Masuk Daftar
My Getplus

Masjid di Jantung Banyuwangi

Keberadannya tak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Banyuwangi.

Oleh: Historia | 14 Mei 2020
Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi. (Wikipedia).

RAMADAN kali ini penuh keprihatinan. Akibat virus Covid-19, masjid-masjid yang biasanya penuh sesak orang khusyuk beribadah kini sepi. Hal ini berlaku di seluruh masjid di Indonesia, termasuk di Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi. Pengunjung acara menunggu berbuka puasa, yang dalam bahasa Osing disebut Ngerandu Buko, bisa dihitung dengan jari.

Masjid Agung Baiturrahman, yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, memang bangunan paling mencolok di jantung kota Banyuwangi. Bangunan dua lantai ini tampak megah. Kubah-kubahnya menawan. Secara keseluruhan masjid ini memiliki 11 kubah: lima kubah besar dan enam kubah kecil. Kubah besarnya terdiri dari satu kubah utama, dua kubah sayap di utara dan selatan, serta dua kubah berjalan di serambi utara dan selatan.

Kubah berjalan? Ya, kubah utama Masjid Agung Baiturrahman dapat digeser atau berjalan secara otomatis; membuka dan menutup. Jika terbuka, sirkulasi udara di dalam ruangan bisa terjaga dan para jamaah pun bisa menikmati pemandangan langit yang indah dari dalam masjid.

Advertising
Advertising

Masjid Agung Baiturrahman adalah salah satu masjid tua di Indonesia. Ia dibangun seiring perkembangan agama Islam di Blambangan, nama lama untuk Banyuwangi.

Masjid Jami’

Medio akhir abad ke-18, situasi di Blambangan belum berangsur normal setelah gejolak Perang Puputan Bayu. Meski Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) sudah menancapkan kukunya, keamanan masih belum stabil.

VOC berpikir keras bagaimana menciptakan stabilitas di ujung timur Jawa ini. Atas saran dari Residen Blambangan Hendrik Schophoff, Mas Alit diangkat sebagai bupati Blambangan dengan menyandang gelar Tumenggung Wiraguna I.

“Bupati pertama, Mas Alit, orang Blambangan yang ada di Madura itu muslim. Saat diangkat menjadi bupati, dia meminta kepada kompeni untuk mendirikan masjid,” ujar Hasnan Singodimayan, budayawan Banyuwangi dalam sebuah wawancara di akun BTD channel yang tayang di laman YouTube.

Baca juga: Merawat Kisah Nabi Yusuf

Mas Alit memindahkan ibukota dari Ulupampang ke Banyuwangi dan mulai membangun kota atas biaya dari VOC. Tata kota dibuat Mas Alit sendiri. Bangunan penting seperti pendopo, pasar, penjara atau kantor polisi, dan masjid dibangun sesuai konsep arsitektur Jawa.

“Falsafahnya adalah pendopo mewakili kekuasaan ada di utara. Selatannya pasar. Nah, kalo kamu kerja di pasar, lalu jadi orang baik, silakan ke kanan, ke masjid. Nah kalo kamu orang jahat, suka nipu, maka arahnya ke kiri, ke kantor polisi. Di tengahnya itu lapangan,” terang Hasnan.

Menurut Rully Damayanti dan Handinoto dalam “Kawasan ‘Pusat Kota’ dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan di Jawa”, dimuat jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Juli 2005, struktur kota semacam itu umum di Jawa pada masa prakolonial hingga abad ke-18, baik di kota pesisir maupun pedalaman.

Salah satu yang mendapat perhatian Mas Alit adalah masjid. Dia menyumbangan tanah wakaf untuk pembangunan masjid. Lalu, pada Desember 1773, dimulailah pembangunan sebuah masjid yang sederhana dan berbahan kayu yang disebut Masjid Jami’. Ukurannya tidak besar tapi cukup untuk menampung lebih banyak orang untuk salat berjemaah.

Baca juga: Metamorfosis Hadrah Kuntulan

Selama lebih dari setengah abad bentuk masjid tak berubah. Sampai akhirnya, pada 1844, masjid dibuat permanen. Menurut Dea Denta Tajwidi dan I Wayan Pardi dalam artikel ‘Dinamika Perkembangan Sejarah Masjid Agung Baiturrahman di Kota Banyuwangi Tahun 1773-2007” di jurnal Santhet April 2018, bentuk bangunan masjid lebih menonjolkan bentuk arsitektur Jawa seperti joglo.

Karena beratap joglo, masjid ini dikenal dengan sebutan Masjid Joglo. Bentuk masjid bisa dilihat pada kartu pos yang diterbitkan Impor Mij “Djember” pada 1900-an. Dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe, Olivier Johannes Raap mendeskripsikan masjid bergaya rumah joglo berada di belakang pendopo kabupaten. Di sampingnya terdapat sebuah menara rendah beratap oktagonal, “yang lebih mirip menara di Keraton Solo daripada menara masjid.” Raap menduga, gaya arsitektur itu merupakan adaptasi kebudayaan Mataram di wilayah Blambangan.

Kondisi masjid pada saat renovasi di era bupati Harwin Wasisto. (Wikipedia).

Perubahan Arsitektur

Sebenarnya bukan hanya di Banyuwangi. Masjid di Asia Tenggara umumnya beratap tumpang; semakin ke atas semakin kecil dan yang paling atas berbentuk joglo. Kekaisaran Ottoman-lah yang memperkenalkan penggunaan kubah pada masjid kala melancarkan gerakan “pemurnian” Islam.

“Lambat-laun kubah menjadi simbol arsitektur Islam paling modern, yang seakan-akan wajib ada pada masjid-masjid baru di Asia Tenggara,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia.

Padahal kubah tidak identik dengan Islam. Ia merupakan bagian dari arsitektur lama, yang mulai digunakan secara luas pada abad pertengahan oleh imperium Romawi. Ini dibuktikan dengan keberadaan bangunan Panthenon (kuil) di Kota Roma yang dibangun pada 118 M-128 M oleh Raja Hadria.

Baca juga: Penghormatan dari Para Pemetik Laut

Kubah juga menghiasi masjid-masjid di Nusantara. Ia populer hingga 1960-an. Masjid Jami’ di Banyuwangi pun ikut terpengaruh. Kala renovasi dilakukan pada 1969-1971, atap masjid berbentuk kubah, dengan bangunan utama tetap mempertahankan bentuk Jawa. Masjid Jami' juga berganti nama menjadi Masjid Agung Baiturrahman.

Perubahan kembali dilakukan sesuai konsep arsitektur yang dominan kala itu. Pada renovasi yang lakukan pada 1980-an, selain pelebaran masjid, kubah dibongkar dan atap joglo kembali digunakan. Alasannya, tulis Dea Denta Tajwidi dan I Wayan Pardi, “untuk menonjolkan ciri khas bentuk kearifan lokal masyarakat Osing pada saat itu.”

Sejatinya, penggunaan atap joglo tengah digalakkan saat itu. Ini tak lepas dari pengaruh Presiden Soeharto, seorang pengagum nilai-nilai dan tradisi Jawa. Soeharto mendorong pembangunan masjid bergaya tradisional dengan Masjid Agung Demak sebagai prototipe –beratap tumpang tiga susun.

Lalu, pascareformasi, Masjid Baiturrahman kembali berbenah. Pada 2005, masjid dipugar. Atap masjid dikembalikan lagi ke bentuk kubah. Lalu bagian bangunan diperkaya dengan ornamen yang menunjukkan ciri khas masyarakat Osing.

Baca juga: Seblang Menolak Bala

Mimbar masjid bernuansa asli Banyuwangi dengan ukiran gajah oling, ragam hias atau motif yang diyakini paling tua di Banyuwangi. Deretan jendela tertutup (kaca grafir) di bawah kubah sayap selatan, tengah, dan utara juga dihiasai motif gajah oling. Begitu pula kaca grafir pada krawangan besi hollow yang mengitari semua ruangan masjid.

Kini, Masjid Agung Baiturrahman lebih megah dan indah. Ia menjadi pusat kegiataan keagamaan di Kota Banyuwangi. Nuansa sejarah tetap terasa dengan keberadaan makam para bupati Banyuwangi. Untuk rekreasi, terdapat Taman Sri Tanjung –yang diambil dari tokoh Sri Tanjung dalam legenda Banyuwangi, di sisi timur masjid.

Masjid ini juga digunakan untuk beragam acara budaya. Termasuk Festival Endog-endogan, acara mengarak ribuan telor setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang masuk dalam agenda Banyuwangi Festival. Untuk tahun 2020, acara dengan nama Festival Maulid dijadwalkan pada 29 Oktober

TAG

banyuwangi wisata islam masjid

ARTIKEL TERKAIT

Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Lika-liku Hamas di Jalur Gaza Tiga Peristiwa yang Terjadi September 1965 Peradaban Islam dalam Sehimpun Arsip Soerjopranoto Si Raja Mogok Dakwah Walisongo Toleransi Beragama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker Kebiasaan Tidur Siang di Masa Lalu Panduan Kebiasaan Mandi untuk Wisatawan Asing Empat Bangunan Bersejarah Turki yang Dihancurkan Gempa