Masuk Daftar
My Getplus

Sebelum Muhammad Ali Unjuk Gigi

Muhammad Ali tak lahir dari keluarga olahragawan. Bakat tinjunya justru ditemukan seorang polisi usai kemalingan sepeda.

Oleh: Randy Wirayudha | 17 Jan 2024
Cassius Marcellus Clay Jr. alias Muhammad Ali (wbaboxing.com)

HARI itu, 17 Januari 1942, di sebuah rumah lima kamar di lingkungan miskin Jalan Grand Avenue 3302 kota kecil Louisville, Kentucky, Amerika Serikat, seorang bayi dengan berat 2,9 kilogram lahir dari rahim Odessa Lee Grady. Bayi itu dinamai menurut nama suaminya, Cassius Marcellus Clay Jr. Kelak, sang bayi jadi idola global, Muhammad Ali.

Cassius kecil merupakan anak sulung dari dua bersaudara pasangan Odessa dan Cassius Marcellus Clay Sr. Keluarga kulit hitam kelas menengah itu hidup dengan ekonomi pas-pasan, di mana Odessa –sebagaimana perempuan kulit hitam kebanyakan– merupakan pembantu rumah tangga dan suaminya seorang pelukis papan iklan sekaligus musisi musiman.

“Bayi Cassius Jr. lahir dengan sangat cantik, sampai-sampai semua orang mengira bayi itu perempuan. Di usia 10 bulan, Cassius Jr. sudah bisa bicara. Ia tumbuh dengan cepat. Ia sangat senang saat dimanja para bibi, paman, dan kakek-neneknya,” ulas jurnalis Tom Stevens di kolom suratkabar Louisville Sun-Times edisi 8 Agustus 1960, “Hometown Boy Loses Bike but Finds His Future”.

Advertising
Advertising

Baca juga: Sudut Ring Leon Spinks

Nama Cassius Jr. –diganti menjadi Muhammad Ali pada 1964 pasca-dirinya menjadi mualaf– mengambil inspirasi dari nama tokoh anti-perbudakan yang sempat menjadi duta besar Amerika untuk Rusia di pertengahan abad ke-19, Mayjen Cassius Marcellus Clay. Buyutnya dari garis ayahnya juga disebutkan merupakan salah satu budak yang dibebaskan oleh Jenderal Clay. Meski begitu, rupanya Cassius kecil juga punya darah orang kulit putih dari garis ibunya.

“Kakek dari garis ayahnya Odessa seorang imigran Irlandia kulit putih bernama Abe Grady yang kemudian menikahi (perempuan kulit hitam) Amanda Walker. Kakek dari garis ibunya (Odessa) merupakan putra dari seorang kulit putih bernama Morehead dan seorang budak perempuan kulit hitam bernama Dinah. Kakek Odessa sempat bertugas di pasukan kulit berwarna Amerika (Union, red.) saat Perang Saudara (1861-1885),” ungkap Nancy J. Hajeski dalam Ali: The Official Portrait of “The Greatest” of All Time.

Sosok ibunda Muhammad Ali, Odessa Lee Grady (Repro: Ali: The Official Portrait of The Greatest of All Time)

Cassius kecil tumbuh menjadi anak yang aktif. Stevens mencatat, Cassius kecil sudah punya sifat penyayang terhadap sesamanya dari ibunya yang rajin membawanya dan adiknya, Rudolph (kelak Rahman Ali), ke gereja Baptist setiap hari Minggu. Cassius kecil juga jadi anak yang pandai bicara.

Namun, tetap saja Cassius kecil menjadi sasaran perundungan dan caci maki rasis lantaran berkulit hitam. Di era itu, rasisme dan diskriminasi masih sangat kental di Amerika, utamanya di Kentucky.

“Suatu ketika ia (Ali kecil) dan ibunya diusir dari sebuah restoran saat memesan segelas air karena di hari itu terik di musim panas. Meski banyak menerima hinaan rasis, ibunya tak pernah mengajarinya untuk membenci orang-orang kulit putih. Berbeda dari ayahnya yang pernah mengatakan padanya, ‘jangan pernah percaya pada orang kulit putih,’” tulis Bayyinah S. Jeffries dalam artikelnya, “The Challenge of Race and Religion in the United States: From Classius Clay to Muhammad Ali” di buku Muhammad Ali in Africana Cultural Memory.

Baca juga: Big George Foreman Menemukan Tuhan di Balik Ring Tinju

Dari banyak peristiwa rasisme dan diskriminasi yang dialami Cassius kecil, peristiwa paling mengena mentalnya yakni saat baru setahun mengenal tinju. Saat itu ia mendengar berita tentang Emmett Till, bocah kulit hitam berusia 14 tahun yang menjadi korban extrajudicial killing atau pembunuhan di luar proses hukum. Emmett diculik, disiksa, dan akhirnya tewas digantung di Drew, Mississippi oleh massa usai Emmett dituduh mencandai dan menggoda seorang perempuan kulit putih.

“Saya berkumpul di pojokan bersama teman-tema saya, melihat dua fotonya di koran dan majalah (khusus) kulit hitam. Di satu fotonya dia tertawa dan tampak bahagia. Di foto lainnya, kepalanya hancur, bola matanya keluar dari soketnya dan mulutnya juga dalam keadaan buruk. Ayah saya juga membicarakannya saat malam hari dan mendramatisir aksi kriminalitas itu,” kenang Ali, dikutip Barbara L. Tischler dalam Muhammad Ali: A Man of Many Voices.

Kebrutalan itu mengubah perangainya. Trauma dan rasa frustrasi akan rasisme dan diskriminasi yang begitu kentara membuat Cassius kecil dan teman-temannya menjadi lebih liar. Mereka bahkan pernah bersama-sama merusak halaman stasiun keretaapi.

Hikmah Kemalingan Sepeda

Suatu hari medio 1954, Cassius yang sudah genap berusia 12 tahun bersepeda untuk cari angin bersama seorang temannya. Di tengah perjalanan, keduanya menengok pameran Louisville Home Show di Columbia Auditorium hanya gara-gara pengunjung pameran diberikan popcorn dan permen gratis.

Sial, saat keluar dari gedung pameran itu, sepedanya hilang. Padahal sepeda bermerk Schwinn berwarna merah dengan ban berwarna putih seharga 60 dolar itu baru dibelikan ayahnya.

“Cassius (Ali kecil) tenggelam dalam kemarahan. Ia pun lapor polisi dan ditemui seorang opsir polisi, Joseph Elsby ‘Joe’ Martin Sr. Masih dalam keadaan marah, ia mengatakan pada Martin bahwa ia akan menghajar si maling sepeda. Martin berseloroh, bagaimana mau menghajar maling jika tidak bisa bertinju,” ungkap Tim Ungs dalam Muhammad Ali and Laila Ali.

Baca juga: Ronde Terakhir Roger Mayweather

Muhammad Ali kecil kala baru mengenal tinju (The Official Portrait of The Greatest of All Time)

Tak dinyana, itu jadi titik balik kehidupan Cassius kecil. Ia pun mau saat ditawari latihan tinju oleh Martin, mengingat sang opsir polisi yang ternyata sosok anti-diskriminasi itu nyambi jadi pelatih tinju di Columbia Gym.

“Pemandangan dan suara dan aroma yang muncul di sasana tinju membuat saya antusias. Saking antusiasnya saya hampir lupa tentang (kehilangan) sepeda. Saya ingat ada 10 petinju di sasana itu. Ada yang memukul speed bag, beberapa di ring melaukan sparring, ada yang lompat tali,” kenang Ali.

Martin pun menjadi pelatih pertama Cassius kecil. Ambisi Cassius kecil jadi petinju kemudian terpupuk berkat program tinju amatir di televisi, “Tomorrow’s Champions”. Orangtuanya mendukung karena aktivitas si bocah jadi lebih jelas sepulang sekolah ketimbang keluyuran di jalanan.

Martin mengenalkan tinju mulai dari teknik-teknik dasar hingga pergerakan khas Ali, “terbang bak kupu-kupu, menyengat bagaikan lebah”. Baru enam pekan dilatih Martin, Cassius kecil sudah melakoni debutnya di level amatir kelas 89 pound melawan Ronnie O’Keefe. Dia menang angka 2-1.

Baca juga: Pencarian Islam Muhammad Ali

Joseph Elsby ‘Joe’ Martin Sr. (kanan) pelatih pertama Muhammad Ali (The Courier-Journal, 31 Januari 1960)

Setelah masuk kompetisi tinju amatir di Turnamen Golden Gloves, Cassius remaja diasuh beberapa pelatih lain. Di antaranya Fred Stoner dan Chuck Bodak.

“Stoner yang memberikan saya latihan-latihan yang sesungguhnya. Mulai dari gaya (bertarung), stamina, dan sistem saya,” tambahnya.

Lebih sering di sasana tinju membuat nilai-nilai akademiknya mulai menukik, terlepas ia sejak kecil mengalami kesulitan belajar karena disleksia. Di jenjang SMA, nilai Cassius remaja nyaris tak pernah lebih tinggi dari “D” di sejumlah pelajaran.

 

“Tetapi di masa itu pula antara usia 12-18 tahun, menjalani 108 pertarungan amatir, di mana hanya delapan di antara hasilnya adalah kekalahan. Momentum ambisinya membawanya ke level nasional dan menantang gelar kelas berat-ringan A.A.U pada 1959 dan kemudian ikut olimpiade pada 1960,” tulis David West dalam The Mammoth Book of Muhammad Ali.

Baca juga: Tinju Kiri Ali di Jakarta

Muhammad Ali (kedua dari kanan) dalam pengalungan medali di Olimpiade Roma 1960 (olympics.org)

Kendati begitu, Cassius muda tetap jadi korban rasisme. Ia sampai membuang medali emas yang ia raih di Olimpiade Roma 1960 ke Sungai Ohio karena ditolak sebuah restoran khusus kulit putih saat bersama temannya hendak bersantap.

Di kemudian hari, tepatnya usai ikut menyalakan obor Olimpiade Atlanta 1996, ia diberikan medali emas penggantinya. Namun terlepas dari kejadian itu, prestasinya di olimpiade memancing perhatian banyak pihak yang ingin menggandengnya menuju gerbang tinju profesional.

“Cassius (Ali) ditawari arloji senilai 400 dolar untuk semua anggota keluarga Clay dari wakil presiden Reynolds Metals Company, Billy Reynolds. Tetapi tawaran kontrak Reynolds dengan bonus 20 ribu dolar ditolaknya karena tawarannya tak meliputi rencana masa depannya. Cassius dan kuasa hukumnya, Alberta Jones, juga menolak tawaran manajemen Floyd Patterson, Cus D’Amato, Pete Rademacher, dan Archie Moore,” imbuh West.

Baca juga: Durán dan Leonard, dari Lawan jadi Kawan

Muhammad Ali dielu-elukan masyarakat kulit hitam Amerika sepulangnya dari olimpiade (wbaboxing.com)

Baru pada Oktober 1960, tawaran dari sebuah konsorsium yang diongkosi 11 miliarder diterima Cassius dan Jones. Dalam kontrak berdurasi enam tahun itu, Cassius mendapatkan bonus 10 ribu dolar setiap pertarungan dan tambahan dua ribu dolar usai debut profesionalnya. Ia juga menerima 50 persen pendapatan keuntungan dari setiap pertarungannya pada empat tahun pertama dan 60 persen di tahun berikutnya.

“Saat Cassius menandatangani kontrak di tahun 1960 itu, ia sudah siap menargetkan ambisi menjadi petinju termuda yang menjadi juara dunia,” tukas West.

Target itu berhasil ia capai ketika mendapat kesempatan menjadi penantang sabuk kelas berat dunia, Sonny Liston, pada 25 Februari 1964. Meski saat itu menjadi underdog, dia berhasil menang TKO di ronde ketujuh dan menjadi juara dunia termuda di usia 22 tahun.

Baca juga: Sengkarut Tinju Profesional

TAG

tinju muhammad ali

ARTIKEL TERKAIT

Mula Duel Selebriti di Arena Tinju Bang Jago Tak Terkalahkan itu Bernama Rocky Marciano Big George Foreman Menemukan Tuhan di Balik Ring Tinju Sudharto Sudiono, Tentara yang Bergiat dalam Tinju Chris John Antara Tinju dan Wushu Tujuh Petinju Beralih Pejabat (Bagian II – Habis) Tujuh Petinju Beralih Pejabat (Bagian I) Pencarian Islam Muhammad Ali Sudut Ring Leon Spinks Durán dan Leonard, dari Lawan jadi Kawan