BUYA Hamka bukan ulama biasa. Ia juga seorang sastrawan. Karya romannya yang terkenal dan melambungkan namanya adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah yang terbit tahun 1938.
Setelah membaca karya tersebut, masyarakat muslim pada saat itu ribut bukan main. Mereka menganggap seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Bahkan, Hamka disebut kiai cabul.
“Ada yang mengatakan saya kiai roman. Bahkan ada yang mengatakan saya kiai cabul,” kata Hamka dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia.
Baca juga: Cerita Tentang Hamka
Hamka membela diri lewat tulisan di Pedoman Masyarakat No. 4 tahun 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Ia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.
Minat Hamka pada seni dan sastra telah muncul sejak kecil di Sumatra Barat. Shobahussurur dalam Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah, HAMKA terbitan Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, salah satu kesukaan Malik –sebutan Hamka waktu kecil– ialah mengembara mengunjungi perguruan silat, mendengar senandung dan Kaba, yaitu kisah-kisah rakyat yang dinyanyikan dengan alat musik tradisional, rebab dan saluang (alat musik tiup khas Minang). Kegemarannya yang lain ialah menonton film, bahkan demi hobinya itu ia pernah mengelabui ayahandanya yang merupakan guru mengajinya, dalam memenuhi hasratnya menonton.
Baca juga: Cerita Hamka Ditipu
Pernah menjalani masa remaja seperti itu membuat Hamka mengerti kesenangan anak muda sehingga ia memberikan fasilitas pentas seni dan budaya serta lapangan olah raga di Al-Azhar. “Beliau setuju diadakan festival musik dan pentas seni, drum band, dll.,” tulis Shobahussurur, anggota pengawas Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar.
Bahkan, lanjut Shobahussurur, lapangan hijau Masjid Agung Al-Azhar pernah digunakan pentas seni Sunda dengan pesinden Ny. H. Upit Sarimanah. Masyarakat ramai datang memadati lapangan, hingga pagar nyaris roboh karena penonton yang berjubel. Lagu-lagunya merdu, kental nuansa Islami, mengundang yang hadir menghayati agamanya.
“Beliau mengutip sebuah hadis: Innallâh jamîl yuhibbul jamâl (sesungguhnya Allah itu indah, Dia mencintai keindahan),” tulis Shobahussurur.
Baca juga: Hamka Gemar Menonton Film
Majalah Tempo, 1 Agustus 1981, dalam obituari Buya Hamka yang meninggal pada 24 Juli 1981, menyebut Hamka sebagai ulama besar yang dekat dengan masyarakat umum dari berbagai kalangan. Caranya berdakwah dibutuhkan pada saat itu. Hal itu karena Hamka pada dasarnya seniman. “Bukan saja ia telah menulis enam novel dan kumpulan cerita pendek, yang termasuk di antara 113 buku yang dikarang. Tapi juga karena ulama ini, misalnya, sangat gemar lagu, musik,” tulis Tempo.
Lebih lanjut Tempo menyebutkan bahwa pada zaman Sukarno, Hamkalah yang membawakan syair-syair maulud kampung (dikenal sebagai Barjanzi) di Istana Negara. “Ia menyanyikan bait-bait itu dan menerjemahkannya –agaknya pertama kalinya untuk kalangan atas– waktu memberi ceramah maulud,” tulis Tempo.
Musik dalam Tafsir Al-Azhar
Buya Hamka dalam karyanya, Tafsir Al-Azhar mengemukakan pendapat tentang musik dalam menafsirkan pangkal ayat 6 surat Luqmaan yang artinya: “Dan setengah dari manusia adalah orang yang membeli permainan kata-kata untuk menyesatkan dari jalan Allah, tidak dengan ilmu.”
Hamka mengutip dua tafsir dari Hasan al-Bashri dan Qatadah. Hasan al-Bashri menafsirkan “permainan kata-kata” sebagai “nyanyi-nyanyian dan peralatan pancaragam, yang akan membawa orang lalai dari agama.”
Sementara Qatadah menafsirkan “membeli permainan kata-kata” sebagai “orang yang lebih menyukai barang yang sesat; lebih suka kata-kata percuma, slogan yang tidak berisi daripada memegang kata yang benar; lebih suka yang mudarat daripada yang manfaat.”
Baca juga: Kunjungan Hamka ke Amerika
Menurut Hamka, kedua penafsiran itu bisa kita pakai. Terkait tafsir Hasan al-Bashri, Hamka berpendapat bahwa sebagai muslim yang taat, kita merasakan bagaimana bahaya nyanyi-nyanyian dan alat pancaragam (musik) yang benar-benar melalaikan orang dari agama. Lagu-lagu yang disebut pop (dari potongan kata populer), yang didendangkan di radio, televisi, dan tempat-tempat keramaian umum, [seperti] di pesta orang kawin, kadang-kadang isi nyanyian itu tidak lagi mengenal sopan santun. Apalagi nyanyian seperti itu tidak akan meriah kalau tidak disertai minuman keras yang membuat mabuk.
Namun, Hamka berpendapat bahwa “Semata-mata nyanyian pada pokoknya tidaklah haram. Baru menjadi haram kalau ia telah menjadi permainan kata-kata yang menimbulkan syahwat.”
Baca juga: Hamka dan Patung Nabi Muhammad
Sebagai tokoh Muhammadiyah, Hamka berpegangan pada keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta tahun 1931 yang telah mengambil kesimpulan bahwa alat-alat musik itu pada pokoknya tidaklah apa-apa. Ia akan terpuji kalau nanyian yang dinyanyikan atau dimusikkan dapat menambah gairah agama. Sebaliknya ia menjadi haram hukumnya jika ia akan menimbulkan kelalaian kita dalam beragama.
Sementara itu, ketua Majelis Ulama Indonesia pertama ini mengaitkan tafsir Qatadah dengan slogan-slogan yang menjadi permainan kata-kata dalam politik. Kerap kali isinya kosong tidak masuk akal, tetapi ia dijadikan slogan. Orang kadang-kadang dipaksa dengan kekuatan kekuasaan pemerintahan buat menerimanya.*