Perang terus menyertai perjalanan sejarah Vietnam sejak kemerdekaannya pasca Perang Dunia II. Akibatnya, perkembangan sepakbolanya berbeda dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Padahal, menurut Cho Young-han, titik nol sepakbola di Vietnam tak berbeda jauh dari ketiga negara ASEAN di atas atau negeri-negeri Afrika dan Amerika Latin, sepakbola dibawa masuk masing-masing kolonisator mereka.
“Di Afrika sepakbola diperkenalkan para pedagang Eropa. Di Asia biasanya diperkenalkan lewat institusi militer, para misionaris, dan di sekolah-sekolah. Di India sepakbolanya dikenalkan dari para tentara dan misionaris. Di Vietnam oleh militer Prancis. Di Malaysia sepakbolanya dibawa Inggris bersamaan dengan olahraga Barat lainnya. Kolonialis Belanda mengenalkan sepakbola di Indonesia melalui kantor-kantor dagang, militer, dan pegawai sipil,” tulis Cho dalam Football in Asia: History, Culture and Business.
Kendati tidak diketahui pasti kapan pertamakali sepakbola dimainkan di Vietnam, beberapa sumber menyebutkan sepakbola sudah dimainkan di Cochinchina oleh pegawai sipil, pedagang, dan militer kolonial Prancis sejak 1896. Ada pula yang menyebutkan sepakbola baru eksis setelah pergantian abad.
Baca juga: Persipura Mengalah di Vietnam
“Karena sejarah olahraga di Vietnam sampai saat ini tetap dituliskan hanya sebagai bagian kecil dari refleksi yang lebih besar dalam dinamika masyarakatnya yang berubah-ubah. Padahal, tidak banyak yang tahu bahwa sepakbola di Vietnam lebih ‘senior’ (se-Asia Tenggara). Sejarah olahraga di Vietnam acap jadi tema marjinal dan kalaupun dituliskan oleh beberapa penulis tidaklah lengkap,” kata Agathe Larcher-Goscha dalam Du Football au Vietnam (1905-1949): Colonialisme, Culture, Sportive et Sociabilités en Jeux.
Saigon, ibukota Cochinchina (Vietnam Selatan) semasa Fédération Indochinoise (Indocina Prancis), sebagai kota terbesar dan tersibuk memungkinkan sepakbola bisa lebih populer dari tempat-tempat lain saat diperkenalkan kolonialis Prancis. Pertandingan sepakbola pertama yang tercatat dimainkan di Cochinchina antara tim militer Prancis kontra Inggris, sebagai jamuan tuan rumah atas kedatangan kapal penjelajah Angkatan Laut Inggris HMS King Alfred pada medio 1905.
Klub Pertama
Pada 1906, perhimpunan olahraga tertua di Vietnam Cercle Sportif Saigonnais (CSS) mendirikan tim sepakbola dengan nama sama. Tim amatir itu tercatat sebagai tim sepakbola pertama di Vietnam.
“Cercle Sportif Saigonnais sudah berdiri sejak 1902 yang menaungi banyak aktivitas olahraga dalam satu wadah walau sejak 1890-an sudah ada klub-klub anggar dan angkat besi yang berdiri sendiri di Rue Lagrandière,” terang Albert Oriol dalam Le Sport au Vietnam.
Tim CSS meniru sistem, manajemen, maupun peraturan sepakbola baku dari Prancis yang diperkenalkan E. Breton, anggota L’Union des Sociétés Français des Sports Athlétiques. Breton kemudian dipilih para anggota tim menjadi ketua CSS.
Baca juga: Saatnya Belajar dari Sepakbola Jepang
Pemain dan pengurus CSS terdiri dari pedagang asal Prancis, Swiss, dan Inggris. Mereka kemudian menyewa lapangan di stadion milik militer Prancis. Selain militer Prancis, CSS acap menggelar laga melawan tim-tim militer negara lain yang datang silih-berganti ke pelabuhan Saigon. Pertandingannya sering terbuka untuk umum sehingga menularkan antusiasme sepakbola yang sama kepada anak negeri.
“Seiring waktu tim-tim baru bermunculan di Saigon: Athletic Club yang berisi para pegawai perusahaan swasta, Tabert Club oleh para pelajar Eurasian (blasteran Eropa-Asia) dari institusi gereja, Chinese Sporting Club dari golongan orang-orang China, dan klub orang lokal, Gia Đinh Sport,” sambung Larcher-Goscha.
Sejak 1906 itu pula sepakbola merambah Tonkin dan Annam. Geliatnya kemudian meningkat dengan kemunculan klub-klub amatir pada medio 1915, selaras dengan didirikannya komisi olahraga di tiga wilayah itu.
Baca juga: Serumpun yang Berseteru di Lapangan
Pada medio 1915, klub-klub lokal pun bermunculan di Cochinchina, Annam, maupun Tonkin dengan Cochinchina sebagai yang terbesar. Larcher-Goscha mencatat, hingga pecahnya Perang Dunia II, sebanyak 67 klub eksis di Cochinchina, 16 di Tonkin, dan lima di Annam. Mereka umumnya saling “adu kuat” lewat laga persahabatan yang dimainkan tanpa perlengkapan memadai.
“Para pesepakbola kami (lokal) yang sebagian besar tak pernah menyentuh bola dengan kaki, tentunya punya kekurangan pengetahuan aturan sepakbola. Kami sering bermain tanpa sepatu. Lebih sering ada yang terjatuh ketimbang tendangan-tendangan yang bagus dan pertandingannya bukannya menarik justru cenderung lucu,” kenang pemain veteran klub lokal kepada suratkabar L’Écho Annamite edisi 14 Oktober 1925.
Baca juga: Jalan Panjang Piala Dunia Kaum Hawa
Kompetisi di Vietnam baru eksis pada 1914, yakni Kejuaraan Cochinchina. Kompetisi ini diikuti tim-tim bentukan orang Eropa di selatan Vietnam. Baru pada 1920 banyak kompetisi lain bermunculan. Tak hanya diikuti klub-klub lokal, kompetisi-kompetisi itu juga diikuti klub-klub asal Laos dan Kamboja, seperti Championnats Héraut, Coupe de la Ville de Cholon, Coupe de l’Armistice, Challenge Khoa HocTap Chi, dan Coupe Nguyen ChieuThong.
Uniknya, sepakbola di Vietnam juga digemari kaum perempuan. Vietnam jadi salah satu pionir sepakbola putri di Asia. Tim putri pertamanya, Cái Vồn, berdiri pada 1932 dan diikuti Rach Giá Sport pada 1933.
Terbelah Dua
Pada masa Perang Dunia II, aktivitas sepakbola di Vietnam mati suri. Kondisi tersebut berlanjut ke masa berikutnya, di mana Perang Indocina melumpuhkan banyak sendi kehidupan.
Setelah Vietnam dibagi menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan dalam Konferensi Jenewa (26 April-20 Juli 1954), di Saigon berdiri Asosiasi Sepakbola Republik Vietnam pada 1949 dan di Hanoi berdiri Asosiasi Sepakbola Republik Demokratik Vietnam pada 1954.
“Induk sepakbolanya terbagi dua, Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, di mana keduanya sama-sama mencari pengakuan akan identitas nasional mereka dan masing-masing mengklaim sebagai yang paling unggul. Referensi tentang masa lalu sepakbola mereka di masa kolonial tak lagi diakui dan terhapus seiring bertahun-tahun dalam situasi perang,” terang Larcher-Goscha.
Keduanya asosiasi itu diakui AFC walau kemudian hanya Vietnam Selatan yang diterima masuk jadi anggota FIFA. Maka, hanya Vietnam Selatan yang tercatat pernah ikut kualifikasi Piala Dunia (1974) selain Piala Asia (1956 dan 1960), dan Asian Games (1951, 1954, 1958, 1962, 1966, dan 1970).
Baca juga: Roman Sepakbola Negeri Jiran
Sementara, kendati diakui AFC, Vietnam Utara tak pernah ikut Piala Asia maupun Asian Games. Dua perhelatan internasional yang pernah diikuti Vietnam Utara adalah Ganefo (Games of the New Emerging Forces) I di Jakarta pada 1963 dan Ganefo II di Pnom Penh pada 1967. Sisanya, mayoritas laga yang dimainkan Vietnam Utara hanya laga persahabatan dengan sesama negara kiri, seperti laga kontra RRC, Kamboja, Korea Utara, dan Kuba.
Walau perang mulai reda sejak 1976, pemerintah Vietnam belum punya banyak perhatian pada sepakbola. Reformasi Đổi Mới yang menghasilkan pembentukan induk baru, Federasi Sepakbola Vietnam (VFF), pada Agustus 1989 –dengan Wakil Menteri Olahraga Trịnh Ngọc Chữ sebagai presiden pertamanya– tak serta-merta membuat perubahan besar dalam persepakbolaan Vietnam. Pada 1976 bahkan dua asosiasi sepakbola Vietnam gulung tikar.
Perhatian serius pada sepakbola baru diberikan pemerintah Vietnam pada 1989. Kendati begitu, persepakbolaan masih belum beranjak jauh. Liganya acap dibelit skandal, timnasnya pun kerap jadi bulan-bulanan tim seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Kebijakan terbuka yang mengizinkan keterlibatan pemain dan pelatih asing sejak tahun 2000 belum bisa memberikan kemajuan sesuai ekspektasi.
Baca juga: Piala AFF, Turnamen Para Jawara Asia Tenggara
Baru setelah mengetahui pangkal permasalahannya pada mentalitas di bidang pembinaan pemain usia dini, VFF berupaya berbenah pada awal 2007 dengan menggandeng klub top Inggris Arsenal FC dan sekolah sepakbola Prancis JMG Academy. Kerja sama itu menghasilkan pusat pelatihan HAGL-Arsenal JMG Academy di Pleiku yang infrastrukturnya berstandar internasional.
Hasilnya, pada 2007 timnas Vietnam mampu mencapai perempatfinal Piala AFF –yang diulangi pada 2019. Pada 2018, Vietnam berhasil menjuarai Piala AFF dan setahun kemudian merebut medali emas cabang sepakbola SEA Games.
“Akademi (HAGL-Arsenal JMG) memberikan para pemain mindset yang benar, kekuatan fisik dan determinasi untuk bicara banyak di Asia. Kami semua berharap dan percaya Vietnam akan jadi negara sepakbola kuat di masa mendatang,” kata Nguyễn Công Phượng, pemain timnas Vietnam jebolan HAGL-Arsenal JMG, dikutip Esquire, 15 Juni 2018.