,” kenang Rosihan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar