DENGAN penuh harap Sri Tanjung menanti Sidapaksa pulang. Suaminya telah sepekan pergi ke surga demi menjalankan perintah Prabu Hadikrama. Namun bukannya berbalas rindu, Sri Tanjung justru ketakutan karena suaminya pulang dengan amarah.
Menurut Sidapaksa, Raja Sulakrama telah memergoki Sri Tanjung bermesraan dengan laki-laki lain ketika ia bertugas. Sidapaksa tetap tak percaya ketika Sri Tanjung memberitahu bahwa justru Raja Sulakrama yang hendak memperkosanya.
Sri Tanjung lalu diajak ke Hutan Setra Gandamayu. Rambutnya ditarik dari belakang. Di tangan kanan suaminya, tergenggam sebilah keris.
“Apabila darah saya berbau harum, maka benarlah kalau saya istri yang betul-betul setia kepada suami,” ucap Sri Tanjung sebelum keris sang suami membunuhnya.
Darah Sri Tanjung ternyata wangi. Sidapaksa langsung menyadari kesalahannya dan menyesal. Ia menjadi gila, memohon kepada dewa agar istrinya dihidupkan kembali.
Jiwa Sri Tanjung ketika itu sudah mencapai alam kematian. Ia telah menyeberangi sungai dibantu seekor buaya putih.
Tapi ia bertemu Dewi Durga, yang menghidupkannya kembali usai mendengar kisahnya. Ia dipulangkan ke rumah kakeknya, pertapa Tambapetra. Di sanalah akhirnya ia ditemukan kembali oleh Sidapaksa.
Sri Tanjung diminta kembali hidup bersama sang suami. Sri Tanjung yang tadinya malas akhirnya bersedia. Syaratnya Sidapaksa membawakan kepala Raja Sulakrama. Ia akan menjadikannya alas kaki.
Syarat itu dipenuhi. Kesumat Sri Tanjung terbalaskan. Sri Tanjung dan Sidapaksa kembali hidup bersama.
Begitulah kisah Sri Tanjung yang digubah dalam bentuk kidung dan hadir dalam banyak manuskrip. Salah satu versinya pernah dipentaskan secara teatrikal dalam Banyuwangi Ethno Carnival yang masuk rangkaian Banyuwangi Festival 2016. Masyarakat Banyuwangi percaya kalau Sri Tanjung dan kisahnya benar-benar pernah terjadi.
Baca juga: Menak Jingga yang Ganteng
Menurut Anis Aminoedin dkk dalam Penelitian Bahasa dan Sastra dalam Naskah Cerita Sri Tanjung di Banyuwangi, sebagaian masyarakat meyakini beberapa tempat di Banyuwangi berkaitan dengan kisah itu. Misalnya daerah Penataban. Wilayah ini dulunya lokasi Sidapaksa natab-natab atau membentur-benturkan kepalanya akibat gila karena membunuh istrinya. Lalu Desa Kramasan dianggap sebagai tempat keramas Sri Tanjung sebelum ia dibunuh. Adapun Desa Tanjung, yang letaknya beberapa kilometer ke arah selatan Kota Banyuwangi, merupakan tempat asal Sri Tanjung.
Hingga saat ini pun terdapat sumur yang dikenal luas sebagai Sumur Sri Tanjung di belakang Pendopo Shaba Swagata Blambangan, rumah dinas Bupati Banyuwangi. Menurut masyarakat ini adalah lokasi jasad Sri Tanjung diceburkan setelah dibunuh.
Konon, sumber mata air itu mengeluarkan wangi sebagai bukti kesetian Sri Tanjung. Itulah yang kemudian dipercayai masyarakat sebagai asal-usul nama Banyuwangi, yaitu "banyu" yang berarti air dan "wangi" yang berarti harum.
“Masih ada tempat-tempat lain yang dihubung-hubungkan dengan cerita Sri Tanjung. Karena sangat percayanya, cerita ini dianggap tabu untuk dipentaskan di berbagai media seni, seperti ludruk, ketoprak, atau drama,” catat Anis Aminoedin.
Tak cuma di Banyuwangi, cerita Sri Tanjung yang punya banyak versi itu dikenal di beberapa daerah. Kisah ini bahkan sudah lebih dulu populer sejak berabad lalu oleh orang-orang Majapahit.
Dari Majapahit ke Banyuwangi
Filolog R.M. Ng. Poerbatjaraka dalam Kapustakan Djawi menyebutkan kalau kisah Sri Tanjung juga dikenal di Bali. Sementara Prijono dalam disertasinya Sri Tanjung, Een Oud-Javaansch Verhall mendata ada 22 versi naskah yang berasal dari Bali dan Banyuwangi.
Satyawati Suleiman dalam Batur Pendopo Panataran mencatat arkeolog Belanda P.V. van Stein Callenfels pernah menyebut kalau kisah Sri Tanjung bersama Sudamala termasuk dalam kesusastraan Aliran Banyuwangi. Ini merupakan aliran yang menurutnya pernah berkembang pada abad ke-17 dan ke-18, yakni ketika Kerajaan Blambangan belum mengenal Islam.
Kisah Sri Tanjung itu berkembang berdasarkan sebuah cerita yang sudah lebih dulu ada pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini, berdasarkan sumber Serat Pararaton, pada masa pemerintahan Kalagemet atau Jayanagara (1309-1328) memperluas kekuasaannya ke bagian timur Jawa, menembus area dari Lumajang hingga ke timur, termasuk Blambangan.
Baca juga: Perlawanan Jagapati sebagai Hari Jadi Banyuwangi
Pada masa keruntuhan Majapahit abad ke-15, Blambangan berdiri sebagai satu-satunya kerajaan Hindu di Jawa. Ia mengontrol wilayah Ujung Timur Jawa. Wilayah ini kini terbagi dalam lima kabupaten, yakni Banyuwangi, Jember, Lumajang, Bondowoso, dan Situbondo.
Pada masa Majapahit, kisah Sri Tanjung ditemukan dalam beberapa relief candi. Antara lain Candi Jabung di Probolinggo yang berangka tahun 1354. Ditemukan pula pada Batur Pendapa Panataran di Blitar yang terdapat angka tahun 1375. Lalu pada dinding Candi Surawana di Kediri yang tak berangka tahun namun diperkirakan dibangun pada 1400 atau 12 tahun setelah kematian Bhre Wengker, paman Raja Hayam Wuruk yang didharmakan di candi ini.
Kisah Sri Tanjung dalam relief dikenali dari penggambaran seorang gadis yang duduk di atas seekor ikan besar. Gambar ini mengingatkan pada satu bagian dari cerita versi teks yang menceritakan Sri Tanjung dibawa buaya putih menyeberangi sungai ke alam kematian.
“Pada relief-relief di Jawa Timur tak terdapat seekor buaya yang ditumpangi perempuan. Mungkin para pemahat pada waktu itu lebih suka menggambarkan seekor ikan daripada seekor buaya,” kata Satyawati.
Baca juga: Keindahan yang Terjaga dari Hutan Tua
Sementara Lydia Kieven dalam Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit berasumsi ikan merupakan bagian dari kisah Sri Tanjung versi lisan yang lebih tua, atau mungkin versi tulis yang sudah hilang.
Tak menjadi soal kalau cerita pada relief seakan menyimpang dari naskah. Kidung Sri Tanjung ini adalah salah satu cerita yang digubah pada periode Jawa Timur tanpa bergantung pada sumber India. Dari tradisi lisan, cerita ini mewujud dalam penggambaran pada relief.
“Harus dipertimbangkan bahwa Indonesia, khususnya Jawa, memiliki tradisi lisan yang kuat. Sampai hari ini, media penyebarluasan lisan masih lebih disukai khalayak luas daripada media tulisan,” katanya.
Tradisi lisan inilah yang kemudian membawa kisah Sri Tanjung ke berbagai daerah dengan versi masing-masing. Kata Kieven, fakta adanya beberapa manuskrip yang isinya agak berbeda untuk sejumlah teks Jawa Kuno membuktikan kreativitas dalam mengarang versi baru yang menghasilkan bentuk amat beragam. “Kita dapat menyimpulkan bahwa bahkan ada lebih banyak lagi variasi yang tidak kita ketahui,” ujarnya.
Simbol Penyucian
Dari semua episode, bagian kisah Sri Tanjung menunggang ikan untuk menyeberang dari alam kehidupan ke kematian selalu dipilih oleh para pemahat relief. Menurut Kieven, ini memperlihatkan kisah Sri Tanjung mungkin berfungsi sebagai pengantar peziarah candi dalam transisi mereka dari ranah duniawi ke ranah suci.
Terlebih lagi kisah cinta seperti dalam cerita Sri Tanjung ini, dinilai Kieven, akan memikat para peziarah sebelum mereka menyelami cerita lainnya yang mempunyai makna spiritual lebih kuat. Misalnya pada dinding Candi Surawana. Selain terpahatkan kisah Sri Tanjung, terdapat relief bermuatan kisah Arjunawiwaha. Menurut Kieven, relief Sri Tanjung bisa dianggap sebagai pengantar sebelum pengunjung mendekati relief Arjunawiwaha yang bermuatan lebih filosofis dan sakral.
Baca juga: Merawat Kisah Nabi Yusuf
Cerita Sri Tanjung bukan cuma menyoal tema percintaan, tetapi ada makna eksorsisme di dalamnya. Kata Kieven, kisah Sri Tanjung sengaja digambarkan dalam relief candi untuk menekankan soal pembebasan spiritual.
“Pembebasan jiwa adalah topik utama dalam berbagai pemujaan. Jelas pula merupakan fungsi penting situs-situs keagamaan,” katanya.
Hal ini terbukti dari betapa populer kisah itu. Tak heran, selain Sudamala, kisah Sri Tanjung hingga kini sering pula dibawakan dalam tradisi ruwatan di Jawa. Kisah ini dipercaya menjadi simbol melepas segala bentuk perbuatan jelek, malapetaka, hal kotor yang bersifat duniawi menuju kondisi yang kembali suci.*