SIKAP tak mau kalah itu perlu dalam berkompetisi di sebuah pertandingan olahraga. Namun, ia mesti tetap dalam trek sportivitas. Kalau kalah, ya mesti diakui. Jangan malah mengamuk dan melampiaskannya ke suporter lawan.
Sikap tidak sportif itulah yang dilakoni sejumlah oknum suporter Indonesia terhadap suporter Malaysia usai Indonesia dikalahkan Malaysia 2-3 dalam laga perdana kualifikasi Piala Dunia 2022 Grup G Zona Asia, Kamis (5/9/2019) malam. Sejumlah suporter norak justru memicu provokasi saat laga masih berlangsung. Sekira 100 suporter tim tamu yang menamakan diri “Ultras Malaya” di Tribun VIP Barat, sudah mulai dihina dan dilempar botol air mineral dari beberapa tribun berdekatan yang disesaki suporter Indonesia.
Celakanya, di sana ada Menpora Malaysia Syed Saddiq Syed Abdul Rahman yang memilih nonton bersama warganya. Ia bersama suporter Malaysia akhirnya harus dievakuasi via lorong pemain.
Perilaku memalukan suporter Indonesia itu mencederai nama baik negeri lantaran disorot beberapa media asing. Lantas, bagaimana sikap PSSI?
Mengutip Bolalob, Jumat (6/9/2019), Sekjen PSSI Ratu Tisha Destria mengaku salah dan pasrah, namun tiada permintaan maaf yang keluar dari mulutnya. Padahal, FAM (Induk sepakbola Malaysia) mengancam melaporkannya ke FIFA. Lewat situs resminya, fam.org.my, FAM kecewa dengan ketidakbecusan PSSI mengantisipasi insiden yang sebetulnya acap terjadi kala kedua negeri serumpun itu bersua di lapangan.
Permintaan maaf hanya keluar dari Menpora RI Imam Nahrawi saat bersua Menpora Malaysia di pagi pasca-insiden. “Menpora menyampaikan permintaan maaf atas nama pemerintah Indonesia dan memastikan proses hukum terhadap oknum akan diproses secara tegas,” demikian dinyatakan Kemenpora di akun Twitter @KEMENPORA_RI, Jumat (6/9/2019).
Baca juga: Roman Sepakbola Negeri Jiran
Sikap norak dan tak terima kekalahan semacam itu menunjukkan sifat inferior dan kekerdilan jiwa dalam menerima kenyataan. Nyatanya, dalam beberapa hal negeri jiran itu memang lebih maju ketimbang Indonesia. Tengok saja kesiapan dalam menghelat sebuah kejuaraan internasional. Indonesia baru akan bersaing dalam memperebutkan kepercayaan FIFA untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2021.
Kabar itu didapat setelah PSSI mengajukan diri. Berhasil atau tidaknya baru akan diumumkan di rapat Dewan FIFA di Shanghai pada 23 Oktober mendatang. Untuk keluar menjadi pemenang, Indonesia mesti bersaing dengan Peru, Brasil, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Bahrain.
Dalam soal ini, Indonesia jelas tertinggal jauh dari Malaysia. Negeri jiran itu sudah sukses menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 1997. Kala itu turnamennya masih bernama Kejuaraan Dunia Yunior.
Namun, tak semua hal dimenangi Malaysia. Dari statistik head to head Indonesia kontra Malaysia dalam pertemuan resmi yang berjumlah 96 pertandingan, Indonesia menang di 39 laga, sementara Malaysia baru menang di 36 laga. Pemain Indonesia juga lebih banyak berkiprah di Malaysia. Sedikitnya 17 pemain Indonesia pernah berkarier di Malaysia, sementara hanya Safee Sali pemain Malaysia yang berkarier di Indonesia.
Prestasi di tingkat senior pun, sebagaimana diakui pemerhati bola sepak Malaysia Lucius Maximus mengakuinya dalam How Malaysia Never Reach the World Cup: Harimau Malaya’s 40-Year Chronicle of Failure, Indonesia lebih baik dari Malaysia. Hingga 2014, Malaysia stuck di peringkat ke-25 AFC dan masih banting tulang untuk mencapai 10 besar.
“Di antara tim-tim Asia Tenggara, hanya Indonesia yang pernah mencapai Piala Dunia, meski sebagai tim Hindia Belanda di edisi Piala Dunia 1938. Walau juga tetangga kami itu pulang sangat awal setelah dikalahkan 0-6 oleh Hungaria yang saat itu dijuluki ‘The Magnificent Magyars’,” ungkap Lucius.
Namun, dalam soal prestasi Malaysia tampak mulai menyalip Indonesia. Jangankan di Asia, di Asia Tenggara saja “sang adik” sudah lebih baik. Di SEA Games, misalnya, Malaysia sudah mengantongi tiga emas cabang sepakbola (1977, 1979, 1989). Indonesia baru dua (1987, 1991).
Di ajang Piala AFF (sebelumnya Piala Tiger), Malaysia sekali mencicipi gelar juara pada 2010. Sedangkan Indonesia baru lima kali jadi finalis (2000, 2002, 2004, 2010, 2016).
Politik dan Rivalitas Kedua Bangsa
Mulanya, persaingan Indonesia dan tetangganya di lapangan hijau tetap dalam suhu normal. Presiden Sukarno bahkan menjuluki timnas Malaya dengan “Harimau Malaya”. Julukan itu keluar dari mulut Sukarno setelah dia terpukau pada permainan Dollah Don, pesepakbola Malaysia asal Johor, dalam laga melawan Persija pada 1953.
“Sukarno menjuluki dia sebagai ‘Harimau Malaya’ setelah dia mencetak hattrick melawan klub raksasa Persija di Jakarta pada 1953,” tulis New Strait Times dalam obituari Dollah Don pada 24 Desember 2014.
Baca juga: Percikan Awal Sebuah Konfrontasi
Politik-lah yang menjadi sumber rivalitas panas Indonesia-Malaysia di lapangan. Proklamasi beridirinya Malaysia oleh Tunku Abdul Rahman membuat Sukarno berang dan mencapnya sebagai neo kolonialisme. Seruan “Ganyang Malaysia” pun dikeluarkan Sukarno. Akibatnya, banyak segi kehidupan dalam hubungan kedua negara terjangkit sentimen nasionalisme. Sepakbola salah satu yang terparah.
Tak ada asap jika tak ada api. Sukarno menyerukan “Ganyang Malaysia” bukan tanpa sebab. Perkara sebelumnya gegara demo anti-Indonesia di depan KBRI Kuala Lumpur, September 1963. KBRI diserbu dan pendemo merobek-robek foto Sukarno. Lambang Garuda di KBRI dirusak Massa juga sempat membawa lambang Garuda itu dan memaksa PM Tunku Abdul Rahman menginjak-injaknya.
Baca juga: Sepucuk Surat PM Malaysia untuk PSSI
Kendati begitu, normalisasi hubungan kedua negara pada 1967 berhasil meredakan tensi tinggi hubungan kedua negara. Indonesia membuktikannya dalam gelaran Merdeka Games pada Oktober 1969. Mulanya, Indonesia sekadar ingin mengirim timnas “kelas dua”. Namun karena ada permohonan Malaysia, PSSI berkenan mengirim timnas utama demi memulihkan citra Malaysia pasca-kerusuhan rasialis beberapa bulan sebelumnya.
Toh, bara yang terlanjur menyala belum benar-benar padam. Hingga kini sentimen nasionalisme masih kuat ketika Indonesia-Malaysia bertemu di lapangan. Laga terakhir menjadi bukti.