BUYA Hamka dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina pada awal bulan Ramadan, 18 Juli 1981. Dr. Karnen Bratawijaya, yang lama menjaga kesehatan Hamka, memberi tahu bahwa Hamka terkena serangan jantung berat. Penyakit itu telah dirasakan Hamka sejak Februari.
Tokoh-tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdatangan ke rumah sakit untuk menjenguk ketua umum MUI pertama itu. Anggota MUI yang kemudian menjadi menteri agama, dr. Tarmizi Taher bilang kepada Rusydi Hamka, anak ketiga Hamka, seharusnya Hamka tidak melakukan perjalanan ke Bangladesh dan Irak. Sangat berbahaya bagi penderita jantung seperti Hamka melakukan perjalanan jarak jauh. Khawatir terjadi anfal (serangan jantung mendadak) di udara.
Hamka pergi ke Bangladesh ditemani anak kesembilan, Afif Hamka, karena Rusydi harus pergi ke Jerman Barat. Sebelum berangkat, Rusydi mengkhawatirkan kesehatan Hamka. Bahkan, ketika mendapat undangan ke Irak, Hamka menyuruh Rusydi menemui duta besar Irak untuk mengundurkan keberangkatan menjadi bulan depan. Alasannya Hamka sakit.
“Saya menunduk, teringat perjalanan ke Irak sebulan sebelumnya,” kata Rusydi Hamka dalam Pribadi dan Martabat Buya Hamka.
Baca juga: Cerita Tentang Hamka
Pada Juni 1981, Rusydi mendampingi Hamka pergi ke Irak untuk memenuhi undangan Menteri Wakaf. Setelah selesai acara, Hamka mengajak Rusydi mengunjungi objek-objek sejarah di bekas pusat kebudayaan Islam itu, seperti kuburan Sayidina Ali di Najaf, Masjid Karbala, Masjid Basrah yang kubahnya dari emas murni, dan taman gantung di Babilonia.
“Tampaknya ayah gembira sekali dengan kesempatan itu,” kata Rusydi.
Ketika berada di Najaf, Hamka bercerita tentang Sayidina Ali, tragedi sejarah Islam di Karbala, Dinasti Abbasiyah, Sultan Ma’mun, dan Harun al-Rasyid, hingga timbulnya Mazhab Syiah yang sekarang berpusat di Iran. Hamka bercerita tentang latar belakang sejarah Perang Iran dan Irak (1980–1988) yang dianggap sebagai lanjutan sentimen perang Arab-Persia yang terkenal dengan perang Khadisiyah. Menurut Hamka, percaturan politik sekarang membuktikan bahwa ashabiyyah (fanatisme) Persia dan Arabia masih belum lenyap di dada orang-orang sana.
Baca juga: Buya Hamka dan Musik
Malam harinya, Hamka dan Rusydi mengelilingi Kota Baghdad yang terkenal dengan sebutan negeri 1001 malam, melihat Sungai Tigris dan Dajlah, makan ikan panggang yang lezat di sebuah restoran, melihat patung Abu Nawas, mengunjungi makam Abdul Qadir al-Jailani, Masjid Imam Hanafi, dan melihat perkampungan tempat lahirnya ahli tasawuf, Junaid al-Baghdadi. Pada setiap tempat itu, Hamka tak lupa bercerita tentang tokoh-tokoh tersebut. “Semuanya dalam kegelapan malam karena selama perang Irak dan Iran, listrik-listrik dipadamkan,” kata Rusydi.
Penerbangan ke Irak memakan waktu lebih dari 14 jam dan transit di bandara Bangkok, Thailand beberapa jam. “Saya memejamkan mata mengingat kejadian itu,” kata Rusydi.
Baca juga: Cerita Hamka di Amerika
Pada waktu itu, Hamka yang sebenarnya sangat lelah tetap terlihat gembira berjalan dengan tongkatnya di belakang Rusydi. Begitu tiba di ruang tunggu bandara, Hamka menuju toilet, menyuruh menyiapkan sajadah, melihat kompas, dan salat dengan menjamak salat zuhur dan ashar di tengah kesibukan orang-orang yang menunggu pesawat. Sementara turis asing mondar-mandir di depan mereka sambil melihat keheranan.
Seorang petugas bandara mengatakan bahwa ruang tunggu bukan tempat salat. Rusydi mohon kepada petugas itu agar diberi izin dengan mengilustrasikan seperti biksu yang tengah melakukan perjalanan. “Kami adalah 'monk' Islam, sebagaimana 'monk' Buddha berbaju kuning banyak di Thailand,” karta Rusydi.
Hamka tertawa mendengar dialog Rusydi dengan petugas bandara itu. “Kejadian itu menjadi bahan cerita yang meringankan kelelahan ayah,” kata Rusydi.
Namun, Hamka benar-benar lelah. Sebulan kemudian, dia terkena serangan jantung berat. Setelah seminggu dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 pukul 10.41 WIB.*