Pertamina Digerogoti Korupsi Sejak Dirut Pertama
Korupsi di tubuh Pertamina sudah santer sejak era dirut pertamanya. Kalau sekarang Pertamina main oplosan bahan bakar minyak, dulu menggelapkan laporan keuangan.
MEMASUKI bulan Maret 2025 ini, publik digemparkan dengan berita pengoplosan bahan bakar minyak jenis Pertamax. Yang bikin geger, aksi culas itu justru dilakukan oleh Pertamina, badan usaha milik negara (BUMN) yang mengelola industri minyak bumi Indonesia. Temuan praktik korupsi ini diungkap oleh Kejaksaan Agung, yang menyebut Pertamina melakukan pengoplosan Pertamax (Ron 92) dengan jenis Pertalite (90) yang kadar oktannya lebih rendah. Harga Pertamax diketahui lebih mahal Rp.2.500/liter ketimbang Pertalite.
“Penyidik menemukan bahwa ada RON 90 atau bahkan di bawahnya, yaitu RON 88, yang dicampur dengan RON 92. Jadi, ada praktik blending yang tidak sesuai standar,” jelas Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi persnya 26 Februari 2025, dilansir dari tempo.co.
Indikasi pengoplosan itu mulai merebak setelah banyak pengguna Pertamax mengeluhkan kendaraan mereka jadi rusak dan lebih boros konsumsi bahan bakarnya setelah diisi Pertamax. Atas kelancungan Pertamina itu, menurut taksiran Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, kerugian negara mencapai Rp.193,7 triliun dalam kurun waktu setahun. Angka itu bisa lebih tinggi lagi jika praktik pengoplosan ini ternyata telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya.
Sembilan pejabat tinggi Pertamina telah ditahan untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran ini. Sementara itu, masyarakat, khususnya konsumen Pertamax, merasa geram lantaran selama ini ditipu Pertamina dengan Pertamax oplosan. Bagaimana tidak, di Pertamina, yang dikenal sebagai BUMN bergelimang duit, mereka masih sampai hati mengoplos BBM untuk keuntungan sendiri.
Berkaca dari sejarah, Pertamina memang sarat dengan kasus korupsi, bahkan sejak era direktur utama (dirut) pertamanya, Ibnu Sutowo. Semasa masih bernama Permina, Ibnu disebut-sebut menjalankan perusahaan negara ini seperti perusahaan miliknya sendiri. Pertamina di bawah Ibnu Sutowo pada 1970-an sangat jadi sorotan. Lembaga audit keuangan hampir tidak bisa menyentuh Pertamina. Sementara itu, Ibnu Sutowo dikenal dengan julukan “Raja Minyak” dengan segala kontroversi kehidupan mewahnya.
Kuasa Ibnu Sutowo
Pembentukan Pertamina tak dapat dilepaskan dari sosok Ibnu Sutowo. Dalam Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945—2014, Vishnu Juwono menyebut cikal-bakal Pertamina dimulai pada 1957, ketika tentara mengambil alih ladang minyak tak terpakai di Sumatra Utara dengan dukungan modal dari perusahaan-perusahaan Jepang. Setelah 1966, PT Perusahaan Minyak Nasional (Permina) diambil alih oleh dua perusahaan lain dan diubah namanya menjadi Pertamina yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Ibnu Sutowo.
Selain menjabat dirut Pertamina, Ibnu Sutowo juga juga berkedudukan sebagai dirjen Minyak dan Gas (Migas) di Departemen Pertambangan (kini Kementerian ESDM). Yang menjadi menteri pertambangan saat itu adalah Slamet Bratanata. Ibnu dan Menteri Slamet pernah bersitegang soal prosedur eksplorasi minyak di sepanjang pantai utara Pulau Jawa, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Menteri Bratanata ingin tendernya dilakukan secara terbuka sedangkan Ibnu maunya tertutup hanya kepada beberapa perusahaan minyak asing yang sudah ditentukan.
“Ibnu Sutowo dikabarkan menolak mati-matian gagasan Menteri itu, dan berdaya upaya keras mengundang campur tangan langsung dari Jenderal Soeharto,” diwartakan Mahasiswa Indonesia, Minggu III April 1967.
Baca juga: Permina di Tangan Ibnu Sutowo
Jenderal Soeharto yang menjadi pejabat presiden merangkap ketua Presidium Kabinet Ampera tentu berkolega dengan Ibnu Sutowo sebagai sesama perwira tinggi TNI AD. Lewat wewenangnya sebagai ketua Presidium Kabinet, Soeharto kemudian menempatkan kedudukan Dirjen Migas berada langsung di bawahnya. Dengan demikian, Ibnu Sutowo bertanggung jawab langsung kepada Soeharto dan bukan lagi ke Menteri Slamet. Sementara itu, nasib apes mendera Menteri Slamet. Baru setahun menjabat, Slamet dipecat pada 1967.
Di bawah Ibnu Sutowo, Pertamina jadi perusahaan negara yang berperan penting dalam menyumbang devisa. Selama 1969—1975, pendapatan pemerintah dari minyak naik signifikan dari Rp.66,5 miliar menjadi Rp.957,2 miliar. Pembayaran pajak Pertamina kepada pemerintah meningkat dari 15 persen dari pendapatan domestik pemerintah pada 1967 menjadi lebih dari 50 persen setelah kenaikan harga minyak bumi tahun 1973. Pada saat itulah Pertamina mengalami masa-masa kejayaannya.
Menurut Vishnu, Ibnu Sutowo mendapat peran sebagai penyandang dana politik Presiden Soeharto sekaligus mendistribusikan patronasi melalui pembiayaan “non-bujeter” kepada sekutu mereka di kalangan militer, pejabat pemerintah, serta pengusaha. Jejak Pertamina setidaknya terlihat melalui proyek-proyek negara seperti Rumah Sakit Pertamina dan Bina Graha yang menjadi kantor kepresidenan Presiden Soeharto. Tampilnya Ibnu Sutowo sebagai sponsor bagi Soeharto maupun kepentingan militer mulai intens saat Pertamina berekspansi di tengah periode bom minyak.
Baca juga: Hikayat Minyak Bumi di Pangkalan Brandan
Fenomena bom minyak (oil boom) terjadi ketika ketika kawasan Timur Tengah yang dikenal sebagai penghasil minyak bumi terbesar dilanda krisis akibat Perang Yom Kippur pada 1973. Negara-negara Arab dalam organisasi OPEC mengembargo minyak bumi pada para sekutu Israel. Dampaknya, minyak Indonesia yang diproduksi Pertamina laku keras di pasaran dunia. Pertamina pun mengalami kenaikan produksi dan peningkatan pendatapan yang sangat siginifikan.
Saking banyaknya uang Pertamina, Ibnu Sutowo pernah sesumbar. Dalam suatu pertemuan Rapat Pimpinan (Rapim) TNI, Ibnu menyatakan kesanggupannya untuk menyediakan uang sebesar Rp.19 miliar untuk biaya Pelita (Pembangunan Lima Tahun) II. “Uang sebanyak itu antara lain diambil dari kenaikan harga bensin dan minyak serta dari hasil pertambangan di pantai utara Jawa, yang ternyata mengandung banyak minyak,” demikian dijelaskan Ibnu seperti diberitakan Kompas, 18 Februari 1970.
Indikasi Korupsi
Sejak Pertamina masih bernama Permina, kepemimpinan Ibnu Sutowo sebenarnya sudah cukup banyak mendapat sorotan. Julukan “Si Raja Minyak” melekat pada diri Ibnu yang menjadi simbol hegemoninya atas sektor migas di Indonesia. Kehidupan pribadinya pun tak lepas dari bidikan media, baik pers dalam negeri maupun luar negeri.
Liputan Mahasiswa Indonesia, April 1967, menyoal gaya hidup Ibnu yang sarat dengan kemewahan. Kediamannya di Jl. Tanjung, Menteng, Jakarta Pusat diberitakan berlantaikan marmer. Keran rumahnya bahkan disebut-sebut bersepuh emas. Sementara itu, olahraga golf yang digandrungi Ibnu bisa membuatnya berpindah dari Jakarta ke Pekanbaru dalam sekejap hanya untuk memuaskan minatnya untuk megayunkan stik dan memasukkan bola ke dalam lubang. Sementara itu, tajuk rencana Mochtar Lubis dalam Indonesia, menyebut pergaulan royal ala Ibnu Sutowo. Ibnu, kata Mochtar dalam Indonesia Raya edisi 25 November 1969, tak hitung-hitungan menghadiahi seperangkat alat golf yang berharga mahal pada kolega bisnisnya.
Baca juga: Foya-foya Bos Pertamina Ibnu Sutowo
Namun, publik makin kritis seiring dengan kebijakan Pertamina yang menaikkan harga BBM pada 1970. Kenaikan harga itu menyebabkan mahasiswa turun ke jalan berunjuk rasa. Menteri Penerangan Boediardjo mengatakan, kenaikan harga minyak sebagai penyelamatan terhadap keuangan negara dan sebagai modal pembangunan Irian Barat serta dana pemilu. Namun, penyataan itu tak cukup menangkal kecurigaan masyakat bahwa telah terjadi kebocoran uang negara dalam pengelolaan Pertamina.
Presiden Soeharto menyambutnya dengan membentuk Komisi Empat. Seperti namanya, komisi ini terdiri dari empat orang tokoh negara senior: Wilopo (mantan Perdana Menteri Kabinet Wilopo), I.J. Kasimo (tokoh Partai Katolik), Prof. Ir. Johannes (mantan rektor UGM), dan Anwar Tjokroaminoto (tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia). Sementara itu, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditunjuk sebagai penasihat.
Penyelidikan Komisi Empat menghasilkan temuan mengejutkan. Pertamina terbukti mengemplang pajak sepanjang periode 1958—1963. Antara 1967—1969, setidaknya Rp.6,8 miliar tidak dibayarkan Pertamina kepada pemerintah. Sebagai perusahaan negara, hasil-hasil devisa yang diterima Pertamina tidak pernah ditabung di Bank Indonesia melainkan bank swasta. Selain itu, Pertamina dengan sengaja tidak menyerahkan 55% keuntungannya kepada Dana Pembangunan. Pertamina juga tidak menyerahkan penghasilannya yang didapat dari konsesi perusahaan asing sebesar US$64 juta.
Baca juga: Jatuh Bangun Pemberantasan Korupsi
Bung Hatta sampai menunjuk nama Ibnu Sutowo sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas penyimpangan tata-kelola keuangan Pertamina. Bung Hatta menentang adanya sistem manajemen tunggal (one management) pertama di bawah kepemimpinan dirutnya. Dia menyarankan agar dalam manjemen Pertamina dibentuk dewan direksi sebagaimana perusahaan-perusahaan di negara lain.
“Kalau perlu Presiden dapat turun tangan menghadapi koruptor-koruptor kebal,” kata Bung Hatta dalam wawancara dengan Kompas, edisi 5 Februari 1970.
Untuk itu, Bung Hatta mendambakan keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi dalam tubuh Pertamina. Tapi, tidak ada tindakan serius dari Soeharto atas laporan Komisi Empat tersebut. Ibnu Sutowo tetap menduduki kursi orang nomor Pertamina.
Menurut Harold Crouch, Pertamina dalam praktiknya beroperasi lebih seperti perusahaan swasta yang dijalankan sepenuhnya di bawah kendali Ibnu Sutowo. Urusan keuangan Pertamina pun berselubung kerahasiaan. Neraca keuangan tidak pernah dipublikasikan dan laba yang disamarkan tidak diumumkan.
“Jelas bahwa sebagian besar laba Pertamina, terutama pada tahap awal, tidak pernah ditransfer ke pemerintah,” ungkap Crouch dalam disertasinya yang diterbitkan, The Army and Politics in Indonesia. “Selama Ibnu Sutowo terus menyediakan dana yang dibutuhkan oleh para pemimpin militer, mereka tidak berkepentingan untuk membatasi otonominya dalam menjalankan Pertamina.”
Tak Mau Mengaku
Ibnu Sutowo baru kena batunya setelah Pertamina terlilit utang menggunung. Pada 1975, Pertamina hampir kolaps gara-gara utang ke sejumlah konsorsium bank Amerika mencapai US$10,5 miliar. Ibnu Sutowo yang keblinger bermain proyek penyewaan kapal tanker lewat kredit jangka pendek malah menyebabkan keuangan Pertamina terbelit krisis.
Presiden Soeharto kemudian turun tangan untuk menyelesaikan masalah Pertamina. Kerajaan bisnis Pertamina dibatasi hanya mencakup sektor migas saja. Sementara “sang raja” Ibnu Sutowo akhirnya dipecat dari posisi dirut.
“Sutowo tidak pernah diseret ke pengadilan, walaupun korupsi dalam tubuh Pertamina akhirnya diungkap,” sebut George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa.
Baca juga: Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan
Dalam Kompas, 16 Februari 1977, Ibnu Sutowo secara pribadi tidak merasa bertanggung jawan atas krisis yang terjadi di Pertamina. Sebelum campur tangan pemerintah, kata Ibnu, “Saya bebas untuk melakukan perundingan-perundingan dalam usaha. Saya dapat mengoperasikan Pertamina dengan berhasil. Tetapi sekarang, pembatasan-pembatasan pemerintah membuatnya tak mungkin lagi.”
Kelak, Ibnu Sutowo pun menyangkal tuduhan korupsi yang dialamatkan kepadanya. Dalam otobiografinya yang ditulis Ramadhan K.H., Saatnya Saya Bercerita, Ibnu justru menyalahkan kelompok teknokrat Orde Baru yang dipimpin Menteri Ekuin/Kepala Bapennas Widjojonitisastro. Kelompok itu disebutnya ingin menguasai keuangan Pertamina.
“Saya tidak pernah korupsi,” bantah Ibnu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar