Konsekuensi Persahabatan Atlet “Nazi”
Nekat merangkul atlet berkulit hitam di hadapan Hitler, atlet Jerman ini lalu dikirim ke front terdepan Perang Dunia.
POSTURNYA tegap dengan tinggi 184 cm. Bermata biru serta berambut pirang. Gambaran fisik sempurna sebagai figur ras arya itu ada pada Carl Ludwig “Luz” Long, seorang atlet Jerman.
Long menjadi tumpuan harapan Jerman, yang pada medio 1930-an disemarakkan oleh ideologi Nazi, di Olimpiade Berlin 1936. Long diharapkan sebagai salah satu pemenang dalam “etalase” propaganda di perhelatan akbar olahraga itu.
Sebagaimana lazimnya kompetisi, Long punya rival kuat dari Amerika Serikat (AS) di nomor lompat jauh. Dia adalah James Cleveland “Jesse” Owens, atlet berkulit hitam yang di nomor sebelumnya sempat “menampar” muka Der Fuhrer Adolf Hitler dua kali dengan merebut medali emas di nomor lari 100 dan 200 meter putra.
Owens, pelari yang di negaranya sendiri pun kesulitan untuk menikmati hidup lantaran rasisme, dalam ideologi Nazi termasuk untermesch atau ras inferior. Klasifikasi itu juga disandang orang-orang Gipsi maupun Yahudi.
“Saya tidak diundang untuk bersalaman dengan Hitler, tapi saya juga tidak diundang ke Gedung Putih untuk bersalaman dengan Presiden (AS, Franklin D Roosevelt, red.),” ungkap Owens dalam Jesse Owens: A Biography karya Jacqueline Edmonson.
Dalam perhelatan itu Owens total merebut empat medali. Selain dari nomor lari 100 dan 200 meter, dia juga mengalungi medali emas dari nomor estafet 400 meter dan lompat jauh. Di nomor terakhir itulah Owens bersaing ketat dengan Long.
Long memang kalah, namun dia punya “kemenangan” tersendiri. Dia tak segan memberi selamat dan bahkan merangkul Owens di depan mata Hitler yang tengah berdiri di podium kehormatan Olympiastadion. Meski memiliki fisik sempurna menurut ideologi Nazi, Long muak dengan ideologinya Hitler itu dan dia jelas bukan anggota Nazi.
Momen indah yang diabadikan banyak fotografer itu lalu dilestarikan dalam video dokumenter Olympia, Fest der Volker besutan Helene Bertha Amalie “Leni” Riefenstahl, sineas Jerman yang menaruh simpati terhadap Owens. Momen itu lantas menggemparkan publik Jerman.
Owens sendiri terkejut dengan keberanian Long yang mau berteman dan merangkulnya, seorang yang dalam ideologi Nazi bahkan bukan dianggap manusia.
“Butuh keberanian dari dirinya untuk berteman dengan saya di hadapan Hitler. Anda bisa meleburkan semua medali dan trofi yang saya punya, namun mereka takkan bisa membuat persahabatan berpelat emas 24 karat yang saya rasakan pada Luz Long di momen itu,” cetus Owens dikutip Jeff Burlingame dalam Jesse Owens: I Always Loved Running.
Momen Long merangkul Owens itu jelas mendatangkan konsekuensi tersendiri. Terlebih, Long kerap menentang kebijakan anti-semitisme Hitler. Saat Perang Dunia II pecah, Long dikenakan wajib militer di Wehrmacht (Angkatan Darat Jerman) untuk dikirim ke front terdepan.
Tapi Long tetap berteman dengan Owens. Dia mengirimi Owens sejumlah surat. Suatu hari, Long mengirim surat kepada Owens yang isinya beda dari surat-surat sebelumnya.
“Hati saya mengatakan bahwa ini mungkin surat terakhir selama saya hidup. Jika benar begitu, saya mohon satu hal: Ketika perang selesai, pergilah ke Jerman dan temukan putra saya dan ceritakan tentang ayahnya. Ceritakan tentang masa-masa perang tidak memisahkann kita –dan ceritakan hal-hal yang sebenarnya bisa berbeda antara manusia dan dunia ini. Saudaramu, Luz,” demikian bunyi petikan surat tersebut yang disitir Jeremy Schaap dalam Triumph: The Untold Story of Jesse Owens and Hitler’s Olympic.
Surat itu ternyata menjadi surat wasiat Long untuk Owens. Invasi Sekutu ke Pulau Sisilia, Italia membuat Long luka parah. Dia tewas tak lama kemudian di sebuah rumahsakit darurat militer milik tentara Inggris di Italia pada 10 Juli 1943. Jasadnya lalu dikebumikan di Pemakaman Perang Motta Sant’ Anastasia.
Wasiat Long ditunaikan Owens selepas Perang Dunia II. Pada 1951, Owens berhasil menemukan putra Long, Kai-Heinrich Long. “Saya melihat sosok Luz lagi di wajah putranya,” tandas Owens.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar