Selama masa perang kemerdekaan (1946-1949), Buya Hamka dan keluarga kecilnya tinggal di Sumatera. Di tempat kelahirannya itu Hamka diamanahi tugas menjadi pengurus Muhammadiyah. Sebagai pimpinan cabang Minangkabau, Hamka terbiasa berkeliling kampung untuk sekedar bercengkrama dengan masyarakat atau mengunjungi koleganya, sambil secara langsung melihat kondisi masyarakat di tengah gejolak perang yang melanda tanah air.
Dalam pengembaraannya ke kampung-kampung, Hamka selalu diterima dengan baik. Dalam memoarnya, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, Rusydi Hamka bercerita bahwa dia dan Hamka seringkali dijamu makan mendadak oleh masyarakat. Meski tidak terlalu mewah, putra pertama Hamka ini menyebut jamuan semacam itu selalu menyenangkan bagi mereka.
Baca juga: Hamka dan Maag Berjamaah
Suatu hari, ketika dalam perjalanan dari Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, menuju Maninjau, Hamka melewati Desa Palembayan. Warga kampung yang mengetahui kedatangan rombongan Hamka segera mengadakan penyambutan. Berbagai hidangan disajikan. Tentu saja rombongan itu begitu senang menerima kehangatan warga Palembayan tersebut. Di sana Hamka tinggal selama beberapa malam sebelum melanjutkan perjalanannya.
“Ayah memberikan penerangan dan mengobarkan semangat rakyat melawan Belanda,” tulis Rusydi.
Ketika hendak pamit, orang-orang di kampung itu memberikan beberapa liter beras untuk sekadar bekal. Kebetulan pada waktu rombongan Hamka tiba, di Palembayan sedang memasuki masa panen padi. Namun buah tangan yang cukup berat itu rupanya menambah beban perjalanan Hamka. Baru saja beberapa ratus meter keluar dari Palembayan mereka sudah berhenti untuk istirahat. Mereka semakin resah mengingat rute perjalanan itu akan menempuh jalan berbukit yang penuh tanjakan. Ketika sedang duduk termenung, seorang pria yang tidak dikenal tetiba muncul.
“Apa kabar Buya, mau ke mana Buya, dari mana Buya?” tanya pria asing itu bertubi-tubi.
Di antara rombongan Hamka tidak ada yang mengenal pria itu. Hamka yang masih terheran-heran mencoba menjawab pertanyaan Si Pria. Dia pun kemudian memperkenalkan diri sebagai Damir dan menawarkan bantuan membawakan beban yang dibawa Hamka. Rusydi menggambarkan Damir ini sebagai seorang yang agak humoris, berkulit putih, wajahnya kemerah-merahan, dan memiliki tubuh pendek-kurus.
Baca juga: Kisah Hamka dan Si Kuning
“Terima kasih atas bantuan Sutan,” jawab Hamka seraya memberikan bebannya. Kemudian mereka mulai mendaki bukit yang rupanya lebih tinggi dari yang dibayangkan. Ketika rombongan Hamka cukup kesulitan melewatinya, Damir terlihat baik-baik saja. Malah dia bergerak sangat lincah hingga mendahului rombongan ini. Pria itu cukup menguasai medan.
Hampir setengah perjalanan terlewati dengan mudah dan lebih cepat berkat bantuan Damir. Memasuki waktu makan siang, rombongan itu memutuskan beristirahat di sebuah warung yang ditunjukkan Damir. Menurutnya, di warung itu gulai ayamnya selalu tersaji hangat, dan nasinya pun selalu dibuat baru sehingga rasanya terasa begitu nikmat.
Sesampainya di warung tersebut, mereka langsung memilih makanan dan minuman. Damir yang memiliki suara paling keras bertugas memesan. Sebelum makanan tiba, Damir menawarkan Hamka secangkir kopi. Ketika dilihatnya Hamka mengangguk, pria itu berteriak, “Tambah dua kopi,” maksudnya satu untuk dia dan satunya untuk Hamka.
“Tambah nasinya Buya?” tawarnya. Hamka mengangguk, Damir kembali berteriak, “Tambah nasi dua.” Satu piring untuknya, satunya untuk Hamka.
Sejak pertama duduk di warung itu, Damir tidak henti-hentinya mengunyah makanan. Sesekali dia berdiri, mencoba menjangkau beberapa buah petai yang tergantung dan sambal di sisi lain meja. Bahkan ia sempat memesan pisang dan secangkir kopi setelah selesai makan. Hamka diam saja melihat kelakuan Damir itu.
Baca juga: Hamka dan Patung Nabi Muhammad
Sementara Damir begitu aktif menyantap segala makanan di atas meja, Rusydi sengaja tidak terlalu banyak memesan gulai. Dia tahu uang di kantong ayahnya dibawa untuk ibu dan keluarga yang telah menunggu kedatangannya di rumah. Meski rasa gulai ayam ini memang begitu nikmat, dia mencoba menahannya.
“Berapa semua?” Damir bertanya kepada pemilik warung.
Pemilik warung pun mulai menghitung total makanan yang memang cukup banyak tersaji di meja rombongan ini. Meskipun harganya akan sangat mahal, Hamka sebetulnya tidak terlalu khawatir karena Damir sudah berdiri lebih dahulu. Mereka menyangka pria baik ini yang akan membayar semua tagihan makan siang kali ini.
Damir kemudian mendekati Hamka, “Seratus semua Buya.” Sambil membawa barangnya, dia melangkah keluar warung tersebut. Hamka dan Rusydi tidak bisa berkata apa-apa. Hamka lalu menghitung kembali uang yang harus dikeluarkannya.
“Mungkin dalam hatinya dia menyesal. Saya pun teringat Ummi dan adik-adik, menyesal telah makan enak, sementara di rumah makan ubi,” tulis Rusydi.
Tidak cukup soal makanan, Damir kembali berulah. Sebelum turun menuju Maninjau, Damir yang telah berjalan terlebih dahulu terlihat duduk di dekat sungai. “Ada apa Damir,” tanya Hamka.
Baca juga: Hamka dan Tongkatnya
“Sakit perut,” jawabnya. Dia lalu mempersilahkan rombongan Hamka berjalan terlebih dahulu. Dia yakin dapat menyusul jika urusannya sudah selesai. Hamka setuju dan meninggalkan pria itu. Setelah lama berjalan, Damir tak kunjung terlihat. Tanpa curiga sedikitpun, Hamka terus melanjutkan langkahnya. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu keluarganya.
Tiba di kampung, sambutan dari keluarga membuat sosok Damir sempat terlupa. Hamka lalu menyuruh salah seorang untuk mencari Damir, takutnya dia kesulitan mencari tempat tinggal Hamka. Tapi Damir tetap tidak kelihatan. Bahkan keesokan harinya orang itu tidak menunjukkan batang hidungnya. Barulah Hamka paham bahwa dirinya telah ditipu.
“Biarlah, orang yang punya ‘damir’ (hati nurani) itu, lambat laun akan kami lupakan atau terlupakan. Biar Allah yang memberikan ganjarannya,” tulis Rusydi.