MESKI terkesan brutal, tinju jadi salah satu olahraga kontak fisik yang disukai banyak pemimpin dunia. Dari Adolf Hitler, Theodore Roosevelt, Idi Amin, hingga Nelson Mandela. Bahkan, tiga dari empat nama ini pernah berkiprah di tinju amatir.
Kendati tak pernah naik ring, Hitler menuangkan kekagumannya pada tinju di beberapa halaman di manifesto politiknya, Mein Kampf.
“Salah satu olahraga yang tak boleh dilupakan, walau dianggap brutal: tinju. Tidak ada olahraga seperti ini yang mempromosikan spirit agresif dengan kekuatan yang sama, membutuhkan determinasi secepat kilat, dan membangun fisik sekuat baja. Jika dua pemuda menyelesaikan perdebatan dengan tinju tidaklah lebih brutal ketimbang mereka saling pukul dengan tongkat besi,” tulisnya.
Baca juga: Anggar untuk Hitler
Mandela, tokoh anti-apartheid di Afrika Selatan, pernah terjun ke dunia tinju amatir di masa mudanya. Namun, kariernya di ring tinju tak pernah melesatkan reputasinya secemerlang karier politiknya.
“Meski saya pernah bertinju saat di Fort Hare, di Johannesburg, saya tak pernah jadi petinju berprestasi di kelas berat. Saya tak punya keunggulan power, kecepatan, dan bahkan tak menikmati sisi kekerasannya. Saya hanya tertarik bagaimana seseorang bisa melindungi tubuhnya sendiri dengan menggunakan strategi untuk menyerang dan menghindar,” katanya dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom.
Prestasi Theodore Roosevelt, presiden Amerika Serikat ke-26 (1901-1909), di atas ring tinju amatir nyaris setali tiga uang. Kecintaannya pada tinju tumbuh semasa Roosevelt masih kuliah di Universitas Harvard hingga berkarier di Kepolisian Kota New York.
Ketika sudah jadi presiden pun Roosevelt masih hobi bertinju untuk menjaga kebugarannya. Pada 1904, ia terpaksa “gantung sarung tinju” gegara mata kanannya terluka parah kena bogem mentah seorang kapten artileri yang jadi sparring partner-nya.
Baca juga: Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu
Sedangkan Idi Amin “Sang Jagal Uganda”, karier tinju amatirnya sedikit lebih gemilang. Idi Amin muda tumbuh jadi pribadi yang atletis dan menaruh minat pada olahraga renang, rugby, hingga tinju. Kesempatannya mengembangkan diri terjadi sejak masuk King’s African Rifles (KAR) atau tentara kolonial Inggris di Afrika Timur. Di sana ia bisa memanfaatkan banyak fasilitas olahraga.
Dengan tubuh kekar dan postur setinggi 193 cm, Kopral Idi Amin memasuki tinju amatir di kelas berat-ringan di awal 1950. Setahun kemudian, ia sudah melingkarkan pinggangnya dengan sabuk juara nasional yang ia pertahankan hingga pensiun pada 1960.
“Ayah tak pernah suka berlama-lama untuk menganvaskan lawan di kejuaraan kelas berat (ringan). Dia lalu jadi juara nasional selama sembilan tahun berturut-turut dan gantung sarung tinju dengan catatan tak terkalahkan. Seperti Sonny Liston dan Mike Tyson, dia paling senang jika bisa meng-KO lawan,” kata Jaffar Amin, putra sang diktator, dikutip Mark Leopold dalam Idi Amin: The Story of Africa’s Icon of Evil.
Baca juga: Pencarian Islam Muhammad Ali
Sebagaimana Roosevelt, saat sudah jadi presiden Idi Amin masih hobi bertinju. Ia bahkan pernah ingin menantang Muhammad Ali dengan imbalan bayaran USD500 ribu. Itu terjadi usai Ali menjalani pertarungan “Rumble in the Jungle” kontra George Foreman di Zaire pada 1970. Ali diundang Idi Amin mampir ke Uganda.
“Ali dan beberapa rekannya terbang ke Uganda untuk bertemu Idi Amin, diktator yang lebih sadis dari (diktator Zaire, Sese Seko) Mobutu. Tapi kali ini Ali bilang: ‘Orang ini (Idi Amin) gila. Kita pergi saja dari sini.’ Idi Amin ingin naik ring melawan Ali dan Ali mengatakan: ‘Tidak mau. Jika saya mengalahkan dia, saya akan dibunuh. Jika saya tak mengalahkannya, saya bisa terbunuh. Kita pergi saja,’” ungkap Jonathan Eig, penulis biografi Ali, dalam Ali: A Life.
Betapapun, reputasi mereka di dunia tinju tak sebanding dengan reputasi mereka di dunia politik. Hobi dan kiprah mereka di dunia tinju hanya diketahui setelah kiprah politik mereka yang –terlepas dari baik-buruk– umumnya populer di pentas internasional.
Langkah mereka mungkin menginspirasi banyak petinju generasi-generasi setelah mereka untuk terjun ke dunia politik pasca-“garung sarung tinju”. Manny “Pacman” Pacquiao asal Filipina atau Chris John asal Indonesia di antaranya. Hanya saja, kedua nama terakhir tak seberuntung mereka di dalam dunia politik. “Pacman” kalah dalam pemilihan presiden Filipina 2022, sementara Chris John kalah saat mencalonkan diri menjadi legislator dalam Pemilu 2019.
Berikut empat petinju profesional lain yang juga pontang-panting di arena politik untuk merebut jabatan publik:
Nikolai Valuev
Posturnya yang besar dengan tinggi 213 cm membuat petinju kelahiran St. Petersburg, Rusia, 21 Agustus 1973 ini dijuluki “Beast from the East” atau kadang “The Russian Giant”. Namun di balik keunggulan posturnya, Valuev mengaku beberapa kali merasa insecure lantaran pandangan banyak orang terhadap fisiknya yang merupakan keturunan genetis kakek-moyangnya, seorang “raksasa” bernama Vasily, yang merupakan turunan langsung bangsa Tartar.
“Saya bukan seonggok daging. Saya bukan pertunjukan sirkus. Saya manusia normal, punya perasaan. Saya punya keluarga yang harmonis. Saya punya banyak teman. Saya suka musik klasik dan membaca buku. Kadang orang-orang tak memperlakukan saya sebagaimana mestinya karena tubuh saya. Mereka membuat sensasi. Saya mencoba tak memasukkannya ke hati walau terkadang saya juga merasa sakit hati,” aku Valuev, dikutip Thomas Hauser dalam The Greatest Sport of All: An Inside Look at Another Year in Boxing.
Terlepas dari itu, Valuev berhasil masuk ke tinju profesional kelas berat pada 1993 setelah malang-melintang di kelas berat tinju amatir. Petinju bergaya ortodoks itu memulai debutnya pada 15 Oktober 1993 di Sporthalle, Schöneberg, Jerman, melawan John Morton. Ia menang TKO.
Baca juga: Tujuh Petinju Beralih Pejabat (Bagian I)
Nama Valuev di tinju internasional mulai terukir sejak memenangi sabuk juara nasional Rusia pada 1999. Setelah itu, satu per satu gelar internasional, mulai dari PABA Interim hingga WBA Inter-Continental, sukses direbutnya.
Prestasi puncak diraih Valuev di usia 32 tahun. Itu terjadi kala ia mengalahkan John Ruiz dalam perebutan gelar dunia WBA di Max-Schmeling-Halle, Berlin, Jerman, 17 Desember 2005 lewat keputusan kontroversial.
“Valuev menang angka atas John Ruiz untuk mengklaim titel WBA. Salah satu juri memberi angka yang imbang, sementara dua lainnya memenangkan Valuev 116-114 dan 116-113. Hasil itu menuai siulan mengejek dari para penonton,” lanjut Hauser.
Selepas itu, karier Valuev naik-turun. Sempat kehilangan gelar WBA yang direbut Ruslan Chagaev pada 2007, Valuev merebutnya lagi kala melakoni rematch kontra Ruiz pada 2008. Pada 7 November 2009, gelar itu lepas lagi setelah direrbut David Haye. Tiga hari berselang, Valuev menyatakan pensiun dengan alasan medis. Menurut dokter pribadinya, Valuev mengalami masalah pada tulang dan persendiannya.
Baca juga: Ronde Terakhir Roger Mayweather
Valuev lalu menjajal dunia hiburan dengan menjadi cameo di film produksi Jerman, 7 Zwerge: Der Wald ist Nicht Genug (2006) dan tampil jadi pemeran utama di film Stonehead (2008). Pada 2010, ia lebih serius menekuni dunia politik. Di masa itu, perpolitikan Rusia sedang “demam” selebritis terjun ke politik.
“Popularitas mereka memberi pengaruh tersendiri ke publik melalui media. Dari tiga golongan politisi Negara Bagian Duma, satu golongannya terdiri dari para pemula di karier politik. Nikolai Valuev (petinju), Stanislav Govorukhin (sutradara film), Svetlana Zhurova (peseluncur es), Maria Kozhevnikova (aktris), dan Alina Kabaeva (pesenam ritmik),” tulis Svetlana Akhmatnurova dkk. dalam New Trends in Russian Political Mentality Putin 3.0.
Menjelang Pemilu 2011, Valuev berganti “kendaraan” politik dengan bergabung ke Partai Yedinaya Rossiya (Partai Rusia Bersatu). Partai ini berhasil menang 50 persen di Duma meski di beberapa negara bagian menelan kekalahan. Alhasil, Valuev masuk ke Parlemen Negara Bagian Duma sebagai perwakilan Partai Rusia Bersatu.
Vitali Klitschko
Sama-sama bertinju dengan adiknya, Wladimir Klitschko, Vitali Klitschko termasuk salah satu rival Valuev di kelas berat. Hanya saja duel Valuev-Vitali yang digembar-gemborkan sejak 2009 tak pernah terwujud dengan dalih buntunya negosisasi terkait pembagian fulus.
Lahir di Bolovodskoye, Kirgistan, pada 19 Juli 1971, Vitali punya banyak ketertarikan pada olahraga beladiri sejak muda. Ia menggeluti banyak olahraga kontak fisik, mulai dari karate, kickboxing, judo, SAMBO, gulat bebas hingga gulat Greco-Romawi. Namun, larangan tampil di muka publik yang dikeluarkan pemerintah Uni Soviet terhadap kegiatan olahraga-olahraga beladiri itu pada 1985 memaksa Vitali memilih tinju sebagai jalan hidupnya.
Pasca-runtunya Uni Soviet, olahraga-olahraga itu diperbolehkan lagi dimainkan di ruang publik. Vitali menyambi karier tinju amatirnya dengan karier kickboxing. Tak hanya di level domestic, Vitali sering menyambangi turnamen-turnamen tinju amatir luar negeri, bahkan sampai ke Indonesia.
Baca juga: SAMBO, Seni Beladiri dari Negeri Tirai Besi
Menurut situs Strefa, Vitali ikut dalam rombongan tujuh petinju Ukraina yang berpartisipasi di Kejuaraan Internasional Amatir Piala Presiden 1994 di Jakarta. Di kelas +91 kg, pengagum Muhammad Ali dan Mike Tyson itu langsung mendapat spot di perempatfinal berhadapan dengan Said Ahmed el-Sayed (Mesir) pada 6 Februari 1994.
Empat hari usai menang angka atas El-Sayed, Vitali menghadapi Christophe Mendy. Vitali harus mengakui kekalahannya dari petinju asal Prancis tersebut. Ia pulang dari Jakarta membawa oleh-oleh medali perunggu.
Dua tahun kemudian, Vitali menembus tinju profesional berbekal gelar juara kelas berat-super di World Military Games 1995 dan medali perak Kejuaraan Dunia 1995. Bersama sang adik Wladimir, Vitali “merantau” ke Jerman untuk bergabung ke promotor tinju Universum demi bisa mewujudkan mimpinya.
“Sangat penting buat kami untuk punya mimpi dan membuat mimpi itu jadi nyata,” kenang Vitali kepada National Public Radio, 22 Oktober 2011.
Baca juga: Ada Trump di Sudut Ring Mike Tyson
Karier Klitschko Bersaudara melesat kendati mereka harus menyambinya dengan kuliah. Yang lucu, keduanya berkomitmen –yang dipegangnya hingga pensiun–takkan saling adu jotos di atas ring. Baik Vitali maupun Wladimir hanya akan selalu hadir di luar ring mendukung satu sama lain.
“Alasannya karena kami juga sudah berjanji pada ibu kami agar tidak saling bertarung,” kata Wladimir.
Dominasi Klitschko Bersaudara di tinju dunia kelas berat periode 2006-2015 membuat periode tersebut kondang disebut sebagai “Era Klitschko”. Klitschko Bersaudara juga masuk catatan Guiness Book of Record pada 2011 sebagai petinju bersaudara yang paling banyak memenangkan sabuk dunia kelas berat (30 titel).
Usai pensiun pada 2013, hanya Vitali yang mengayunkan langkah kakinya memasuki dunia politik. Padahal, sejak 2004 Klitschko Bersaudara sudah mulai “menjajal” dunia politik. Vitali bahkan ditunjuk Presiden Viktor Yushchenko sebagai penasihatnya, sebagai “balas jasa” atas dukungannya.
Baca juga: Menanti Reuni Tyson vs Holyfield
Dengan dukungan presiden, Vitali menjajal peruntungannya ke dalam Pemilihan Walikota Kyiv tahun 2006 kendati masih berkarier sebagai petinju. Namun Vitali kalah dalam perolehan suara dari walikota terpilih, Leonid Chernovetskyi.
Setelah pensiun, Vitali lebih serius masuk politik dengan kendaraan politik Partai UDAR (Aliansi Demokratik Ukraina untuk Reformasi). Ia mendaki karier politik dari anggota dewan kota Kyiv, kepala administrasi kota Kyiv, hingga memenangkan Pemilihan Walikota Kyiv 2014 dengan perolehan suara 57 persen.
Hingga kini, Vitali menjadi walikota Kyiv dengan masa jabatan terlama. Setelah invasi Rusia ke Ukraina sejak Februari 2022, Vitali bersama adiknya meneladani Presiden Volodymyr Zelenskyy yang tetap bertahan dan bahkan angkat senjata.
Bermodalkan popularitasnya di kancah internasional, Vitali dan Wladimir diikutkan pula dalam serangkaian misi diplomatik di luar Ukraina. Terakhir, Vitali dan Wladimir turut serta dalam rombongan Menteri Luar Negeri Dmytro Kuleba untuk bicara tentang kondisi Ukraina di pertemuan tahunan WEF (Forum Ekonomi Dunia) di Davos, Swiss, 23 Mei 2022.
“Saya punya pesan untuk semua politisi di Eropa, terutama di Davos dan juga di seluruh dunia. Jika ada yang menilai perang ini terjadi jauh dari mereka, tidak tersentuh secara personal, mereka salah besar. Perang ini bisa mendestabilisasi situasi di segenap kawasan. Perang ini merusak semua orang di Eropa. Oleh karenanya sekarang kami butuh dukungan semua negara. Itu akan jadi kunci bagi perdamaian,” tandas Vitali, dikutip Sky News, 24 Mei 2022.
Érik Morales
Sebagai anak dari José Morales, petinju Meksiko, Érik Morales punya kesempatan lebih awal untuk belajar tinju. Bocah kelahiran Tijuana pada 1 September 1976 itu sejak usia lima tahun sudah belajar tinju langsung kepada sang ayah.
Alhasil Erik tumbuh jadi petinju belia dengan karier amatir cukup mengkilap. Dari total 114 kali bertanding di kelas bantam, super bantam, hingga kelas bulu, Morales mencatatkan 108 kemenangan dan hanya enam kali kalah. Sebelas 11 gelar juara junior nasional diraihnya sebelum beranjak ke tinju profesional saat usianya genap 16 tahun.
Di bawah promotor kondang Bob Arum, karier petinju berjuluk “El Terrible” itu berkembang pesat sejak debutnya pada 1993. Dari 1993-2001, Morales mencatatkan 41 kemenangan, termasuk ketika memenangkan sabuk WBC kelas super bantam usai menganvaskan Daniel Zaragoza di El Paso, Texas, Amerika Serikat, 6 September 1997.
Baca juga: Sudut Ring Leon Spinks
Sepanjang kariernya, Morales punya dua musuh bebuyutan yang berujung pada trilogi pertarungan sengit. Yang pertama dengan sesama petarung Meksiko, Marco Antonio Barrera. Promotor kedua belah pihak mempertemukan dua jawara dunia kelas super bantam WBC dan WBO itu untuk pertamakali pada 19 Februari 2000 di Las Vegas. Morales berhasil menang angka sekaligus merebut sabuk WBO dari tangan Barrera.
“Publik menginginkan pertarungan hebat. Kami memberikannya kepada mereka. Dia (Barrera) petinju dengan pukulan terbesar yang pernah saya hadapi. Saya memperkirakan pertarungan sengit dan itulah yang terjadi. Dia sangat berani dan memukul sangat keras,” ujar Morales, dikutip Los Angeles Times, 20 Februari 2000.
Hingga 2001, tak sekalipun Morales keok di atas ring. Tetapi pada rematch, 22 Juni 2002, saat sudah beralih ke kelas bulu, Morales kalah angka mutlak dari Barrera. Selain menerima kekalahan pertamanya, Morales juga kehilangan gelar WBC kelas bulunya. Nasib serupa kembali dialami Morales di laga ketiganya di kelas super bulu pada 27 November 2004. Sabuk WBC bulu super Morales melayang ke tangan Barrera.
Trilogi Morales dengan Pacquiao bermula pada 2005 di kelas bulu super. Morales yang mengubah gaya bertarung dari ortodoks ke southpaw (kidal) menang angka mutlak sehingga merebut gelar IBA dan WBC International. Namun pada laga rematch, Januari 2006, dan laga ketiga pada November di tahun yang sama, Morales di-KO Pacquiao.
Baca juga: Durán dan Leonard, dari Lawan jadi Kawan
Hingga pensiun pada Maret 2013, Morales memegang rekor 61 tanding pro dengan 52 kemenangan (36 KO) dan sembilan kali kalah. Ia meninggalkan ring tinju sebagai petinju Meksiko pertama yang pernah merengkuh gelar dunia di empat kelas berbeda: kelas super bantam (WBC), kelas bulu (WBC), kelas bulu super (WBC dan IBF), dan kelas welter ringan (WBC).
Setelah pensiun, Morales kembali bertemu Pacquiao pada 2019. Namun bukan di atas ring, melainkan sebagai sesama politikus. Morales yang memilih mengabdi lewat jalur politik dengan kendaraan politik koalisi Juntos Haremos Historia, memenangkan satu kursi di Camara de Diputados (Parlemen Negara Bagian Baja California) pada Pemilu 2018 dengan perolehan suara 65 persen.
Morales dan Pacquiao, yang saat itu menjabat senator Filipina, bereuni lagi di Los Angeles, Amerika Serikat pada 3 Juli di sela-sela latihan Pacquiao. Tiada lagi tatapan tajam dan tukar pukulan, melainkan saling bertukar senyum dan pelukan hangat sebagai mantan musuh bebuyutan.
“Senang bisa bertemu teman baik Erik Morales. #MoralesPacquiao4? Orang ini petarung hebat di atas ring,” puji Pacquiao di akun Twitter-nya, @MannyPaqcuiao, 3 Juli 2019.
Ruslan Provodnikov
Lahir di lingkungan yang keras di Beryozovo, Siberia Barat, Rusia pada 20 Januari 1984, Provodikov tumbuh jadi anak yang bengal dan pembuat onar. Nyaris tiada hari ia pulang ke rumah tanpa luka-luka akibat berkelahi di jalan. Ayahnyalah yang lantas menggiring Provodnikov, bocah berusia 10 tahun, ke sasana tinju.
“Jika saya tidak jadi petinju, mungkin Anda takkan pernah mendengar ada orang bernama Ruslan Provodnikov. Mungkin saya akan mendekam di penjara atau bisa jadi saya sudah mati. Atau mungkin saya hanya akan jadi pemabuk. Karena seperti itulah orang-orang di lingkungan saya tinggal. Tinju menyelamatkan hidup saya,” kata Provodnikov kepada World Liberty TV, 20 Mei 2010.
Karier amatir Provodnikov terbilang impresif. Ia memenangkan 130 dari 150 pertarungannya di kelas welter ringan dan welter. Ia mengaku punya satu kebiasaan yang menurutnya membuatnya jadi lebih kuat saat bertarung hingga dijuluki “Siberian Rocky”, merujuk petinju fiktif Rocky Balboa.
“Saya terbiasa hidup susah. Yang bisa kami makan hanya yang tumbuh dari tanah dan ikan mentah dan rusa. Saya masih makan hati rusa mentah. Itu yang membuat saya kuat,” aku Provodnikov kepada ESPN, 7 Juni 2014.
Baca juga: Khabib Nurmagomedov Sang Elang Dagestan
Provodnikov beranjak ke tinju pro di bawah naungan promotor Arthur R. Pelullo pada 2006. Di kelas welter ringan, Provodnikov sudah merebut gelar WBO Inter-Continental dan WBO Inter-Continental pada 2012. Pada 19 Oktober 2013, ia merebut sabuk WBO welter ringan usai mengalahkan Mike Alvarado.
Provodnikov mesti merelakan gelarnya kepada Chris Algieri pada 14 Juni 2014 setelah kalah angka tipis. Dua tahun berselang, ia pensiun dari tinju pro dengan rekor 30 tanding (25 kemenangan, 5 kekalahan).
Dari ring tinju, Provodnikov masuk arena politik dan sampai saat ini masih duduk di parlemen Negara Bagian Khanty-Mansi. Kendati begitu, Provodnikov masih mendapat banyak tawaran untuk comeback dari masa pensiunnya. Mantan manajernya, Vadim Kornilov, berharap Provodnikov tak kembali ke atas ring.
“Kami punya proposal untuk dipertimbangkan terkait potensi pertarungan. Menurut saya, Ruslan tak semestinya balik (bertinju). Dia sudah banyak melakukan hal-hal yang signifikan buat negara, bekerja di arena politik dan dia punya potensi mengembangkan karier politiknya. Walau tentu saja Ruslan sendiri yang akan memutuskan,” tandas Kornilov, dikutip Boxing Scene, 29 April 2020.
Baca juga: Ring Kehidupan Max Schmeling