TINJU belakangan ini semarak lagi dan menyedot perhatian publik tanah air. Namun, sayangnya bukan dilakukan petinju amatir atau profesional seperti di masa Ellyas Pical dan Nico Thomas di era 1980-an hingga Chris John di awal 2000-an, melainkan dilakukan para selebriti.
Pada 2011, dihelat duel tinju selebriti antara Raffi Ahmad melawan Mario Lawalata yang berakhir seri. Lalu, ada duel Vicky Prasetyo vs. Aldi Taher dan Vicky Prasetyo vs. Azka Corbuzier pada 2022, serta viralnya kembali duel El Rumi vs. Jefri Nichol pada 2023.
Seperti tak mau kalah, para selebriti perempuan juga ada yang ikut menyemarakkannya. Setelah duel Nikita Mirzani vs Dinar Candy pada 2022, lantas disusul Zara Adhisty vs. Lula Lahfah pada tahun berikutnya.
Baca juga: Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu
Petinju legendaris Nico Thomas mengaku setengah simpatik terhadap maraknya tinju artis. Pasalnya, tinju artis tak serta-merta bisa ikut mendongkrak popularitas tinju amatir dan profesional Indonesia lagi seperti di era keemasannya.
“Orang nonton cuman mau lihat artisnya doang. Dulu orang nonton (tinju) saya atau Eli Pical karena punya jiwa nasionalis. Saya melihatnya senang, tapi enggak ada manfaatnya. Kita kan tinju perlu berjalan maju, bukan hanya karena ada artis (tinju Indonesia), sampai di situ doang,” tutur Nico yang ditemui Historia di kawasan Gelora Bung Karno, medio Juni 2022.
“Tinju ramai cuma karena didompleng sama artis. Kalau saya enggak mau begitu. Tapi mudah-mudahan dari situ ada jalan terbaik karena tinju kan punya tujuan prestasi nasional dan internasional,” imbuh juara dunia kelas terbang mini versi IBF 1989 tersebut.
Namun, pandangan berbeda datang dari Chris John. Bagi juara dunia kelas bulu versi WBA (2003-2013) itu, maraknya tinju seleb tak menjadi masalah asalkan punya hubungan simbiosis mutualisme, di mana petinju-petinju Indonesia juga diuntungkan oleh ramainya event tinju selebritis itu.
“Penggemar seleb-seleb itu kan cukup banyak. Itu bisa salah satu untuk menaikkan tinju. Ya enggak apa-apa buat hiburan. Tapi tetap jangan lupakan petinju aslinya untuk dia bisa terus bertanding diarahkan ke jenjang yang lebih baik lagi. Karena usia petinju enggak lama. Jangan sampai dia kalah di umur. Dia enggak bertanding tapi umur bertambah. Itu yang terjadi saat ini,” kata Chris John kepada Historia pada kesempatan berbeda.
Baca juga: Sengkarut Tinju Pro
Wartawan senior cum pengamat tinju, Mahfudin Nigara, melihat aspek lain. Menurutnya, tinju artis sebagai hiburan itu bisa jadi pemicu untuk kolaborasi yang berpotensi memengaruhi kebangkitan tinju amatir dan profesional di tanah air.
“Kenapa pertandingannya (tinju artis) ramai? Karena waktu itu Vicky mainnya (bertinju) kan begitu. Ini yang membuat tontonan jadi ramai. Tinju artis, pergunakan itu dengan baik agar sama-sama menguntungkan. Jangan artisnya saja tapi dunia tinjunya harus ikut terbawa. Kemas deh yang baik karena sebagai sportainment semua itu halal,” jelasnya saat ditemui Historia di kantornya, Kementerian Pemuda dan Olahraga.
“Animo sesaat itu penting. (Lalu) Cermati untuk kita lanjutkan. Nah gandeng dulu dengan artis, gandeng dengan tokoh. Sekali lagi, mesti saling menguntungkan. Jangan cuman artis yang menguntungkan. Bisa tuh mengajak tokoh sportainment kayak Raffi Ahmad, Atta Halilintar, Deddy Corbuzier juga boleh,” sambungnya.
Berawal dari Sportainment
Bicara sportainment di dunia tinju, sambung Nigara, tak bisa lepas dari petinju legendaris Muhammad Ali. Ia yang mengubah tinju dari real sport menjadi sportaiment pada 1960-an.
“Sportainment itu mulai dari pra-penandatanganan (kontrak) sudah jadi bahan (bisnis). Muhammad Ali membuat rangkaian, dari mulai memilih calon lawan, tanda tangan kontrak, persiapan, sampai ke selesai laga itu semua tontonan,” ungkap Nigara.
Muhammad Ali mempeloporinya kala hendak bertarung melawan Sonny Liston pada Februari 1963. Saat itu Ali yang baru tiga tahun terjun ke level pro sempat terintimidasi oleh pemberintaan media massa.
Jurnalis kondang Amerika David J. Remnick memaparkan dalam King of the World: Muhammad Ali and the Rise of an American Hero, Ali sang penantang gelar sama sekali tak diunggulkan. Prediksinya 7:1 untuk Liston yang diprediksi bakal menang. Selain karena Liston juara bertahan kelas berat WBA dan WBC, ia juga punya latar belakang yang bikin bulu kuduk publik merinding sebagai eks-kriminal.
Baca juga: Bang Jago Tak Terkalahkan itu Bernama Rocky Marciano
Tapi dari merasa terintimidasi, Ali berhasil berubah jadi percaya diri. Dia memupuk nyalinya dengan berkoar-koar mengejek Liston setiap kali diwawancara hingga konferensi pers pra-laga dan momen timbang berat badan.
“Saya akan menumbangkan beruang jelek itu dan setelah pertarungan, saya akan bangun rumah cantik dan menggunakan dia sebagai karpet bulu beruang saya. Aroma badan Liston saja sudah seperti beruang. Saya akan mendonasikan dia ke kebun binatang lokal setelah saya menghajarnya. Ini akan jadi pertarungan termudah dalam hidup saya,” kata Ali meledek, dikutip Remnick.
Terlepas dari kemenangannya, kelakuan Ali itu menumbuhkan gairah lebih besar di laga-laga berikutnya. Ia berhasil mengubah wajah tinju profesional hingga seperti sekarang. Momen-momen konferensi pers pra-laga hingga timbang badan yang lazimnya datar dan sekadar formalitas, diubah Ali jadi tontonan publik.
“Di pertandingan kedua, Ali sudah berpikir bahwa ini bisa dipakai. Jadi di-create sedemikian rupa jadi satu tontonan. Nah dengan sportainment itu semua sah dikerjakan dan image pentinju di sini menjadi penting. Satu dikemas jadi good guy, satunya bad guy,” tambah Nigara.
Baca juga: Tujuh Petinju Beralih Pejabat (Bagian I)
Muhammad Ali pula yang kemudian merintis aneka eksebisi tinju lintas atlet kala melawan Antonio Inoki yang seorang pegulat pada 26 Juni 1976. Laga yang berakhir imbang itu berawal dari provokasi Ali ketika bersua presiden Asosiasi Gulat Amatir Jepang, Ichiro Hatta, pada 1975.
“Apakah tidak ada petarung Oriental yang akan menantang saya? Saya akan berikan satu juta dolar jika dia menang,” tantang Ali, dikutip Nancy J. Hajeski dalam Ali: The Official Portrait of the Greatest of All Time.
Ali mengulangi laga serupa pada 14 Juli 1979. Lawannya adalah Lyle Alzado, seorang atlet American Football. Lalu, diikuti duel Ali melawan Dave Semenko, seorang pemain hoki es, pada 12 Juni 1983.
Pertarungan tinju “murni” antara selebriti baru terjadi pada 17 Januari 1994 kala Danny Bonaduce (aktor dan penyiar radio) menghadapi Donny Osmond (penyanyi-aktor). Laga amal itu dimenangi Bonaduce dengan kemenangan angka.
“Hasilnya disumbangkan untuk Tom and Roseanne Arnold Foundation sebesar USD8.000 dan USD3.000 lainnya untuk Children’s Miracle Network,” tulis Chicago Tribune, 18 Januari 1994.
Baca juga: Tujuh Petinju Beralih Pejabat (Bagian II – Habis)
Maraknya tinju antarseleb lantas “diwadahi” stasiun televisi Fox pada 2002 dengan program bertajuk “Celebrity Boxing”. Sejumlah stasiun TV lain seperti BBC, MTV Sports mengikutinya dengan acap menayangkan duel-duel eksebisi untuk kegiatan amal yang menghadirkan lebih banyak atlet non-tinju atau artis beken di atas ring tinju.
Laga-laga yang viral itu antara lain duel Ricky Gervais (aktor, produser) vs. Grant Bovey (aktor) pada 2002, Tonya Harding (eks-atlet figure skating) vs. Samantha Browning (petinju) pada 2003, Dolph Lundgren (aktor) vs. Oleg Taktarov (eks-pejudo) pada 2007, Kim Kardashian (sosialita) vs. Tamara Frapasella (aktris) pada 2009, Shaquille O’Neal (bintang NBA) vs. Shane Mosley (eks-petinju) pada 2010, Floyd Mayweather Jr. (petinju) vs. Conor McGregor (MMA) pada 2017, dan Lamar Odom (bintang NBA) vs. Aaron Carter (musisi) pada 2021.