Masuk Daftar
My Getplus

Lika-liku Pesawat T-50

Lahir sebagai versi mini jet tempur F-16, T-50 dibikin Korea. Indonesia jadi operator asing pertamanya.

Oleh: Randy Wirayudha | 20 Jul 2022
Pesawat jet latih supersonik T-50i dari Skadron Udara ke-15 TNI AU (tni-au.mil.id)

SEBELAS hari menjelang Hari Bhakti TNI AU, matra udara justru berduka. Satu pesawat latih T-50i bernomor TT-5009 dari Skadron Udara 15 yang dipiloti Lettu (Pnb) Allan Syafitra jatuh di desa Nginggil, Blora, Jawa Tengah pada Senin (18/7/2022) malam.

Kecelakaan saat latihan terbang malam itu menewaskan sang pilot lulusan Sekolah Penerbang TNI AU 2017 tersebut. Mengutip laman TNI AU, Selasa (19/7/2022), Pesawat T-50i itu hilang kontak radio dengan Pangkalan Udara (Lanud) Iswahyudi pada pukul 19.07 malam sebelum akhirnya dilaporkan jatuh dengan penyebab yang masih belum diketahui. Saat ini kecelakaannya masih dalam penanganan Tim Panitia Penyelidikan Kecelakaan Pesawat Udara (PPKU).

Insiden tersebut jadi insiden ketiga yang melibatkan jet latih buatan Amerika Serikat-Korea Selatan (Korsel) itu. Pada 20 Desember 2015, pesawat yang sama jatuh dekat ksatrian Akademi Angkatan Udara (AAU) di Lanud Maguwo saat perhelatan Yogyakarta Air Show 2015 yang menewaskan sang pilot, komandan Skadron Udara 15, Letkol (Pnb) Marda Sarjono dan radar interceptor officer, Kapten (Pnb) Dwi Cahyadi. Pada 10 Agustus 2020, sebuah pesawat T-50i lain tergelincir di Lanud Iswahyudi saat menjalani latihan.

Advertising
Advertising

Insiden serupa juga pernah dialami negara asal pesawat, Korsel. Lazimnya bukan karena human error. Di antaranya jatuhnya pesawat tim aerobatik AU Korsel di Hoengsong pada 15 November 2012 dan flipped over yang dialami tim aerobatik AU Korsel pada 6 Februari 2018 saat gelaran Singapore Airshow di Bandara Changi.

Baca juga: Enam Perintis TNI AU yang Meninggal Tragis

Mendiang Lettu (Pnb) Allan Syafitra yang gugur dalam latihan usai pesawat T-50i yang dipilotinya jatuh di Blora (tni-au.mil.id)

Penyintas Badai Krisis

Kelahiran pesawat T-50i tak lepas dari “demam” industri dirgantara yang menjangkiti sejumlah negara berkembang pada 1980-an hingga 1990-an. Sebagaimana Indonesia, Korsel juga “terjangkit” olehnya.

Kedekatannya dengan Amerika memudahkan “Negeri Ginseng” itu untuk merintis pembangungan industri dirgantaranya. Kondisi itu makin dipermudah lantaran Korean Aerospace Industries (KAI) dan Agency Defence Development (ADD) disokong korporat-korporat besarnya seperti Samsung, Daewoo, dan Hyundai.

“Korsel memang tidak memproduksi misil atau jet tempur tapi mereka bisa memproduksi peralatan dirgantara (di antaranya fire-control systems). Dorongan awal perkembangan industri pertahanan dirgantaranya berasal dari USAF Repair Centre. Korean Airlines mulai merakit pesawat Hughes, industri dirgantara Sang-Yong mulai meng-overhaul mesin-mesin F-5 AU Korea, dan pada 1984 Daewoo mulai memproduksi komponen-komponen F-16,” ungkap buku The End of Military Fordism: Restructuring the Global Military Sector, Part II terbitan World Institute for Development Economics Research.

Baca juga: Gatotkaca Terbang, Mendarat di Museum

Pesawat latih turboprop KT-1 "Woongbi" (airforce.mil.kr)

Salah satu karya anak bangsa yang dilahirkan adalah pesawat latih turboprop KT-1 “Woongbi”. Ia lahir pada 1988 dari “Program KTX” yang diinisiasi KAI dan ADD lewat kerjasamanya dengan Daewoo.

Tak ingin puas dengan pesawat baling-baling, KAI dan ADD masku ke produksi pesawat latih bermesin jet untuk keperluan RoKAF (AU Korsel) pada 1988. Kali ini disokong Samsung dan menggandeng General Dynamics. Proyeknya dinamai “Program KTX-2”.

KTX-2 didanai pemerintah Korsel yang meningkatkan persentase anggaran pertahanannya dari 1,9 persen pada GPD 1987-1991 menjadi 2,8 persen pada 1992. Bahkan, negeri itu sempat merencanakan melonjakkan anggaran jadi 7 persen dari GDP-nya pada tahun anggaran 1999 atau 2000.

Baca juga: Pesawat Sukhoi Rasa Minyak Sawit

Jet tempur KF-16 hasil lisensi Korea dari F-16 (pacaf.af.mil)

Proyek KTX-2 “disetujui” Amerika usai pembelian 120 unit jet tempur F-16 dari pabrikan General Dynamics dengan timbal-balik transfer teknologi. Pesawat dari proyek KTX-2 itu diproyeksikan untuk menggantikan pesawat latih T-38 “Talon” dan A-37 “Dragonfly” yang digunakan para pilot RoKAF sebelum mengawaki F-15 “Strike Eagle” dan F-16 “Fighting Falcon”.

“General Dynamics menawarkan beberapa proyek offset kepada Korea. Spesifik tentang proyek-proyek individunya memang berkaitan dengan bisnis tapi mereka juga melibatkan sebuah proyek pengembangan bersama yang disebut ‘KTX-2’ dan pengembangan proyek industri dirgantara lain untuk Korea. Proyek-proyek itu melibatkan transfer teknologi ketimbang sub-kontrak masa depan terkait pesawatnya,” kata arsip Komite Luar Negeri Kongres Amerika tanggal 1 Agustus 1991 bertajuk “Korean Fighter Program”.

Medio 1992, proses pembuatan desain dan cetak biru rancang bangunnya dimulai lewat joint development antara KAI dan Kementerian Keuangan dan Ekonomi (MFE), serta General Dynamics. KTX-2 diperkirakan akan memakan biaya 1,3 triliun won. Perhitungannya: MFE membiayai 70 persen, KAI 17 persen, dan General Dynamics 13 persen. 

Baca juga: Pesawat Pemburu dari Masa Lalu

Desain awal pesawat "KTX-2" dan purwarupa T-50 (globalsecurity.org)

Namun, Korsel mesti menunda proyek KTX-2 yang baru menghasilkan konsep desainnya pada 1995 –di tahun yang sama, IPTN sudah bisa mengujiterbangkan prototype N-250. Pasalnya, perekonomian Korsel diterpa badai krisis moneter (1998).

“Proyeknya ditunda pada akhir 1995, tak lama setelah fase pertama desainnya dirampungkan saat Kementerian Keuangan dan Ekonomi menyatakan tak lagi bisa menggelontorkan dana lanjutan pada program tersebut yang memang membutuhkan 1,3 triliun won,” ungkap suratkabar Chugan Maekyung, 5 Agustus 1997.

Berbeda dari Indonesia yang akhirnya menutup proyek N250 dan rencana jet komersial N2130 akibat krismon 1998, Korsel tak ingin “membunuh” proyek KTX-2. Seiring pulihnya perekonomian Korsel, proyek itu dilanjutkan dengan sokongan Samsung yang meneken nota kesepahaman dengan Lockheed Martin, perusahaan yang mengakuisisi General Dynamics pada 1993.

“Titik balik proyek pesawat jet latih AU Korea lahir kembali dibarengi kejutan pengumuman oleh Hyundai dengan DaimlerChrysler Aerospace (Dasa) meneken MoU untuk joint development pesawat tempur ringan AT-200 Mako. Proyek itu akan bersaing dengan kerjasama proyek KTX-2 Samsung Aerospace/Lockheed Martin. Dana pengembangan yang sudah dialokasikan untuk KTX-2 pada 1999 mencapai 100 juta dolar,” tulis Strategic Digest, Volume 29 tahun 1999.

Baca juga: Selayang Pandang Lanud Atang

Jet latih supersonik T-50 yang lahir pada 2002 dan langsung digunakan RoKAF (koreaaero.com)

Proyek KTX-2 lantas melahirkan jet yang dinamai T-50 “Golden Eagle” pada Februari 2000. Identitas “T-50” diambil untuk memperingati setengah abad kelahiran RoKAF.

Penerbangan perdana T-50 dilakoni pada 20 Agustus 2002. Purwarupa pertamanya yang dibangun di kompleks KAI di Sacheon, melakoni lepas landas, penerbangan, dan pendaratan dengan lancar oleh test pilot Kwon Hui-man.

Seiring kerjasama lanjutan KAI dan Samsung dengan Lockheed Martin pada 2003, proyeknya berlanjut pada versi pengembangan, T-50B. Versi ini dilengkapi smoke system dan kamera internal dan eksternal. Versi lainnya adalah TA-50, yang menjadi versi jet latih lead-in dengan tambahan persenjataan dan radar.

“Persenjataan dan radar jadi perbedaan mendasar antara T-50 dan TA-50. TA-50 dilengkapi senapan mesin (gatling) A-50 kaliber 20 milimeter dan dengan beberapa hardpoint eksternal untuk membawa beberapa misil. Belum lagi sistem manajemen MIL-STD-1553 untuk mengintegrasikan senjata-senjata itu ke pesawatnya. Sementara T-50 tak punya radar, TA-50 dilengkapi radar multimode Elta EL/M-2032,” kata majalah Code One, edisi 20 Mei 2015.

Baca juga: Militer Myanmar Sewa Pesawat Indonesia

Searah jarum jam: varian T50B, TA-50, FA-50, T-50i (af.mil/koreaaero.com)

Pada 2011, lahir FA-50 sebagai varian versi jet tempur ringan. Selain hanya memuat satu awak, FA-50 punya tambahan sistem persenjataan misil. Pada versi sebelumnya, jet latih ini bisa membawa aneka senjata bom, roket, hingga misil di tujuh hardpoint-nya: empat di bawah sayap, dua di wingtip, dan satu di bawah perut pesawat.

Di antara senjata-senjata yang bisa dibawa adalah misil udara AIM-9 Sidewinder, misil udara ke darat AGM-65 Maverick, roket Hydra 70 atau LOGIR, serta bom-bom jenis CBU-97, GBU-12, JDAM, dan WCDM. Versi FA-50 bisa membawa misil KEPD 350K-2, misil antikapal NSM, dan misil udara AIM-120 AMRAAM.

Sejak 2005, jet tempur ini jadi andalan RoKAF, yang kini mengoperasikan 60 unit FA-50. Indonesia mendapat kehormatan sebagai operator asing pertamanya.

Baca juga: Cerita di Balik Helikopter NBO-105

Menurut laman Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI, 13 Februari 2014, Kemenhan menyepakati kontrak pembelian 16 unit versi T-50i sebesar 400 juta dolar dengan KAI pada Mei 2011. Hingga Februari 2014, ke-16 unit itu dikirim bertahap untuk diserahterimakan dari Menhan Purnomo Yusgiantoro ke Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal Ida Bagus Putu Dunia, sebagai implementasi renstra 2005-2006.

Pesawat versi T-50i mampu ditempatkan di garis depan sebagai light fighter yang dilengkapi guided/unguided missile, roket, bom, serta radar laiknya jet tempur F-16. Pesawat ini juga bisa dipergunakan untuk keperluan advance training.

“Pesawat ini (bentuknya) persis dengan F-16 ‘Fighting Falcon’. Makanya pesawat kini disebut ‘Baby Falcon’ atau F-16 mini,” kata Kadispenau Marsekal Hadi Tjahjanto.

Serah terima pesawat T-50i yang dibeli Indonesia dari Korsel (kemhan.go.id)

TAG

sejarah-pesawat pesawat tni-au tni au alutsista

ARTIKEL TERKAIT

Ada Rolls-Royce di Medan Laga Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Waktu Punya Tupolev, Angkatan Udara Indonesia Kuat Purnatugas Heli Puma Pesawat Multifungsi Tulang Punggung Matra Udara Jerman Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda Black Hawk dalam Oktober Kelabu Nasib Nahas Kapten Mussolini Marcel Dassault dan Jet Tempur Kebanggaan Prancis Si Jago Udara di Bawah Panji Swastika