SETIAP hari adalah pertarungan buat George Foreman (diperankan Khris Davis), bahkan sejak ia belia. Itulah realitas yang harus dihadapinya dari kondisi hidup melarat bersama tiga saudara dan saudari dengan hanya seorang ibu tunggal, Nancy (Sonja Sohn), yang menafkahi.
Kehidupan keras di Fifth Ward, Houston, Texas pada era 1960-an itu juga membentuk George muda jadi sosok temperamental dan tak percaya Tuhan. Akibatnya bukan hanya di-drop out dari sekolah karena sering berkelahi, George sampai harus jadi penjambret.
Kendati ia melupakan Tuhan, tetapi tidak sebaliknya. Suatu ketika ia melihat iklan tentang Job Corps, semacam balai latihan kerja yang didirikan pemerintah federal di California. Di tempat itulah akhirnya bakat bertinju Foreman ditemukan salah satu pengawas BLK, Doc Broadus (Forest Whitaker).
Baca juga: Konflik Kehidupan Roberto Durán dalam Hands of Stone
Broadus melatih semua teknik dasar bertinju pada Foreman yang mulanya hanya tahu cara memukul keras. Broadus pula yang kemudian mengantar Foreman sampai mendaki karier amatir hingga puncaknya memenangi medali emas tinju kelas berat di Olimpiade 1968.
Tetapi itu bukan klimaks kariernya. Apa yang dijalaninya itu baru sekadar pembuka biopik bertajuk Big George Foreman. Film garapan sineas George Tillman Jr. ini berangkat dari kisah petinju legendaris George Foreman dengan lika-liku kehidupannya di dalam maupun di luar ring tinju.
Sedari amatir hingga terjun ke tinju profesional, Foreman dibesut duet pelatih Dick Sadler (Dwayne Barnes) dan Archie Moore (Lawrence Gilliard Jr.). Perjalanannya diawali jadi lawan latih tanding Sonny Liston (Cedric Boswell) di Main Street Gym, Oakland. Kemenangan ke-36 tanpa terkalahkan membuatnya punya “tiket” menantang juara dunia kelas berat Joe Frazier (Carlos Takam).
Tetapi setelah jadi juara dunia, Foreman makin jadi orang yang takabur. Selain gemar berfoya-foya hingga rumahtangganya dengan Paula (Shein Mompremier) berantakan, ia juga selalu membantah nasihat ibunya tentang Tuhan.
“Tuhan? Apa hubungannya dengan Tuhan? Aku yang membeli semua makanan di meja ini,” cetus Foreman saat ibunya minta Foreman mengucap pemberkatan makan siang.
Baca juga: Tinju Kiri Muhammad Ali di Jakarta
Klimaksnya terjadi ketika Foreman mesti takluk dari Muhammad Ali (Sullivan Jones) di laga bertajuk “The Rumble in the Jungle” di Zaire, 30 Oktober 1974. Sifat temperamen Foreman sukses dimanfaatkan Ali dengan bualan-bualannya sebagai jalan memukul KO Foreman di ronde kedelapan. Sabuk juara dunia Foreman pun lepas.
Kekalahan itu bikin reputasi Foreman kemudian makin menukik saat ia harus mengakui kekalahan dari Jimmy Young di San Juan, Puerto Riko pada 17 Maret 1977. Di ruang ganti, usai pertarungan Foreman tetiba tumbang hingga pingsan. Rupanya ia terserang heat-stroke yang nyaris membuatnya wafat di tempat.
Tetapi Tuhan belum mau mengambil Foreman. Ia lalu siuman. Foreman pun tersadar bahwa Yesus Kristus tetap bersamanya. Hal itu mendorong Foreman memutuskan gantung sarung tinju dan beralih jadi pengkhotbah di gereja demi bisa dekat dengan Tuhan.
Namun, kehidupannya sebagai pendeta bukan ditempuh dengan jalan yang ringan pula. Memori akan pengalaman-pengalaman pahitnya di ring tinju tetap membayanginya. Belum lagi problem keuangan menerpanya gegara ditipu akuntannya.
Bagaimana Foreman mempertahankan keyakinannya sebagai pengkhotbah tapi tak bisa lepas dari kenangan pahitnya di atas ring tinju? Baiknya Anda saksikan sendiri kelanjutan Big George Foreman yang sudah rilis sejak 28 April 2023.
Baca juga: Sudut Ring Leon Spinks
Plot Emosional
Tone film retro dan vintage sejak awal langsung membawa nuansa era 1960-an dan 1970-an dengan sangat kental. Penonton juga akan makin terbawa masuk ke era itu dengan iringan sejumlah music scoring melankolis, funky, dan lagu-lagu motown yang diramu komposer Marcelo Zarvos.
Dalam banyak hal, sang sineas mencoba menyajikan keotentikan kisah Foreman. Salah satunya di adegan-adegan build-up pertarungannya dengan Muhammad Ali. Beberapa film lain yang menggambarkan pertarungan itu, kata Tillman Jr., justru lebih sering didramatisir.
“Ketika saya bicara pada Foreman, dia bilang. ‘Anda tahu? Saya hanya sekali ketemu Ali di Zaire.’ Saya tanya lagi, ‘Anda tidak bertemu di konferensi (pers)?’ Dia jawab, ‘Kami tidak mengadakan konferensi.’ Tapi banyak film menggambarkan terjadi konferensi pers? Makanya saya pribadi tetap pada pendirian saya untuk menyajikan kisah nyatanya berdasarkan ingatan Foreman,” kata Tillman Jr. kepada Box Office Pro, 3 Mei 2023.
Baca juga: Ring Kehidupan Max Schmeling
Kendati demikian, dalam hal teknik tinju dan olahraga. Big George Foreman cenderung jadi film yang “kentang”, terutama bagi penonton yang berasal dari kalangan pecinta tinju sejati. Tillman Jr. nyaris tidak menghadirkan detail-detail teknik pertarungan Foreman, baik dalam latihan-latihan jelang laga maupun saat bertanding di atas ring. Tillman Jr. cenderung membawa alur film ke sisi emosional Foreman, baik terkait kondisi melarat sebelum bertinju, situasi rumahtangganya yang berantakan, hingga rasa frustrasinya gegara akuntannya membuatnya merugi secara finansial.
“George adalah orang yang berbeda pada era 1970-an: dari cara ia berjalan, cara dia bicara. Itu juga menjadi self-awareness buat kami dalam menyambung plot, di mana terjadi transformasi dari seseorang yang menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi dirinya,” tukas sang sutradara.
Baca juga: Persahabatan Max Schmelling dan Joe Louis
Akhir Manis Karier Foreman
George Edward Foreman lahir di kota kecil Marshall, Texas pada 10 Januari 1949. Ia anak kelima dari enam bersaudara pasangan Nancy dan J.D. Foreman. Kendati begitu, sang petinju mengakui J.D. Foreman bukan ayah biologisnya.
“Leroy Moorehead adalah nama ayah (biologis). Saya melihat sebuah surat yang dia tuliskan untuk ibu. Dia ingin bertemu tapi ibu melarangnya,” ungkap Foreman dalam memoarnya, God In My Corner: A Spiritual Memoir.
Sedikit-banyak yang dikisahkan dalam Big George Foreman memang berdasarkan kenyataan yang dijalani Foreman. Tinju mulai dikenalnya di sela aktivitasnya menggali keterampilan jadi tukang kayu di Job Corps di Pleasanton, California.
“Mulanya saya ingin jadi pemain football (American football) karena salah satu idola saya adalah Jim Brown. Tapi ketika saya masuk ke Job Corps, saya mencoba belajar tinju. Well, 25 pertarungan (amatir) dan setahun kemudian, saya peraih medali Olimpiade,” imbuhnya.
Baca juga: Ronde Terakhir Roger Mayweather
Bermodalkan “senjata” pukulan kerasnya, Foreman mencatatkan 36 kemenangan beruntun tanpa terkalahkan di awal karier profesionalnya, sebelum akhirnya mendapat kesempatan menantang juara kelas berat WBA dan WBC, Joe Frazier. Dalam build-up duel di Kingston, Jamaika pada 22 Januari 1973 bertajuk “The Sunshine Showdown”, Foreman hanya butuh dua ronde untuk membuat Frazier tersungkur.
“Saya pikir sedari awal dia (Foreman) sudah menyakiti Joe Frazier. Angelo Dundee, pelatih Ali yang duduk di samping saya, begitu lantang mengatakan. ‘Frazier tumbang! Frazier tumbang!’ Sang juara bertahan sampai enam kali dipukul KO. Pertarungan ini membuktikan dugaan banyak orang terhadap Foreman,” kenang Howard Cosell, jurnalis ABC yang menyiarkan duel bernilai kontrak 10 juta dolar tersebut.
Setelah mencatatkan kemenangan ke-40 tanpa terkalahkan sekaligus mempertahankan gelarnya, Foreman meladeni tantangan Muhammad Ali untuk berduel di Zaire. Foreman memilih bersikap dingin ketimbang bereaksi keras dari bualan dan ejekan Ali, baik saat wawancara televisi maupun saat bertemu di lobi Hotel Intercontinental, Kinshasha, Zaire jelang laga bertajuk “The Rumble in the Jungle”, 30 Oktober 1974.
“Ali membual dan mengejek, ‘Saya akan mengapung seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah. George takkan bisa memukul sesuatu yang tak bisa dilihat matanya.’ Tetapi George bukan banci tampil seperti Ali. Sang juara bertahan perlahan-lahan mulai dikagumi publik Zaire atas perilakunya yang tak aneh-aneh,” tulis Ed McCoyd dalam To Live and Dream: The Incredible Story of George Foreman.
Baca juga: Durán dan Leonard, dari Lawan jadi Kawan
Tetapi nyatanya itu belum cukup. Ocehan Ali yang akan terus bergerak cepat untuk menguras tenaga Foreman jadi kenyataan. Foreman yang hanyut termakan strategi Ali tak berdaya ketika wajahnya menerima pukulan menentukan Ali yang membuatnya tersungkur di ronde kedelapan. Sabuk juaranya pun direbut Ali.
Foreman lantas memecat kedua pelatihnya, Dick Sadler dan Archie Moore, atas dugaan sabotase. Foreman merasa ia “diracun” hingga membuat staminanya menukik tajam.
“(Duel lawan Ali) memang bukan malam saya. Saya juga merasa ada yang aneh dalam minuman saya. Air yang saya minum terasa seperti ada obat tertentu. Saya bertarung dengan rasa obat yang masih tertinggal di mulut saya. Setelah ronde ketiga, saya kelelahan ibarat sudah menjalani 15 ronde. Apa yang terjadi? Apakah ada yang memasukkan obat ke air minum saya?” sambung Foreman dalam memoarnya.
Baca juga: Pencarian Islam Muhammad Ali
Karier Foreman pun tak lagi sama usai kalah dari Ali. Setelah keok pula oleh Jimmy Young pada 17 Maret 1977, Foreman lalu gantung sarung tinju. Ia pun nyaris tewas ketika terserangan heat-stroke di ruang ganti, hingga kemudian memutuskan untuk berserah diri dan mendekatkan diri pada Yesus Kristus.
Tetapi itu bukan akhir dari jalan hidupnya. Satu dekade berselang, ia comeback naik ring. Motifnya klasik, demi uang. Tapi tujuannya berbeda. Bila dulu untuk keluar dari kemiskinan dan bisa hidup foya-foya, pada 1987 ketika balik ke ring tinju, Foreman hanya ingin punya pendapatan lebih demi bisa membangun pusat-pusat kegiatan pemuda untuk menjauhkan mereka dari kriminalitas.
Hebatnya, meski sempat mengalami overweight, kembalinya Foreman ke ring tinju tak sia-sia. Ia melewati 24 laga tanpa pernah kalah sebelum akhirnya menantang juara dunia WBA, WBC, dan IBF, Evander Holyfield pada 19 April 1991. Usianya sudah 42 tahun. Meski kalah, publik kembali memuja Foreman.
Baca juga: Menanti Reuni Tyson vs Holyfield
Yang mengejutkan adalah ketika Foreman di usia 45 tahun, sukses bikin geger dunia tinju. Ia menang KO dari juara dunia yang jauh lebih muda, Michael Moorer, pada 5 November 1994. Untuk kedua kalinya, Foreman melingkarkan pinggangnya dengan sabuk juara dunia kelas berat versi WBA dan IBF.
“Di hadapan 12.120 penonton di MGM Grand Garden, Foreman memberi kejutan buat Moorer, fans, jurnalis, hingga jutaan orang yang menyaksikan via televisi ketika ia menumbangkan juara bertahan di ronde ke-10 setelah sempat tertinggal dalam perolehan angka dan itu jadi salah satu kejutan terbesar dalam dunia tinju. Mengenakan celana yang sama ketika ia kalah dari Ali 20 tahun lalu, Foreman mendaratkan pukulan kanan ke rahan Moorer sampai sang juara bertahan tersungkur ke kanvas,” tulis Thomas Myler dalam Close Encounters With the Gloves Off.
Karier Foreman pun berakhir manis. Ia tetap mempertahankan gelarnya sampai ia memutuskan pensiun yang kedua kali sekaligus selamanya pada 1997 di usia 48 tahun, 316 hari dengan catatan: 76 kemenangan (68 KO) dan lima kali kalah dalam 81 karier profesionalnya.
“Saya menyingkir dari ring tinju. Bisa saja karier saya diteruskan sampai akhir hayat, melawan para petinju muda. Tetapi saat ini petinju mudalah yang seharusnya juga melawan petinju muda lainnya,” tandas Foreman kepada majalah Jet, 15 Desember 1997.
Deskripsi Film:
Judul: Big George Foreman | Sutradara: George Tillman Jr. | Produser: David Zelon | Pemain: Khris Davis, Forest Whitaker, Cedric Boswell, Sullivan Jones, Sonja Sohn, Shein Mompremier, Carlos Takam, Jasmine Matthews | Produksi: Affirm Films, Mandalay Pictures, State Street Pictures | Distributor: Sony Pictures | Genre: Biopik Olahraga | Durasi: 120 menit | Rilis: 28 April 2023.