DI bawah guyuran hujan, ratusan pelajar dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas adu kebolehan di atas panggung. Mereka berusaha tampil atraktif dan penuh semangat dalam memainkan angklung. Berlompatan di atas panggung, atau melompat sambil memukulkan dua kentongan bambu sehingga menghasilkan tampilan unik.
Bukan hanya permainan musik yang rancak. Mereka juga beradu menebak dan menembang gending (lagu) asli Banyuwangi seperti Thong-thong Bolong, Padang Ulan, Mak Ucuk, Pethetan, Bang Cilang-Cilung, Peteg-peteg Suku, dan Untring-untring. Tak ketinggalan pula jogedan dan celotehan-celotehan lucu yang mengocok perut penonton.
Para penonton pun senang dan tertawa menyaksikan aksi para peserta Festival Angklung Caruk Pelajar di Gesibu, Banyuwangi, awal 2018.
Angklung caruk adalah salah satu kesenian khas yang tumbuh di masyarakat Banyuwangi. “Caruk” artinya bertemu. Sekurang-kurangnya dua kelompok saling caruk untuk bertanding memainkan angklung. Mereka juga memiliki suporter untuk memberi dukungan jagoannya dan menjatuhkan mental lawan. Festival Angklung Caruk merupakan salah satu acara yang masuk dalam agenda wisata tahunan Banyuwangi Festival.
Baca juga: Keindahan yang Terjaga dari Hutan Tua
Setelah angklung caruk, beberapa bulan kemudian giliran Festival Angklung Paglak digelar di hamparan hijau Bandara Banyuwangi. Dalam festival ini, para pemusik berusaha menghasilkan alunan musik yang terbaik. Mereka unjuk kemahiran memainkan angklung di atas paglak atau menara bambu. Semakin kencang pukulannya, menara bambu ikut bergoyang kian kencang. Inilah ciri khas kesenian ini.
”Angklung paglak adalah salah satu kesenian tertua di Banyuwangi. Ini kearifan lokal warga yang luar biasa. Kita ingin menunjukkan bahwa kearifan lokal bukan masa lalu, tapi masa depan,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas di laman Pemkab Banyuwangi.
Ekspresi Pak Tani
Banyak orang mengenal angklung berasal dari daerah Jawa Barat. Alat musik bambu yang kini terdaftar sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO ini lekat dengan orang Sunda. Namun, angklung ternyata juga berkembang di ujung timur Jawa.
Jika angklung Sunda dijinjing dan digoyang untuk memainkannya, angklung Banyuwangi harus diletakkan atau disangga dengan perut dan dimainkan dengan cara dipukul. Ukurannya juga lebih besar dan terdiri dari dua angklung yang berpasangan. Penyangganya berukir naga atau kepala Gatotkaca.
Baca juga: Menemukan Wong Osing
Tak diketahui sejak kapan angklung muncul, baik di tatar Sunda maupun Banyuwangi. Alat musik bambu memang telah digunakan dalam berbagai kebudayaan Nusantara pra-Hindu. Berkembang di berbagai daerah dan menemukan bentuknya sendiri.
Paul Arthur Wolbers dalam “Gandrung and Angklung from Banyuwangi: Remnants of a Past Shared with Bali” di jurnal Asian Music Vol. 18 No. 1 tahun 1986 menyebut instrumen bambu di Banyuwangi awalnya berbentuk seperti kentongan yang dipasang pada paglak. Kentongan ini digunakan sebagai alat komunikasi antardesa serta untuk mengusir harimau dan hantu.
Bambu sebagai alat musik tampaknya kemudian digunakan dalam upacara panen padi. Perkusi bambu menjadi pengiring ritual sekaligus hiburan bagi para petani. Sedangkan dari bentuknya, Wolbers menyebut angklung Banyuwangi memiliki hubungan dengan gamelan angklung dari Bali.
“Beberapa xilofon bambu ada di Jawa, tapi tak ada yang mendekati bentuk keseluruhan dari angklung Banyuwangi. Satu-satunya instrumen yang terlihat mirip adalah grantang langka dari Bali,” sebut Wolbers. Grantang pernah memainkan peran dalam angklung gamelan Bali yang dapat dibandingkan dengan orkestra angklung dari Banyuwangi.
Kemunculan kesenian angklung tak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Osing saat musim panen. Alat musik dari bambu dimainkan di atas paglak sebagai undangan dari pemilik sawah kepada warga agar ikut membantu sekaligus menghibur para petani. Selain itu, alunan musik angklung juga berguna untuk mengusir burung.
Baca juga: Temu Legenda Banyuwangi
Menurut Budhisantoso dkk dalam Pola Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Using di Kabupaten Banyuwangi Propinsi Jawa Timur, masyarakat Osing menyebut tradisi saat panen itu sebagai upacara “ngampung”. Para petani yang mampu biasanya nanggap kesenian “angklung sawahan” atau istilah yang lebih populer angklung paglak.
“Kesenian ‘angklung sawahan’ ini dipertunjukkan di lokasi sawah yang sedang panen sehingga menambah suasana gembira dan semangat kerja bagi pemanen,” tulis Budhisantoso dkk.
Ragam Angklung
Dari permainan yang sederhana, angklung berkembang menjadi sebuah kesenian yang bisa digunakan untuk mengiringi sebuah tarian. Di Desa Kemiren, terdapat dua jenis kesenian angklung, yakni angklung pelangi sutra dan angklung caruk.
Angklung pelangi sutra menampilkan tarian yang dibawakan beberapa orang dan diselingi lawakan –juga sandiwara bila diminta. Sedangkan angklung caruk mempertandingkan kebolehan para pemain dari sekurang-kurangnya dua kelompok seni. Dalam angklung caruk juga disajikan tarian seperti tari jangeran, tari gandrungan, cakilan, hingga kuntulan.
Menurut Wolbers, latar belakang angklung caruk dapat ditemukan dalam beberapa tradisi yang telah punah. Salah satunya adalah tarian tarung menggunakan tongkat rotan yang dimainkan selama musim kemarau di beberapa daerah di Jawa Timur. Permainan ini diiringi oleh sekolompok pemusik.
Baca juga: Ketika Orang Mandar Berlabuh di Banyuwangi
Di dekat Banyuwangi, pernah pula terdapat gitikan, hiburan yang menampilkan dua lelaki berusaha saling memukul dengan cambuk panjang terbuat dari serat daun kelapa. Pertunjukan itu diiringi oleh dua angklung yang repertoar musiknya sama dengan gandrung.
“Kebiasaan lain yang mungkin telah berkontribusi pada angklung caruk ditemukan dalam apa yang Pigeaud sebut prang desa, ‘perang desa’," sebut Paul Arthur Wolbers dalam “Account of Angklung Caruk July 28, 1985” di jurnal Indonesia April 1987.
Ayu Sutarto dalam makalahnya pada acara Jelajah Budaya berjudul “Sekilas tentang Masyarakat Using” menyebut angklung caruk berasal dari kesenian legong Bali.
“Kecepatan irama musik dan lagu-lagu yang dimainkannya sangat dipengaruhi oleh nuansa musik angklung ritmis dari Bali. Namun dalam kesenian ini terdapat juga perpaduan antara nada dan gamelan slendro dari Jawa yang melahirkan kreativitas estetik,” tulis Ayu.
Namun, Ayu memasukkan angklung caruk sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai “angklung daerah” yang bisa dipakai untuk mengiringi gending (lagu) dan tari. Jenis angklung daerah adalah angklung paglak, angklung caruk, angklung tetak, angklung dwi laras, dan angklung Blambangan.
Baca juga: Masjid di Jantung Banyuwangi
Angklung tetak merupakan pengembangan dari angklung paglak, dengan perubahan pada bahan instrumen dan nada. Angklung dwi laras merupakan pengembangan dari angklung tetak. Disebut angklung dwi laras karena angklung jenis ini menggabungkan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro. Sementara angklung Blambangan merupakan pengembangan terakhir angklung di Banyuwangi.
Ada beberapa gending yang biasa dimainkan dalam angklung daerah. Antara lain Jaran Ucul, Tetak-tetak, Gelang Alit, Mak Ucuk, Sing Duwe Rupo, Congoatang, Ulan Andung-andung, Mata Walangan, Ngetaki, Selendang Sutera, dan Padhang Ulan.
Angklung dan Genjer-genjer
Ada varian kesenian angklung yang pernah berkembang pada 1950-an. Ia disebut angklung modern tapi lebih dikenal sebagai genjer-genjer. Nama ini bukan hanya merujuk pada judul lagu Genjer-genjer. Melainkan digunakan sebagai sebutan untuk setiap gubahan dari sebuah kelompok angklung bernama Sri Muda. Bahkan Sri Muda sebagai kelompok musik pun sering disebut sebagai Genjer-genjer.
Dalam Lekra Tak Membakar Buku, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan menyebut, Sri Muda merupakan kelompok angklung modern yang populer pada 1950-an hingga 1960-an. Ia bermula dari organisasi yang bergerak di bidang khusus angklung caruk yang dibentuk tahun 1954 dengan nama Sri Tanjung. Dari Sri Tanjung, lahir konsepsi musik angklung baru.
Kematangan revolusioner Sri Tanjung kian meluas dan membumi. Mereka mendorong para pemuda untuk menggunakan angklung sebagai senjata dalam bermusik.
Baca juga: Sri Tanjung: Kisah Eksorsisme di Ujung Timur Jawa
“Sri Tanjung pun lebur menjadi Sri Muda (Seni Rakyat Indonesia Pemuda). Lagu-lagu yang dibawakannya, terutama ciptaan Arief (Muhammad Arief, pencipta lagu Genjer-genjer, -red), masih disukai. Bukan saja karena iramanya yang khas, tapi juga isinya progresif,” sebut Rhoma dan Muhidin.
Lagu Genjer-genjer menjadi yang paling populer. Dari situlah Genjer-genjer bergeser menjadi sebutan konsepsi angklung modern Sri Muda dan sebutan untuk Sri Mudanya sendiri.
Pada 1960-an berkembang pula tarian padangulan atau kadang disebut tari angklung. Diciptakan dari kebiasaan masyarakat Banyuwangi, terutama yang berdiam di sekitar pantai, beramai-ramai keluar rumah dan berjalan-jalan di pantai bila bulan purnama. Gerak dasar tarian banyak mengambil unsur pada pertunjukan gandrung, baik dari penari gandrung maupun pemajunya. Ditarikan anak laki-laki dan perempuan dengan perpasangan. Jumlah pasangan tidak terbatas.
Menurut buku Ensiklopedi Tari Indonesia, tarian padangulan dipopulerkan tahun 1964. Semula digarap Wim Arimaya, seorang penari di daerah itu. Pada mulanya banyak mengambil unsur-unsur gerak tarian Melayu. Lalu disempurnakan hingga mencapai bentuknya sekarang oleh seniman-seniman tari muda, antara lain Sumitro Hadi.
Baca juga: Penghormatan dari Para Pemetik Laut
Setelah 1965, stigma negatif membuat redup dunia perkembangan kesenian angklung di Banyuwangi. Namun perlahan ia kembali muncul dan populer sebagai hiburan atau tontonan pada acara hajatan seperti perkawinan, khitanan, atau perayaan lainnya.
Kini, lebih dari setengah abad setelah masa kejayaan angklung modern, berbagai festival angklung diadakan di Banyuwangi. Dari Fertival Angklung Caruk Pelajar hingga Festival Angklung Paglak yang dimainkan di atas menara bambu paglak diadakan untuk membangkitkan kembali tradisi angklung dari timur ini.
Angklung paglak khas Banyuwangi yang telah mendarah daging nantinya juga melahirkan kesenian musik lokal semacam Kendang Kempul.