RATUSAN warga berkumpul di sebuah tanah lapang bekas sawah. Sejak pagi suara gamelan dari sebuah panggung mengalun bertalu-talu. Bunyi irama yang berulang-ulang membuat beberapa orang kesurupan dan bertingkah layaknya kerbau. Mereka bermain lumpur di sepetak tanah yang sudah disediakan panitia.
Pada saat bersamaan, warga desa menggelar arak-arakan dengan membawa beberapa replika hewan kerbau. Ikut pula puluhan orang dengan tubuh berlumuran cairan hitam –dari arang dan oli. Mereka mengenakan sepasang tanduk buatan dan lonceng di leher. Di tengah perjalanan mereka kerasukan roh leluhur desa dan bertingkah layaknya kerbau.
Keceriaan terpancar dari wajah Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi. Untuk kesekian kalinya mereka menggelar ritual adat keboan atau dikenal dengan Keboan Aliyan.
Baca juga: Temu Legenda Banyuwangi
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, yang menghadiri acara tersebut, mengatakan bahwa tradisi Keboan Aliyan merupakan salah satu kekayaan budaya asli warga lokal. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi mengangkat tradisi ini sebagai bagian dari Banyuwangi Festival; sebuah bentuk apresiasi pada warga yang terus menjaga warisan leluhur.
“Banyuwangi boleh maju, tapi tradisi dan budaya yang ada di tengah masyarakat tidak akan kita tinggalkan. Tradisi ini tidak hanya sekadar ritual rutin tapi juga menggambarkan semangat guyub dan gotong royong warga,” kata Anas, September 2019.
Keboan Aliyan rutin digelar setiap tahun; yakni pada hari minggu antara tanggal 1 sampai 10 bulan Suro –penanggalan Jawa. Ritual ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah sekaligus upacara bersih desa agar seluruh warga diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala marabahaya.
Kisah Dua Dusun
Dalam masyarakat agraris, kerbau menempati posisi penting. Kerbau dianggap sebagai mitra dan tumpuan mata pencaharian petani. Kerbau juga dihubungkan dengan kesuburan tanah karena membantu membajak sawah. Selain itu, kerbau dianggap binatang keramat nan suci. Ia memiliki kebajikan, kesabaran, dan welas asih. Ia simbol kekuatan dan pengantar jiwa yang sudah mati menuju alam lain.
Sejumlah masyarakat adat memunculkan tradisi yang berkaitan dengan kerbau. Masyarakat suku Osing di Banyuwangi mewujudkannya dalam rituan Keboan Aliyan. Konon, tradisi ini sudah berlangsung sejak abad ke-18.
“Tidak mungkin untuk menyatakan dengan pasti berapa umur ritual itu. Meskipun beberapa mengklaim bahwa itu sudah ‘berabad-abad’, yang lainnya hanya menyatakan bahwa ia kembali ke zaman kolonial,” tulis Robert Wessing dalam “Hosting the Wild Buffaloes: The Keboan Rituals of the Using of East Java, Indonesia, NSC Working Paper No. 22, Mei 2016.
Menurut tradisi lisan, ritual keboan berawal dari hama penyakit yang menyerang lahan pertanian penduduk. Buyut Wongso Kenongo, pendiri cikal-bakal desa, bersemedi dan mendapat petunjuk agar anaknya bersemedi pula. Petunjuk itu pun dijalankan kedua putra Buyut Wongso.
Baca juga: Seblang Menolak Bala
Ada beberapa versi penyebutan nama kedua putra Buyut Wongso. Putra pertamanya, yang kemudian jadi leluhur Krajan, disebut Raden Joko Pekik, Suko Pekik, atau Buyut Pekik. Sementara putra kedua, leluhur Sukodono, disebut dengan nama Raden Pringgo, Rangga, Buyut Wadung, atau Buyut Turi.
Terlepas dari perbedaan itu, kedua putra Buyut Wongso bersemedi minta petunjuk. Terjadilah hal yang aneh. Mereka mendadak berperilaku seperti kerbau. Mereka berguling-guling di persawahan. Setelah itu hama penyakit menghilang.
“Kejadian yang dilakukan oleh kedua anak Buyut Wongso Kenongo kemudian ditiru dan dilanjutkan oleh masyarakat setempat yang selanjutnya disebut dengan ritual adat keboan” tulis Salamun dkk dalam Komunitas Adat Using Desa Aliyan Rogojampi Banyuwangi Jawa Timur: Kajian Ritual Keboan.
Menariknya, di Desa Aliyan terdapat dua dusun yang mempertahankan tradisi ini, yakni Krajan dan Sukodono. Secara terpisah kedua dusun ini menjalankan ritual yang sama dan digelar di hari yang sama pula. Hal ini tak lepas dari konflik di antara keturunan Buyut Wongso Kenongo.
Baca juga: Gesekan Biola Gandrung
Karena sama-sama cakap, Buyut Wongso Kenongo sulit memutuskan siapa dari kedua putranya yang akan menggantikannya sebagai pemimpin desa. Bahkan dalam suatu “pertarungan” pun tak ada yang menang. Maka, dia memutuskan untuk memisahkan keduanya: putra pertama tetap di Krajan sementara putra kedua pindah ke Sukodono.
“Sejak itu ada ketegangan di antara dua dusun ini, dan mereka merayakan ritual keboan secara terpisah,” tulis Robert Wessing.
Kendati terpisah, para sesepuh desa berusaha melaksanakan ritual keboan secara bersamaan. Upaya itu terwujud. Kendati ritualnya sama dan digelar pada hari yang sama, waktu pelaksanaan dan jalur arak-arakannya berbeda.
Arak-arakan “manusia kerbau” terbagi menjadi dua arah: barat dan timur. Barat berasal dari Dusun Sukodono, Kedawung, dan Damrejo. Sedangkan timur dari Dusun Krajan, Cempokosari, dan Timurejo. Kedua rombongan tak boleh berpapasan karena roh leluhur yang merasuki tubuh bisa saling serang.
Setelah diberi doa di Balai Desa Aliyan, “keboan” dari Krajan bergerak ke arah Krajan, Timurjo, dan Cempokosari, dan kemudian mampir ke makam leluhur. Sementara “keboan” dari Sukodono bergerak ke Kedawung dan Sukodono, dan selanjutnya mampir ke makam leluhur.
Dewi Sri Turun
Pelaksanaan ritual Keboan Aliyan melibatkan partisipasi penduduk desa. Sehari sebelum ritual adat keboan, masyarakat bergotong-royong untuk mempersiapkan segala kebutuhan ritual. Umbul-umbul (bendera berwarna-warni) dipasang di sepanjang jalan desa. Gapura dari bambu didirikan di pintu-pintu jalan masuk desa. Gapura dihiasi dedaunan dan janur dan berbagai macam hasil bumi sebagai perlambang kesuburan dan kesejahteraan.
Keesokan harinya, ritual keboan diawali dengan selamatan di empat penjuru desa (ider bumi). Usai selamatan, dimulailah arak-arakan “manusia kerbau” keliling desa. Saat itulah mereka kesurupan dan bertingkah layaknya kerbau. Mereka membantu petani membajak, mengairi, hingga menabur benih padi. Seorang perempuan cantik, perwujudan Dewi Sri, lalu menebarkan benih padi (ngurit). Para “keboan” berguling-guling di atas benih padi tersebut.
Masyarakat ikut berebut untuk mendapatkan benih padi, yang dipercaya memiliki daya magis. Benih padi itu diyakini bisa mempengaruhi kesuburan dan keberhasilan panen serta terhindar dari hama maupun bencana lainnya.
Baca juga: Metamorfosis Hadrah Kuntulan
“Ritual ngurit disebut sebagai puncak acara, karena dalam ritual ngurit mengekspresikan tujuan dari upacara keboan, yakni Dewi Sri turun dari tandu memberikan benih padi (simbol kemakmuran) kepada pawang untuk disebarkan. Benih padi tersebut sebagai bekal para petani mendapatkan panen yang melimpah,” tulis Salamun dkk.
Ritual keboan sempat mati suri pada 1990 hingga 1998. Kini, ritual ini menjadi salah satu atraksi paling ditunggu dalam Festival Banyuwangi.
“Tradisi-tradisi ini menjadi identitas dan ciri khas yang membedakan budaya Banyuwangi dengan daerah lainnya. Otensitas inilah yang terus kami dorong dan kembangkan menjadi atraksi daerah yang menarik wisatawan,” ujar Bupati Anas.
Selain di Desa Aliyan, tradisi serupa dilestarikan di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dengan nama Kebo-Keboan. Tapi untuk tahun 2020, hanya Keboan Aliyan yang masuk dalam Banyuwangi Festval dan rencananya ritual itu akan digelar pada 6 September 2020.*