Akhir Tragis Seorang Atlet Prancis
Larangan tampil di Olimpiade membuat atlet multitalenta sarat prestasi ini menyeberang ke Nazi-Jerman.
SOROT matanya tajam. Meski posturnya hanya setinggi 5,5 kaki (165 cm), Violette Morris “memelihara” otot di berbagai bagian tubuhnya. Gadis Prancis itu perawakannya tak feminim.
Hal itu membuat hidupnya kerap dikitari kontroversi. Namun, sejatinya dia dikenal sebagai atlet multitalenta.
Atlet Multitalenta
Lahir sebagai anak bungsu dari enam bersaudari pada 18 April 1893, Violette dianugerahi fisik yang atletis. “(Fisiknya) digambarkan seperti raksasa. Ukuran bisepsnya hampir 14 inci –seukuran rata-rata leher wanita. Namun sebenarnya tingginya hanya 5,5 kaki. Fisiknya sangat, sangat kuat,” ungkap sejarawan Anne Sebba dalam Les Parisiennes: How the Women of Paris Lived, Loved and Died in the 1940s.
Sejak belia, dia menggandrungi beragam cabang olahraga. Kegandrungan itu terus berlanjut seiring bertambahnya usia.
Namun, Violette terpaksa menghentikan hobinya menyusul pecahnya Perang Dunia I. Baru setelah perang usai Violette kembali menggeluti olahraga. Prestasi mulai berdatangan di cabang atletik nomor lempar lembing dan tolak peluru. Violette mulai menjadi pahlawan Prancis di tiga perhelatan Women’s World Games Monte Carlo: di edisi 1921, dia mendapat dua emas; pada 1922, meraih satu emas dan satu perak di nomor yang sama; dan di Women’s World Games 1923 Paris dia meraih satu perak.
Baca juga: Sepp Herberger dan Bayang-bayang Nazi
Violette tak hanya senang beragam olahraga tapi juga jago. Di luar atletik, dia pernah memperkuat tim polo air Prancis. Dia satu-satunya pemain perempuan lantaran saat itu belum ada tim polo air putri. Cabang-cabang lain yang digelutinya meliputi: gulat, tinju, renang, selam, tenis, panahan, berkuda, sepakbola putri hingga balap motor dan mobil. “Ce qu’un homme fait, Violette peut le faire!” atau “Apapun yang bisa dilakukan pria, Violette juga bisa!” begitu slogannya.
Hingga 1926, Violette tercatat masuk di tim putri Femina Sports dan kemudian Olympique de Paris. “Dia juga bermain untuk tim nasional putri Prancis,” tulis Raymond Ruffin dalam Violette Morris: La Hyene de la Gestap.
Nama Violette kian populer di Eropa dan Amerika setelah terjun ke arena balap. Terlebih, dia mampu memenangi Bol d’Or 1927. “Setelah empat tahun dimenangkan M Robert Senechal, balapan 24 jam Bol d’Or tahun ini dimenangkan pembalap putri, Madame Violette Morris dengan mobil BNC (kelas) 1.100cc yang melintasi trek sepanjang 1.006 mil,” tulis Tabloid Motor Sport edisi Juli 1927.
Putar Haluan
Di luar prestasi olahraga, kesenangan Violette tampil ke publik mengenakan celana panjang membuatnya jadi obrolan banyak orang. Kebiasaan itu dianggap sangat berani lantaran sejak era Napoleon, perempuan Prancis dilarang menggunakan celana panjang laiknya pria.
Violette mulai melakukan itu sejak mengabdi di Palang Merah Prancis sebagai sopir ambulans pada Perang Dunia I (PD I). Bersama Cyprien Gouraud, pria yang menikahinya sesaat sebelum PD I, Violette terjun ke dalam perang. Sang suami sebagai infantri bertugas di garis depan sementara Violette bertugas sebagai perawat lalu sopir ambulans di Pertempuran Verdun dan Somme. Pernikahan keduanya bubar pada 1923. “Kemungkinan pernikahannya sudah diatur keluarga,” lanjut Sebba.
Penampilan "kontroversial" Violette di depan publik terus berlanjut. Dia bahkan mulai senang mengenakan setelan jas pria, jadi perokok, dan dua kali melakukan bedah mastectomy untuk menghilangkan sepasang payudara besarnya. Publik juga mengetahui Violette sering hura-hura di Le Monocle, klub malam khusus lesbian di Paris.
Pemerintah Prancis, yang menganggap gaya hidup Violette menyimpang, melarang dia tampil di Olimpiade 1928. Violette pun berang. Kemarahannya pada publik dan pers Prancis mendorongnya “merapat” ke Jerman yang sudah dikuasai Adolf Hitler dengan Nazisme-nya. Violette lantas direkrut organisasi intelijen Nazi, Sicherheits Dienst (SD), pada 1935. “Pada 1935 (Violette) Morris didekati Nazi dan diundang lewat permintaan pribadi oleh Hitler untuk mengunjungi Olimpiade Berlin 1936,” sambung Sebba.
Baca juga: Etalase Nazi di Olimpiade
Violette menjadi mata-mata andalan Nazi jelang invasi ke Prancis. Jasa Violette sangat berarti dalam pengiriman berbagai informasi tentang titik-titik vital pertahanan Paris. Tidak ketinggalan, dia membocorkan rencana pertahanan Sekutu di Maginot Line, plus formasi tank-tank utama Prancis Somua S35.
Pasca-Prancis diduduki, Violette didaulat jadi salah satu petinggi Carlingue, sayap organisasi Gestapo (Polisi Rahasia Nazi). Tugasnya, membongkar jaringan kontra-intelijen dan perlawanan La Resistance, organisasi bawah tanah anti-Nazi yang disokong Special Operations Executive (SOE) Inggris. Metode interogasi nan keji terhadap para anggota perlawanan Prancis yang tertangkap membuat Violette lekat dengan julukan “Hyena-nya Gestapo”.
Baca juga: Anggar untuk Hitler
Kekejamannya di negeri sendiri menjadikan Violette sebagai target pembunuhan SOE dan beragam organisasi perlawanan bawah tanah Prancis. Violette akhirnya tutup usia pada 26 April 1944, setelah disergap di Normandia.
“Pada malam itu (26 April 1944) ketika dia sedang berkendara bersama sebuah keluarga yang juga kolaborator Nazi, sejumlah anggota Resistance menyergap dari semak-semak dan menembakinya. Semua yang ada di mobil ikut terbunuh,” tandas Kelly Ricciardi Colvin dalam Gender and French Identity after the Second World War: 1944-1954.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar