SUATU hari Hamka benar-benar dibuat heran. Keberadaan patung Nabi Muhammad SAW di New York, di luar akal sehatnya. Dalam muhibahnya selama 4 bulan (25 Agustus–25 Desember 1952) di Amerika Serikat (AS) itu, Hamka banyak dibuat terkejut. Dan soal patung Nabi Muhammad SAW tersebut menjadi yang paling menohok baginya. Namun di lain pihak, hal itu membuatnya sadar bahwa pengetahuan tentang Islam di negeri Paman Sam saat itu masih sangat kecil.
Ada rasa ironik dalam diri Hamka jika mengingat Sang Nabi yang berupaya menjauhkan umatnya dari patung-patung seperti itu sekarang malah dipatungkan. Di dalam memoarnya, 4 Bulan di Amerika, Hamka menelusuri keberadaan patung tersebut dan menghubungkannya dengan pemahaman tentang Islam di negara Barat, khususnya AS.
Menurutnya kebudayaan manusia memberi wujud kepada para Nabi setelah agama Nasrani memasuki Roma. Sejak itu, banyak ahli-ahli seni yang berlomba memahat patung menyerupai Nabinya. Hamka sendiri meyakini bahwa Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Isa, dan Muhammad sangat anti kepada patung.
Baca juga: Buya Hamka di Bawah Panji Muhammadiyah
“Seluruh Nabi itu adalah mempunyai kesatuan maksud, yakni menghancurleburkan segala sesuatu yang dijadikan rintangan untuk menghadap langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Hamka.
Maka ketika banyak seniman yang membuat patung menyerupai Nabi, itu merupakan sebuah kesalahan. “Kita tidak dapat bersikap masa bodoh, kalau Nabi Muhammad dipatungkan pula,” lanjut Hamka.
Hasil penelusuran Hamka mendapati bahwa pembuat patung itu adalah pemahat Charles Albert Lopez. Dugaannya si pemahat itu berasal dari Amerika Selatan, yang masyarakatnya saat itu umum memeluk agama Katolik. Ia tidak tahu dari mana si pemahat mendapatkan gambaran tentang Nabi Muhammad, tetapi Nabi digambarkan gagah perkasa, kejam, pakai sorban, dan memegang pedang.
Baca juga: Hamka dan Tongkatnya
Hamka semakin heran karena patung Nabi Muhammad itu ada di tengah usaha AS mendekati bangsa-bangsa Timur. Terlebih ketika di International Centre di Washington, Hamka dan sejumlah pemimpin agama yang hadir mendapat sebuah buku kecil berisi propaganda AS tentang usaha negara itu dalam mendamaikan dunia. Bagi Hamka buku itu cukup bagus. Tetapi di bagian akhir terdapat gambar tiga orang Nabi: Musa, Isa, dan Muhammad. Maksudnya sebagai lambang keberagaman tiga agama: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Namun bukankah tindakan-tindakan itu malah membuat usaha mendekati bangsa Timur, yang mayoritas Muslim, semakin jauh?
Seorang pejabat Amerika lalu bertanya kepada Hamka mengenai kesannya tentang buku tersebut. Diterangkan oleh Hamka bahwa patung dan gambar Nabi Muhammad yang ada di dalam buku itu telah menghancurkan maksud baik mereka. Karena tidak ada seorang pun yang akan senang Nabinya dipatungkan. Bahkan di zaman keemasan seni Islam pun tidak ada satu seniman yang berani menggambarkan sosok Nabi Muhammad. Bukan hanya haram hukumnya, tetapi sebaik-baiknya pelukis dan pemahat tidak akan ada yang dapat membayangkan rupa Nabi Muhammad.
“Syukurlah kami mengetahui bahwa maksud buku ini adalah baik, tetapi mereka tidak mengetahui bahwasanya seluruh dunia Islam tidaklah suka akan patung Nabi Muhammad. Dan sekali-kali tidak ada patung Nabi Muhammad,” kata Hamka.
Baca juga: Gaya Rambut Nabi Muhammad
Hamka lalu menyarankan agar mengganti gambar Nabi Muhammad itu dengan gambar Ka’bah jika memang buku itu akan disebar. Mengenai hal itu, Hamka sempat membicarakannya dengan George Fadle Hourani, seorang profesor di Michigan University yang seorang Kristen Arab. Demi mendengar curhatan Hamka, sang profesor hanya menggelengkan kepala dan berkata: “Pengetahuan bangsa Amerika tentang kebudayaan Islam dan kebudayaan Arab masih sangat sedikit. Bagaimana Nabi Muhammad dapat dipatungkan, kami orang Arab yang berhak lebih dahulu.”
“Melihat contoh kejadian ini, dan melihat dalil-dalil perbuatan bangsa Amerika disegi lain, nyatalah bahwa maksud menghina atau menyinggung perasaam muslimin tidak ada. Mereka sekarang ini sedang berusaha betul-betul hendak mendekati hati umat Islam. Tetapi karena pengetahuan mereka masih sedikit, kadang-kadang yang disangka menghormati, telah menimbulkan penghinaan,” terang Hamka.