Dari Perang Dunia ke Piala Dunia
Lika-liku kisah Fritz Walter. Nyaris dikirim ke gulag nan brutal hingga menciptakan keajaiban di Piala Dunia.
DARI pinggir lapangan, Josef ‘Sepp’ Herberger tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Sang pelatih timnas Jerman itu puas bukan kepalang karena merasa tak salah pilih kala memberi kesempatan pada bintang muda, Fritz Walter, untuk melakoni debut internasionalnya. Permainan ciamik Walter dalam laga persahabatan itu bikin sekira 40 ribu penonton di Waldstadion, Frankfurt am Main, 14 Juli 1940, bergemuruh kagum.
Laga persahabatan itu digelar untuk memperkuat ikatan aliansi “Axis” antara Jerman, Rumania, dan Italia yang diwakili wasit Raffaele Scorzoni. Jerman yang superior di atas kertas memulai pesta golnya sejak menit ke-16 lewat Ernst Plener.
Tetapi yang jadi sorotan utama tetaplah Fritz Walter, gelandang serang yang baru berusia 20 tahun. Gelandang yang sebelumnya mengukir kiprah manis di klub kota kelahirannya, FV Kaiserslautern (kini 1 FC Kaiserslautern), itu mencetak hattrick (trigol) di menit ke-33, 76, dan 81 untuk menyempurnakan kemenangan telak 9-3. Senyum Herberger senantiasa tersungging ketika berjalan hendak merangkul Walter usai laga.
“Saya senang, Fritz. Kau tidak mengecewakan saya. Kau bisa datang lagi (memperkuat timnas),” kata Herberger, dikutip Ulrich Hesse dalam Tor! The Story of German Football.
Baca juga: Timnas Jerman Nazi di Piala Dunia yang Tak Diakui
Sejak saat itu, Walter jadi anak emas Herberger. Ke manapun timnas Jerman berlaga, Walter selalu dipanggil Herberger, terlepas dunia tengah bergolak oleh Perang Dunia II. Termasuk di laga persahabatan kontra Hungaria di Népstadion, Budapest (kini Puskás Ferenc Stadion), 3 Mei 1942.
Pertandingan itu disebutkan Herberger sangat penting bagi harga diri para petinggi Nazi. Tetapi Walter dkk. sempat ketar-ketir lantaran di interval perdana mereka tertinggal 1-3.
“Tolong jangan biarkan pertandingan ini jadi bencana,” cetus Herberger pada saat rehat di ruang ganti. Kata-kata itu begitu terngiang di telinga Walter.
Ia dan 10 rekan setimnya paham bahwa jika laga berakhir pahit, nasib mereka bakal getir pula: dikirim ke medan perang front timur. Petuah bernada ancaman itu pun terbukti melecut semangat Walter cs. Di babak kedua, Die Mannschaft bangkit hingga menang 5-3 di akhir laga.
Kemenangan berharga itu tiga tahun berselang berperan besar menentukan nyawa Walter pasca-kekalahan Jerman-Nazi di Perang Dunia II. Seandainya di laga itu Jerman kalah, catatan sejarah dan reputasi sepakbola Jerman di Piala Dunia akan berbeda sama sekali.
Sepakterjang di Tengah Perang
Friedrich ‘Fritz’ Walter merupakan anak sulung dari tiga bersaudara kelahiran Kaiserslautern, 31 Oktober 1920. Persentuhannya dengan sepakbola terjadi karena sering ikut membantu ayahnya yang bekerja di bar dan restoran klub FV Kaiserslautern. Pun dengan dua adiknya, Ottmar dan Ludwig, yang juga tertular “virus” sepakbola karena sering melihat laga-laga kandang FV Kaiserslautern.
Saat usianya baru genap delapan tahun, Walter sudah menggabungkan diri di tim muda FV Kaiserslautern. Ia masuk ke tim utama klub kala menginjak usia 17 tahun. Saat itu, kompetisi di Jerman baru empat tahun berganti dari Bezirksliga menjadi Gauliga, yang digelar tersendiri di masing-masing 16 wilayah. Walter bersama Kaiserslautern mentas di Gauliga Westmark yang menariknya, turut mengikutsertakan tiga klub Prancis yang diklaim Jerman sebagai wilayah Saarland: Lorraine, Metz, dan Sarreguemines.
Di masa perang, Walter tampil gemilang bersama Die Roten Teufel (Setan Merah) dan bahkan sempat mengantarkan klubnya juara di musim 1941-1942. Pada 1942 itu juga Walter –yang sudah langganan masuk timnas Jerman sejak 1940– turut tampil di turnamen “Piala Dunia” tak resmi. Namun di final kontra Swedia, Walter dkk kalah 2-3.
Kekalahan itu dan kebijakan Totaler Krieg (perang total) yang –mewajibkan semua warga Jerman ikut wajib militer– dikeluarkan Menteri Propaganda Joseph Goebbels pada 18 Februari 1943 lalu merecoki karier profesional Walter. Kebijakan tangan kanan Der Führer Adolf Hitler itu memaksa Walter meninggalkan sementara sepakbola untuk angkat senjata.
Baca juga: Joseph Goebbels, Setia Nazi Sampai Mati
Dalam otobiografinya, 11 Rote Jäger (11 Petarung Merah), Walter membeberkan, pada musim panas 1943 ia mulai menjalani wajib militer. Ia masuk unit perbantuan darat Luftwaffe (Angkatan Udara) yang akan dikirim ke front Italia dengan pangkat Obergefreiter (setara prajurit satu).
Beruntung bagi Walter karena masih bisa berkontak dengan Sepp Herberger, pelatihnya yang juga salah satu politikus terpandang Partai Nazi. Herberger memanfaatkan betul posisinya untuk menyelamatkan sejumlah pemain andalan timnas Jerman, terutama Walter yang jadi anak emasnya, agar tak dikirim ke palagan.
Herberger lantas meminta bantuan Mayor Hermann Graf, mantan anak asuhnya yang kini jago tempur udara, agar mau menampung beberapa pemain termasuk Walter. Dengan senang hati Graf, eks kiper timnas Jerman, menyanggupi mentransfer Walter dan beberapa pemain lain ke unitnya, Brigade Lintas Udara ke-26.
“Mungkin ketegangan dan perasaan dekat dengan kematian yang selalu ia alami sehari-hari sebelumnya di medan tempur yang menjadi alasan Graf tetap menggemari sepakbola di masa-masa perang. Dia membutuhkan sepakbola sebagai tujuan menciptakan keseimbangan, dia amat membutuhkannya bak makanan sehari-hari,” tulis Walter.
Dengan bergabung ke unit pimpinan Graf di utara Jerman, Walter berada jauh dari kengerian pertermpuran. Unit itu kemudian membentuk kesebelasan Rote Jäger yang diisi 18 pemain, termasuk Graf yang bermain sebagai kiper dan Herberger sebagai pelatihnya. Tim Rote Jäger tak ikut kompetisi resmi di dalam negeri dan hanya jadi tim “propaganda” yang acap tur melawan tim-tim militer maupun lokal di sejumlah negara seperti Hungaria, Prancis, atau Polandia.
Tahanan Perang hingga Piala Dunia
Januari 1945 sudah jadi masa-masa yang suram bagi Jerman. Di barat, Sekutu sudah kian mendekati tanah Jerman. Di timur, jutaan tentara Uni Soviet tak terbendung. Kegiatan Walter dkk. di tim Rote Jäger pun mulai terhenti.
“Walter sempat mengira Graf, seperti para perwira Jerman lainnya, akan melarikan diri dan meninggalkan para prajuritnya dihabisi tentara Rusia (Soviet). Tetapi Graf justru berkata: ‘Kita akan menghancurkan semua pesawat yang tersisa dan kita akan jadi tahanan perang bersama-sama’,” sambung Hesse.
Graf mengupayakan pasukannya untuk menyerahkan diri ke pasukan Sekutu ketimbang Uni Soviet yang lazim memperlakukan tawanan Jerman dengan keji sebagai pelampiasan dendam. Dan memang itu yang terjadi, mereka jadi tawanan pasukan Amerika.
Baca juga: Der Panzer Tersungkur
Tetapi medio Desember 1945, sekira 40 ribu prajurit Jerman yang ditahan Amerika diserahkan ke Uni Soviet. Walter termasuk di dalamnya. Bayangan akan dikirim ke gulag-gulag (kamp) di Siberia untuk menjalani kerja paksa dengan kondisi memilukan tak pernah hilang dari otaknya.
“Di awal musim dingin 1945 itu, Walter keluar dari sebuah truk dengan rasa bingung. Dari beberapa orang, terdengar bahwa ia kini berada di Maramureș dekat Pegunungan Carpathia, untuk masuk ke kamp transit sebelum dikirim ke Siberia. Meski dipenuhi rasa ketakutan yang amat sangat, Walter menghabiskan waktu menunggu di kamp transit itu dengan menonton beberapa penjaga kamp yang bertanding sepakbola dengan para tahanan lainnya,” singkap Kevin E. Simpson dalam Soccer under the Swastika.
Saat Walter sedang menonton dari pinggir lapangan itulah sekonyong-konyong bola mengampiri dirinya dan dia mengembalikan bola out itu dengan sedikit menimang-nimang sebelum menendangnya. Bakat apik Walter mendorong beberapa penjaga mengundangnya ikut main.
“Saat kedua tim mengambil rehat babak pertama, salah satu penjaga kamp asal Hungaria mendatanginya dan berbisik: ‘Saya kenal Anda.’ Walter terdiam. Wajahnya tegang dan ketakutan. Tetapi tensi itu mencair ketika sang penjaga menyambung kata-katanya: ‘Hungaria v Jerman di Budapest, 1942. Anda menang 5-3. Saya ada di sana (sebagai penonton)’,” sambung Simpson.
Sang penjaga yang bersimpati pada Walter di pertandingan itu lantas berusaha menyelamatkan nyawanya. Kepada atasannya, si penjaga meminta nama Walter dihapus dalam daftar tahanan tentara Jerman yang akan dikirim ke Siberia. Pasalnya, dari 40 ribu rekannya yang bakal dikirim ke Siberia, hanya 10 persen yang bisa pulang kampung setelah bertahun-tahun menjalani “neraka” di gulag-gulag itu.
Dengan sedikit berbohong, sang penjaga menyatakan Walter bukan seorang Jerman asli, melainkan orang Austria yang dipaksa jadi tentara Nazi. Keesokan harinya, Walter dipulangkan alih-alih ikut dikirim ke gulag.
“Itu (laga penjaga kamp vs tahanan) merupakan pertandingan terpenting dalam hidup saya. Saya tak peduli dengan siapa saya bermain. Dengan orang Hungaria, dengan orang Slovak pun tak mengganggu saya. Kami hanya bermain sepakbola semata tanpa berpikiran politik,” kata Walter mengenang dalam otobiografinya.
Baca juga: Konsekuensi Persahabatan Atlet “Nazi”
Mengetahui anak emasnya pulang dengan selamat, Herberger yang kembali jadi pelatih timnas segera memasukkan Walter ke skuad. Bersama adiknya, Ottmar, Walter jadi “skrup” terpenting dalam tim Jerman Barat (Jerbar) di Piala Dunia 1954, turnamen bergengsi pertama yang diikuti Jerman sejak porak-poranda oleh Perang Dunia II.
Perlahan tapi pasti, Jerbar lolos babak penyisihan hingga mencapai final. Dalam laga puncak yang dimainkan di Wankdorf Stadium, 4 Juli 1954, itu Jerbar bertemu Hungaria yang tengah naik daun dengan bintangnya Ferenc Puskás. Hujan deras membuat lapangan menjadi berlumpur saat laga final itu.
Kondisi itu justru membuat reputasi Walter kondang. Ia acap main lebih apik dalam kondisi hujan dan lapangan berlumpur, hingga dijuluki “Fritz Walter-Wetter” alias cuaca Fritz Walter.
“Jerman yang sempat tertinggal dua gol, mampu berbalik unggul 3-2 hingga final itu dikenang sebagai Das Wunder von Bern (Keajaiban Bern),” tulis Tom Williams dalam A Glossary of Football Words and Phrases from Around the World.
Kemenangan itu jadi tonggak reputasi Jerman di turnamen-turnamen Piala Dunia hingga sekarang. “Kemenangan itu menjadi momen terbebasnya segenap warga Jerman dari segala hal yang membebani mereka pasca-Perang Dunia II. Tanggal 4 Juli 1954 itu jadi salah satu aspek penting bagi berdirinya Republik Jerman (Barat),” ungkap sejarawan Joachim Fest, disitat Deutsche Welle, 18 Juni 2002.
Sejak saat itu nama Walter banyak dilirik klub-klub luar Jerman. Klub Spanyol Atletico Madrid menawarinya gaji 225 ribu mark. Upaya itu tetap tak mampu mengubah kesetiaan Walter pada Kaiserslautern meski hanya dengan gaji dua ribu mark (setara seribu euro saat ini) hingga pensiun pada 1959. Sebagai bentuk penghormatan pada Walter saat ia pensiun, namanya diabadikan untuk menggantikan nama Stadion Betzengerg, menjadi Fritz-Walter-Stadion.
Di masa senjanya, penyakit malaria yang diidapnya sejak masa perang membuat kondisi kesehatannya terus memburuk. Pada 17 Juni 2002, ia mengembuskan nafas terakhir di Enkenbach-Alsenborn dalam usia 81 tahun.
“Fritz Walter adalam simbol olahraga Jerman di era pascaperang. Sosok dengan kemampuan luar biasa di lapangan, dia juga terlibat banyak dalam aktivitas sosial selepas pensiun. Itu yang membuatnya jadi teladan bagi generasi atlet-atlet Jerman di masa depan,” tandas Presiden Federasi Olahraga Jerman Manfred von Richtofen.
Baca juga: Etalase Nazi di Olimpiade
Tambahkan komentar
Belum ada komentar