PULUHAN perahu nelayan beraneka motif dan warna mengarungi Laut Muncar. Di sebuah lokasi berair tenang di Plawangan, iring-iringan perahu berhenti. Dengan dipimpin sesepuh nelayan, githik (perahu kecil) berisikan berbagai sesaji dan hasil bumi dilarung ke tengah laut.
Para nelayan sontak menceburkan diri ke laut, berebut mendapatkan sesaji. Ada juga yang menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. Mereka percaya air ini menjadi pembersih malapetaka sekaligus limpahan berkah ketika melaut nanti.
Dari Plawangan, iring-iringan perahu bergerak menuju Tanjung Sembulungan yang terletak di kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Di tempat ini nelayan kembali melarung sesaji untuk penunggu Tanjung Sembulungan. Setelah itu ritual dilanjutkan ziarah ke makam Sayid Yusuf, orang pertama yang diyakini membuka lokasi Tanjung Sembulungan.
Ritual diakhiri dengan selamatan dan doa bersama. Kemudian dilanjutkan menikmati tari gandrung dengan gending-gending klasik suku Osing hingga sore hari.
Upacara Petik Laut rutin digelar setiap tahun oleh para nelayan di kawasan Muncar, sekitar 30 km meter dari kota Banyuwangi, Jawa Timur. Biasanya setiap 15 Muharram/Suro penanggalan Jawa. Upacara Petik Laut bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil tangkapan ikan yang melimpah sekaligus permohonan agar selalu mendapatkan keselamatan (tolak bala).
Kosmologi Pesisir
Muncar adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Dengan wilayah berada di pesisir pantai, tak heran mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan. Di Muncar terdapat pelabuhan penghasil ikan terbesar di Jawa dan terbesar kedua di Indonesia setelah Bagansiapiapi, Riau. Pelabuhan ini sudah ada sejak masa Kerajaan Blambangan.
Muncar didiami nelayan dari beragam etnis. Orang Madura, Bugis, dan Mandar datang dan menyatu dengan penduduk Jawa dan Osing. Mereka juga memperkenalkan agama Islam dan mengadaptasi budaya-budaya lokal. Dari sinilah lahir tradisi Petik Laut.
Tradisi lisan meyakini ritual Petik Laut berkembang setelah kehadiran orang Madura di Banyuwangi. Konon, ritual ini sudah diadakan nelayan Muncar sejak 1901 dengan dipimpin seorang dukun. Ritual ini dikaitkan dengan kepercayaan bahwa laut dan segala isinya ada yang menjaga. Nelayan dapat selamat dan memperoleh ikan karena izin dari penjaga laut, yakni Nyi Roro Kidul.
Baca juga: Ikan-ikan dari Muncar
Selain Nyi Roro Kidul, ada tokoh supranatural lainnya yang justru dianggap paling penting dalam ritual ini. Ia adalah Ratu Rejo Mino, yang dalam kepercayaan Wong Osing dianggap sebagai “Ratu Ikan”.
“Ratu Rejo Mino (the lesser spirit) sebagai ratu penguasa ikan-ikan di laut memiliki kekuasaan untuk melimpahkan ikan atau tidak,” tulis Nur Ainiyah dalam “Islam, Osing dalam Bingkai Tradisi dan Kosmologi: Studi Nelayan Kedungrejo-Banyuwangi”, dimuat jurnal Lisan Al-Hal, Desember 2016.
Dalam artikel lain berjudul “Petik Laut”, dimuat jurnal Religia Vol. 20, No.2, 2017, Nur Ainiyah mengaitkan ritual Petik Laut dengan sebuah legenda. Dalam kitab Marsodo Mancing, ada kisah dua bersaudara yang memancing dengan kail emas dan berhasil menangkap Ratu Rejo Mino. Dalam dialog , Sang Ratu mengatakan bahwa dia akan memberikan banyak ikan jika setiap Muharrom masyarakat melakukan ritual laut.
Versi lain menyebut ritual Petik Laut dimulai dengan kedatangan seorang nelayan dari Timor yang bernama Sayid Yusuf ke Muncar, bersamaan waktunya dengan penyebaran agama Islam di Blambangan.
Baca juga: Di Balik Ritual Keboan
Sayid Yusuf dikenal sebagai orang yang “pandai” dan suka membantu masyarakat sekitar. Suatu ketika ikan-ikan di laut Muncar seolah menghilang. Ditambah lagi, banyak nelayan menemui ajal oleh ganasnya ombak. Untuk mengusir petaka itu, Sayid mengajak masyarakat untuk melakukan upacara, memohon kepada Yang Kuasa, dengan menyertakan kesenian gandrung yang disukainya. Setelah upacara itu malapetaka pun sirna. Sejak itulah upacara Petik Laut diadakan setiap tahun.
Sayid Yusuf dimakamkan di Tanjung Sembulungan dan masih dikeramatkan sebagian masyarakat nelayan Muncar. Tempat ini pula yang hingga kini menjadi lokasi terakhir dari rangkaian kegiatan upacara Petik Laut.
Di Tanjung Sembulungan pula terdapat dua makam penari gandrung yang diziarahi nelayan dalam ritual Petik Laut. Cerita tutur menyebut Sayid Yusuf menyukai kesenian gandrung. Dia juga mencintai seorang penari gandrung. Bahkan ada yang menyebut orang Osing menikahkan Sayid Yusuf dengan penari gandrung yang cantik. Hingga suatu ketika penari tersebut meninggal dan dimakamkan di dekat pantai Tanjung Sembulungan.
Cerita tutur lainnya menyebutkan, saat ritual Petik Laut pertama kali digelar di Tanjung Sembulungan, seorang penari gandrung meninggal dan dimakamkan di pinggir pantai. “Sejak itu, Petik Laut wajib menghadirkan penari gandrung,” tulis Farah N. Azizah dan Turyati dalam “Gandrung dalam Upacara Ritual Petik Laut di Pantai Muncar Kabupaten Banyuwangi”, dimuat jurnal seni Makalangan, Juni 2014.
Setelah ritual dipraktikkan turun-temurun, arus perubahan terjadi seiring menguatnya pengaruh kiai dan kalangan pesantren di daerah Muncar.
“Ritual Petik Laut yang semula hanya merupakan ritual kecil para nelayan dan masih terpengaruh kuat dengan animisme dan dinamisme, kemudian berkembang menjadi ritual besar yang banyak dihiasi unsur-unsur Islam,” tulis Eko Setiawan dalam “Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut di Muncar Banyuwangi”, dimuat jurnal Universum, Juli 2016.
Baca juga: Selera Naga Sejuta Rasa
Nur Ainiyah menyebut objek penting lain dari persembahan dalam ritual Petik Laut, yakni Nabi Hidir. Nabi Hidir secara historis dijelaskan dalam Alquran, bahwa ia hidup abadi sampai akhir zaman dan hidupnya di laut atau di pantai. Masyarakat nelayan Islam Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar, meyakini bahwa laut dan isinya dijaga Nabi Hidir. Mereka berharap bisa bertemu agar bisa mengubah nasib.
“Hal ini cukup beralasan karena Nabi Hidir adalah sosok suci yang setiap permintaannya dikabulkan oleh Allah,” tulis Nur Ainiyah.
Maka, jadilah ritual Petik Laut sebagai bentuk akomodasi dari tradisi lokal dan Islam di kalangan nelayan yang menjadi satu bingkai kosmologi pesisir.
Wahana Pariwisata
Upacara Petik Laut memiliki rangkaian kegiatan yang penting. Ritual dimulai dari pembuatan sesaji oleh sesepuh nelayan. Sesaji terdiri dari berbagai macam; dari pancing emas hingga pisang raja, dari segala jenis buah hingga aneka jajan pasar. Salah satu sesaji yang sangat penting adalah kepala kambing kendit, yaitu kambing hitam dengan bulu putih melingkar dari perut sampai punggung.
Pemakaian kambing kendit dan sejumlah sesaji itu meniru cara Sayid Yusuf. Masing-masing punya makna. Misalnya, warna kambing hitam dan putih melambangkan sifat baik dan buruk manusia. Pancing emas disimbolkan sebagai pengingat para nelayan bahwa bekerja di lautan itu senilai emas, perlu pengorbanan, demi menghidupi keluarga.
Pada malam hari sebelum pelaksanaan Petik Laut, masyarakat menggelar pengajian atau semaan di sejumlah surau dan rumah warga.
Baca juga: Sajian dari Beragam Pasar Kuliner
Menjelang siang, sesaji diarak keliling kampung (ider bumi) menuju tempat pelelangan ikan (TPI). Setiba di TPI, sesaji disambut enam penari gandrung. Setelah dibacakan doa oleh sesepuh nelayan, sesaji diarak menuju perahu. Dimulailah prosesi upacara melarung sesaji di lautan.
Ritual Petik Laut masih bertahan hingga kini. Selain tujuannya sebagai ungkapan syukur sekaligus tolak bala, ritual Petik Laut merupakan bentuk penghormatan nelayan lokal terhadap laut.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memberikan dukungan agar kearifan lokal tersebut tetap terjaga. Selain itu, kegiatan Petik Laut bisa menjadi wahana pariwisata. Salah satunya dengan mengemas tradisi tersebut menjadi bagian dalam agenda wisata tahunan Banyuwangi Festival. Untuk tahun 2020, Petik Laut Muncar dijadwalkan digelar 3 September 2020.