Masuk Daftar
My Getplus

Sel, Etik, dan Sains dalam Kasus Henrietta Lacks

Benturan batasan etik dan sains dalam eksperimen subjek manusia membawa kesadaran untuk menjaga hak-hak pasien/subjek penelitian.

Oleh: Mira Renata | 25 Jun 2010
Henrietta Lacks dan suaminya. (hopkinsmedicine.org).

Mary Kubicek, teknisi laboratorium Rumah Sakit John Hopkins pada 1951, tak pernah melihat jenazah dari dekat hingga ia mendapat tugas membantu seorang dokter melakukan otopsi. Untuk mengatasi kegelisahannya, Mary menghindari tatapan mata kosong jenazah perempuan di hadapannya dan mengalihkan pandangan ke organ tubuh lain. Pandangannya terantuk pada kuku jari kaki perempuan dengan cat kuku merah menyala.

“Ketika saya melihat kuku jari kakinya, saya hampir pingsan. Saya berpikir, Oh jeez, ia adalah seseorang. Saya mulai membayangkan ia berada di kamar mandi memoles kukunya. Untuk kali pertama saya tersentak bahwa sel-sel yang selama ini kami kerjakan dan kirim ke berbagai tempat berasal dari seorang perempuan hidup. Tak pernah saya berpikir seperti itu sebelumnya,” tutur Mary kepada jurnalis Rebecca Skloot dalam buku The Immortal Life of Henrietta Lacks.

Henrietta Lacks adalah seorang perempuan Amerika keturunan Afrika yang meninggal dunia akibat tumor leher rahim pada 4 Oktober 1951. Beberapa bulan sebelumnya, Henrietta menjalani operasi untuk menjinakkan tumor di rumah sakit yang sama. Tanpa meminta izin Henrietta, dokter yang mengoperasinya mengambil sampel jaringan sel tumor dan bagian rahimnya yang sehat. Kedua sampel segera dikirim kepada dr. George Gey, kepala laboratorium penelitian kultur jaringan. Dr. Gey, supervisor Mary, tengah melakukan ujicoba menumbuhkan kultur sel tubuh manusia untuk medium penelitian.

Advertising
Advertising

Baca juga: DNA dan Keragaman Manusia

Mary menceritakan kepada Skloot bagaimana ia memproses potongan sampel sel Henrietta dan memberi label tabung dengan nama depan dan belakang pasien, seperti kebiasaan pada masa itu: “HeLa” untuk Henrietta dan Lacks. Tabung HeLa dimasukan ke dalam inkubator. Di luar dugaan, sel tumor HeLa tumbuh pesat sementara sel rahimnya yang sehat tak bertahan hidup. Mary memindahkannya dari satu menjadi dua tabung, empat, enam, dan seterusnya.

Dr. Gey mulai membagikan sampel HeLa kepada beberapa peneliti.

Pada 1948, National Foundation for Infantile Paralysis (NFIP), sebuah yayasan polio Amerika Serikat yang dibentuk Presiden Roosevelt –lumpuh karena polio di usia 39 tahun– mendanai penelitian vaksin antipolio oleh peneliti dan virologist Jonas Salk. Ujicoba vaksin ini membutuhkan ketersediaan media kultur sel dalam jumlah besar untuk memastikan reaksi kekebalan yang terbentuk terhadap virus aktif polio.

Sebelum sel HeLa ditemukan, ujicoba vaksin untuk manusia membutuhkan media kultur sel yang umumnya berasal dari kera. Biayanya juga mahal. HeLa menjadi jawaban bagi ujicoba vaksin antipolio Salk. Ini mendorong NFIP, dan di kemudian hari berbagai institusi kesehatan Amerika, mendukung produksi HeLa secara massal bagi kebutuhan penelitian. HeLa menjadi kultur sel standar dalam berbagai penelitian kesehatan.

Baca juga: Menanti Vaksin Pembasmi Penyakit

Ujicoba vaksin antipolio Jonas Salk berhasil pada April 1955 dan mulai diberikan kepada anak-anak.

Skloot menyebutkan, selain vaksin antipolio, kanker, herpes, dan berbagai penyakit lainnya, sel HeLa juga membantu para ilmuwan menemukan bahwa sel manusia memiliki 46 kromosom. Penemuan ini membuka jalan bagi banyak penelitian terkait kelainan genetik pada manusia.

Namun hingga 20 tahun sejak kematiannya, tak satu pun anggota keluarga Lacks mengetahui kontribusi sel HeLa bagi dunia penelitian. Hingga seorang reporter majalah Rolling Stone, Michael Rogers, datang ke rumah mereka untuk mencari informasi lebih jauh mengenai Henrietta pada 1975. Ketika artikel Rogers terbit Maret 1976, untuk kali pertama keluarga Lacks dan publik mengenal sosok di balik HeLa, kontribusinya bagi penelitian kesehatan serta keuntungan komersil untuk bank sel dan perusahaan bioteknologi.

Artikel Rogers juga memicu perdebatan mengenai hak pasien terhadap sel tubuhnya dan pentingnya mendapatkan izin pasien/keluarga sebelum melakukan penelitian.

Empat tahun sebelum Henrietta meninggal, pengadilan militer internasional di Nuremberg, Jerman, 1947, mengadili 20 dokter Jerman karena menjadikan tahanan kamp konsentrasi Nazi sebagai subjek penelitian yang mematikan dengan dalih sains. Agar berbagai pelanggaran etik tak kembali terulang, sidang militer menetapkan Kode Etik Nuremberg (Nuremberg Code) pada 1947 –sepuluh prinsip dasar etik dalam setiap ujicoba sains dengan subjek manusia.

Baca juga: Tes DNA Buktikan Keragaman Manusia Indonesia

Prinsip pertama Nuremberg Code menyatakan, persetujuan subjek manusia secara sukarela adalah sebuah esensi mutlak. Peneliti bertanggung jawab menginformasikan tujuan, prosedur, manfaat, dan risiko penelitian dalam bahasa yang mudah dipahami oleh subjek atau walinya. Tapi Nuremberg Code bukanlah hukum sehingga tak mengikat. Pelanggaran etika masih kerap terjadi.

Henry K. Beecher, seorang pakar anestesi Amerika yang telah melakukan berbagai penelitian signifikan bagi dunia kesehatan seperti efek placebo dalam praktik medis, mengungkapkan keprihatinannya terhadap berbagai pelanggaran etik dalam dunia penelitian di New England Journal of Medicine, 1966. Artikel Beecher membahas 22 penelitian klinis dengan subjek manusia yang melanggar etik namun tetap mendapat tempat dalam berbagai jurnal penelitian ternama.

Tanpa menyebutkan nama peneliti maupun jurnal yang mempublikasikannya, Beecher mendeskripsikan pelanggaran etik dalam setiap kasus. Salah satunya penelitian yang menyuntikan sel HeLa kepada pasien kanker untuk mengetahui sistem kekebalan tubuh manusia terhadap serangan kanker. “Para pasien hanya mengetahui bahwa mereka akan mendapatkan ‘sejumlah sel’ melalui suntikan, namun tidak mendapat penjelasan bahwa itu adalah sel kanker –kata kanker sama sekali dihilangkan,” tulisnya. Artikel Beecher menjadi acuan penerapan hukum federal Amerika untuk melindungi subjek manusia dalam penelitian, termasuk keharusan mendapatkan informed consent (persetujuan subjek setelah penjelasan).

Baca juga: Perjalanan Mencari Ayah yang Sah

Pada 1964, World Medical Association sebenarnya sudah meluncurkan Deklarasi Helsinki, yang mendefinisikan prinsip-prinsip etik dalam penelitian dengan subjek manusia. Deklarasi Helsinki menekankan peran Komite Etik di setiap negara untuk tetap independen, memperhatikan peraturan dan kebiasaan yang berlaku dalam wilayah negaranya, serta menjaga standar etik internasional. Deklarasi Helsinki terus mengalami perbaikan, dan yang terakhir adalah tahun 2008.

Selain itu, Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat pada 1996 menerbitkan sebuah panduan harmonisasi standar etik dalam kegiatan penelitian klinis yaitu International Conference on Harmonisation Good Clinical Practices (ICH GCP). Baik Deklarasi Helsinki dan ICH GCP kini menjadi panduan untuk semua negara dalam melakukan penelitian, termasuk Indonesia.

Namun, seperti dikatakan Henry K Beecher, semua perangkat panduan dan peraturan etik belum cukup. Dia tak sepenuhnya percaya mekanisme etik sebagai satu-satunya jaminan. “…sebuah pernyataan bahwa informed consent telah diperoleh tidak bermakna apapun kecuali jika subjek maupun anggota keluarganya mampu memahami sepenuhnya apa yang akan dilakukan dan risiko yang ditanggung… Kehadiran seorang peneliti (investigator) yang cermat, bertanggungjawab, perhatian, simpatik dan berwawasan selama penelitian merupakan sebuah jaminan yang lebih dapat diandalkan.”

TAG

kesehatan kedokteran

ARTIKEL TERKAIT

Al-Shifa, dari Barak Inggris hingga Rumah Sakit Terbesar di Gaza Di Balik Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia Minyak Mujarab Resep Rahasia Keraton Sumbawa Peran Calon Dokter dari Indonesia Timur dalam Kemerdekaan Dr. Raden Rubini Natawisastra, Pahlawan Nasional dari Kalimantan Barat Jejak J.A. Kaligis, Dokter Hewan Bumiputra Pertama Awal Mula Dokter Hewan di Indonesia RSUD Pertama di Jakarta Enam Hal Terkait Medis Sardjito dan Biskuit Anti Lapar untuk TNI