MAX Schmeling hampir tak mengenali negeri kelahirannya saat kembali dari Amerika Serikat pada suatu hari di bulan April 1933. Sejauh mata memandang, Schmeling melihat spanduk dan bendera swastika di hampir setiap sudut kota Berlin, Jerman. Salah seorang kawannya kala santap makan malam di salah satu restoran terpopuler di kota itu menyadarkan Schmeling bahwa Jerman yang dahulu bukanlah yang sekarang.
Selain bertebaran banyak spanduk dan panji Nazi, kota-kota besar di Jerman selalu diramaikan parade-parade barisan Sturmabteilung (SA, paramiliter Partai Nazi). Jika orang lain larut dalam histeria menyambut Adolf Hitler menjadi kanselir sejak Januari 1933, tidak begitu bagi Schmeling.
“Rasanya seperti sesuatu yang baru telah dimulai, sebuah energi yang membuncah di seluruh penjuru negeri, kepercayaan diri baru, harapan baru. Yang paling kentara adalah bentuk ekspresi emosional dan konyol seperti parade-parade yang ada di mana-mana,” tuturnya dalam Max Schmeling: An Autobiography.
Baca juga: Akhir Tragis Atlet Prancis Pengabdi Hitler
Namun tanpa dinyana kala melanjutkan santapnya, tetiba seorang berseragam SA mendekatinya dan melakukan salam Nazi. Ternyata opsir SA itu menyampaikan pesan bahwa Hitler ingin mengundangnya bergabung makan malam bersama di Reichstag (istana parlemen Jerman Nazi). Walau Schmeling mengaku sudah kenyang, sang petinju memenuhi undangan ke Reichstag itu.
“Di Gedung Reichstag, saya diminta menunggu di ruang depan. Tetapi baru saja saya mendekati jendela, sebuah pintu terbuka dan Hitler muncul, dikelilingi oleh (Hermann) Goering, (Joseph) Goebbels, dan menteri-menterinya. Tanpa ragu, Hitler mendekati saya dan berkata: ‘Selamat datang, Tuan Schmeling. Saya ingin mengundang Anda untuk ikut makan malam dengan saya’,” kata Schmeling mengenang.
“Saya menjawab: ‘Tuan Kanselir, terimakasih banyak, namun saya baru saja makan malam.’ Hitler menerima penolakan halus saya dan hanya berkata: ‘Baiklah, setidaknya kita bisa sedikit berbincang.’ Goering yang menepuk pundak saya pun ikut bergabung dalam perbincangan,” lanjutnya.
Baca juga: Anggar untuk Hitler
Hitler rupanya terkesan dengan track record Schmeling sejak masuk tinju profesional pada 1924, setelah memenangi nomor kelas berat-ringan Kejuaraan Nasional Jerman 1924 di Chemnitz. Tiga tahun sebelum bertemu Hitler, Schmeling mencatatkan namanya sebagai petinju Jerman pertama yang memenangi gelar kelas berat dunia NBA (kini WBA).
Sebelum pulang dari perantauannya di Amerika, Schmeling juga menang TKO atas Mickey Walker pada 26 September 1932 di Madison Square Garden, New York. Tetapi yang diperbincangkan kemudian bersama Hitler di Reichstag itu akan mengubah jalan hidup Schmeling.
Gara-gara Jack Dempsey
Masa kecil Maximilian Adolph Otto Siegfried Schmeling, anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Max Schmeling dan Amanda Fuchs, tak seperti anak-anak Jerman kebanyakan. Jika anak-anak sebayanya menyenangi sepakbola, sosok kelahiran Klein Luckow, 28 September 1905 itu justru getol dengan tinju.
Padahal, tinju di awal abad ke-20 belum jadi olahraga populer di Jerman. Ayah atau ibunya pun tak punya keterkaitan dengan olahraga kontak fisik itu.
Baca juga: Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu
Ketertarikan Schmeling pada tinju “gara-gara” petinju Amerika Jack Dempsey. Saat berusia 16 tahun, dia mendengarkan siaran pertarungan Dempsey kontra petinju Prancis Georges Carpentier pada 2 Juli 1921. Laga untuk memperebutkan gelar dunia kelas berat itu jadi sensasi tersendiri di Amerika dan Eropa lantaran merupakan laga tinju pertama yang disiarkan langsung via radio. Dempsey yang menang KO pun sontak jadi idola bagi Schmeling.
“Dempsey berada di masa di mana dalam tinju, teknik dan taktik mulai menggantikan kekuatan pukulan murni; dia mengombinasikan skill tinju yang luar biasa dengan pukulan yang mengagumkan, dia seperti petarung dari galaksi lain. Tak heran dia dijuluki ‘si pembunuh’ oleh para petinju lain,” sambung Schmeling dalam otobiografinya.
Maka ketika rekaman pertandingan itu diputar di sebuah bioskop, Schmeling menontonnya berulang-kali. Kadang mengajak ayah, kadang ibunya, untuk kemudian meminta dibelikan sepasang sarung tinju. Saat itulah Schmeling membulatkan tekad untuk merintis masa depannya di ring tinju.
Setahun kemudian, Schmeling masuk tinju amatir di kelas berat-ringan. Dia beralih ke tinju profesional pada 1924. Hans Czapp jadi lawan pertamanya (2 Agustus 1924) dan berhasil ia robohkan di ronde keenam. Sabuk pertama yang ia lingkarkan di pinggangnya adalah gelar kelas berat-ringan BDB, hasil meng-KO Max Diekmann di Luna Park, Berlin pada 24 Agustus 1926. Lewat kemenangan KO atas petinju Belgia Fernand Delarge setahun berselang, reputasi Schmeling merambah Eropa.
Baca juga: Cricket Ala Hitler
Pada 1928, ia bertualang ke negeri “Paman Sam” yang jadi kiblat tinju dunia. Selain naik ke kelas berat, di sana Schmeling mengenal Joe Jacobs, manajer yang hingga sebelum masa perang meroketkan namanya. Jacobs pula yang mengantarkan Schmeling bisa menjadi penantang Jack Sharkey guna memperebutkan gelar NBA (kini WBA) pada 12 Juni 1930 di Stadion Yankee.
Lucunya, Schmeling merebut gelar itu lewat keputusan diskualifikasi. Sharkey yang mendaratkan pukulan ilegal ke selangkangan Schmeling, didiskualifikasi wasit. Schmeling yang masih meringis kesakitan pun dinyatakan sebagai juara baru kelas berat versi NBA. Momen yang dikenal sebagai “Low Blow Champion” alias juara pukulan selangkangan itu jadi satu-satunya kemenangan gelar seorang petinju lewat diskualifikasi sebelum dilanjutkan Evander Holyfield pada Juni 1997 kala menang diskualifikasi akibat telinganya digigit Mike Tyson.
Baca juga: Menanti Reuni Tyson vs Holyfield
Walau pada rematch kontra Sharkey dua tahun berselang Schmeling terpaksa menyerahkan sabuk gelarnya, dia punya kans lagi gelarnya ketika berhadapan dengan Joe Louis pada 19 Juni 1936. Jika bisa mengalahkan petinju Afro-Amerika berjuluk “Brown Bomber” itu, Schmeling akan jadi penantang utama untuk melawan pemegang gelar Jim Braddock.
Repotnya, konsentrasi Schmeling direcoki isu-isu politis. Terlebih sejak bersua Hitler di Reichstag pada April 1933, Schmeling seolah jadi “alat” pamer supremasi ras Arya yang didengungkan Nazi. Isunya kian kencang mengingat yang dihadapi Schmeling adalah petinju kulit hitam yang dianggap sebagai ras inferior oleh Nazi.
“Keduanya menjadi simbol filosofi politis dan tentunya kian mendramatisir teori-teori antropologi Jerman yang baru sebagai demonstrasi superioritas ras kulit putih. Berbulan-bulan sebelum pertarungan, para komentator dan pengamat olahraga berspekulasi tentang implikasi politis, rasial, dan sosial dari pertarungan ini,” tulis Lewis A. Erenberg dalam The Greatest Fight of Our Generation: Louis vs Schmeling.
Diam-diam Menentang Hitler
Walau menyandang status underdog, Schmeling menang KO atas Louis di ronde ke-12. Publik Amerika berduka. Sebaliknya, sambutan bak pahlawan menanti Schmeling di negerinya.
Diugkapkan David Margolick dalam Beyond Glory: Joe Louis vs Max Schmeling, and a World on the Brink, Hitler yang mendengar kemenangan Schmeling bahkan langsung mengirim karangan bunga dan surat kepada istri Schmeling, Anna Ondra. “Untuk kemenangan luar biasa suami Anda, petinju terhebat Jerman kami, saya harus mengucapkan selamat dengan sepenuh hati,” demikian tulisan dalam karangan bunga tersebut.
Baca juga: Ada Trump di Sudut Ring Mike Tyson
Schmeling pun jadi “alat” propaganda yang dimaksimalkan Hitler, terutama jelang Olimpiade Berlin 1936. Sekembalinya ke Jerman, kemenangannya atas Louis hampir saban hari jadi pemberitaan koran-koran di Jerman.
“Para anggota Partai Nazi juga setiap hari datang ke kamp latihan dengan memamerkan lambang swastika di lengan mereka. Mereka menonton saya latihan dan duduk-duduk sambil tertawa seperti orang brengsek,” kenang Schmeling.
Schmeling juga dituntut Menteri Olahraga Jerman Nazi Hans von Tschammer und Osten untuk lebih sering bertarung di dalam negeri ketimbang di Amerika. Selain untuk mempromosikan olimpiade, Schmeling diharapkan bisa jadi inspirasi bagi atlet-atlet muda Jerman.
“Keteladanan bisa ditemukan di mana saja. Apa yang saya capai di Amerika juga bisa dilakukan para pemuda Jerman juga. Lagipula ketika saya bertinju di Amerika, saya mewakili Jerman,” tutur Schmeling menjawab permintaan Von Tschammer, dikutip Patrick Myler dalam Ring of Hate: Joe Louis vs Max Schmeling.
Baca juga: Etalase Nazi di Olimpiade
Ketika Hitler meminta Schmeling memutus hubungan dengan manajernya, Joe Jacobs, saat diundang untuk minum teh, Schmeling secara halus menolaknya. Schmeling beralasan, Jacobslah orang di balik kesuksesan dirinya di Amerika sejak 1928. “Terlepas dari itu, loyalitas adalah keutamaan nilai-nilai seorang Jerman sejati, bukan?” kata Schmeling dikutip Myler.
Meski Hitler menyiratkan ketidaksenangannya, Schmeling dianggap masih berguna untuk “misi” Hitler berikutnya: mengorbitkan citra Jerman Nazi sebagai tuan rumah Olimpiade 1936. Schmeling pula yang kemudian jadi salah satu perantara negosiasi Hitler dengan Presiden Komite Olimpiade Amerika Avery Brundage agar mengurungkan rencana boikot olimpiade.
Dua tahun pasca-olimpiade, kebijakan antisemit Hitler membuahkan kebencian di benak Schmeling. Ia makin lantang menolak dimasukkan jadi anggota Partai Nazi.
Pada persitiwa Kristallnacht atau “Malam Kaca Pecah”, tragedi penyerangan sporadis terhadap warga Yahudi (9-10 November 1938), Schmeling tergerak untuk menyembunyikan dua anak Yahudi, Henri dan Werner Lewin, di apartemennya agar tak jadi sasaran pembunuhan. Keduanya adalah putra David Lewin, pemilik toko pakaian langganan Schmeling.
“Jika kami tak disembunyikan di apartemennya, saya takkan berada di sini. Schmeling yang merasa malu meneteskan air mata dan mengatakan bahwa dia tak ingin diglorifikasi,” demikian pengakuan Lewin pada 1989, dikutip Myler.
Kaya Raya Berkat Coca-Cola
Schmeling melakoni rematch kontra Louis pada 1938 namun berakhir dengan kekalahan KO. Kesialannya bertambah lantaran dua tahun berselang kariernya diusik wajib militer. Menteri Propaganda Josep Goebbels memasukkan namanya sebagai “sukarelawan” di Fallschirmjägertruppe (pasukan payung Luftwaffe/AU Jerman).
Setelah dilatih beberapa bulan, Schmeling diterjunkan di Pertempuran Kreta (20 Mei 1941) sebagai propaganda bahwa pahlawan olahraga seperti Schmeling pun “rela” ikut berperang demi Jerman Nazi. Namun di hari pertama pertempuran itu juga Schmeling tertembak saat masih melayang dengan parasutnya di ketinggian 450 kaki.
Baca juga: Fritz Walter, dari Perang Dunia ke Piala Dunia
Setelah dirawat di rumahsakit militer di Athena, pangkatnya dipromosikan dari kopral menjadi sersan. Dia juga dianugerahi medali Eisernes Kreuz (salib besi) kelas dua.
Namun, mulai 1943 Schmeling ditugaskan melakukan “tur” ke kamp-kamp tawanan perang di Jerman hingga Italia. Schmeling merasa dimanfaatkan Goebbels untuk mengangkat moril pasukan Jerman lantaran per 1942 Jerman mulai mundur teratur dari front timur. Di sisi lain, Schmeling melihat kesempatan lain untuk “menebus” dirinya sebagai “boneka” Hitler.
Baca juga: Sepp Herberger dan Bayang-bayang Nazi
Schmeling mengunjungi para tawanan perang Amerika untuk mengangkat semangat hidup mereka. Schmeling juga memanfaatkan pengaruhnya untuk meningkatkan kondisi kamp agar lebih laik untuk para tawanan sekaligus memberi hiburan dengan melakukan pertarungan eksebisi melawan para petinju amatir yang terdiri dari opsir Jerman maupun tawanan perang. Misi itu berjalan hingga kapitulasi Jerman.
Usai Perang Dunia II, Schmeling mencoba kembali ke tinju profesional. Bukan untuk gelar, melainkan mengumpulkan uang tabungan. Schmeling naik ring terakhir kalinya pada 31 Oktober 1938, melawan Richard Vogt. Ia gantung sarung tinju dengan catatan total 71 pertarungan, 57 kemenangan (41 KO), empat kali seri, dan 10 kali kalah.
Dengan bekal tabungannya, pada 1950-an Schmeling membeli lisensi Coca-Cola dan mendirikan pabrik pengemasannya. Schmeling kaya-raya di masa pensiunnya hingga wafat pada 22 Februari 2005. Sejumlah tokoh lintas olahraga, bahkan Presiden Jerman Horst Köhler (2004-2010) berduka atas kepergiannya dan memberi pengakuan bahwa Schmeling seorang teladan yang mampu mengalahkan pengaruh Hitler di masa-masa kelam negerinya.
“Saya tak ingin siapapun mengatakan bahwa saya seorang atlet hebat namun tak berarti sebagai seorang manusia. Saya takkan sanggup menahan beban itu,” tutur Schmeling dalam sebuah wawancara pada 1993, dikutip suratkabar USA Today, 4 Februari 2005.
Baca juga: Kisah Coca-Cola di Bawah Panji Nazi