Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh dalam upacara di Istana Negara Jakarta, Senin, 7 November 2022. Kelima tokoh tersebut antara lain DR. dr. H.R. Soeharto (Jawa Tengah), KGPAA Paku Alam VIII (DI Yogyakarta), dr. Raden Rubini Natawisastra (Kalimantan Barat), H. Salahuddin bin Talibuddin (Maluku Utara), dan K.H. Ahmad Sanusi (Jawa Barat).
Dua dari lima tokoh itu adalah dokter, yaitu dr. H.R. Soeharto dan dr. Raden Rubini Natawisastra. Dr. Rubini telah diabadikan sebagai nama jalan dan Rumah Sakit Umum Daerah di Mempawah, Kalimantan Barat.
Siapakah dr. Rubini?
Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 27 Mei 1919, memberitakan, Rubini menjadi salah satu pemuda yang lulus ujian masuk Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) tahun 1919. Ada lima pemuda dari Bandung yang lolos ujian masuk sekolah kedokteran untuk bumiputra itu. Selain Rubini, empat orang lainnya adalah Sabiroedin, Amiroesen, Joesoef, dan Soedibyo.
Selama menempuh pendidikan di Stovia, Rubini dikenal sebagai siswa yang aktif dalam olahraga, mulai dari anggar hingga sepakbola. Pria yang lahir di Bandung pada 31 Agustus 1906 itu bergabung dalam kesebelasan sepakbola Stovia. Dia bersama Rehatta, Kapitan, dan Luhukay dikenal sebagai pemain sepakbola andal.
Baca juga: Abdoel Moeis, Pahlawan Nasional Pertama
Kelihaian Rubini dalam mengolah si kulit bundar membawa kemenangan bagi kesebelasan Stovia melawan tim sepakbola dari Sekolah Tinggi Hukum dalam pertandingan untuk memeriahkan peringatan 75 tahun Stovia. Bataviaasch Nieuwsblad, 18 September 1926, melaporkan, kesebelasan Stovia memenangkan pertandingan dengan skor 5-1 atas tim sepakbola Sekolah Tinggi Hukum. Rubini mencetak satu gol.
Kesukaannya bermain sepakbola tak membuat Rubini mengabaikan pendidikan sebagai calon dokter. Dalam surat kabar De Locomotief, 5 Mei 1931, diumumkan, Rubini dipromosikan menjadi dokter pemerintah Hindia Belanda. Nama lain yang turut dipromosikan menjadi dokter pemerintah antara lain Dalliloedin Loebis, J. Leimena, R.M. Soekasno, Oey Kim San, dan Tan Kiat Boen.
Setelah lulus dari Stovia, dr. Rubini bertugas sebagai tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Pusat Pemerintah (Centrale Burgelijke Ziekenhuis) di Batavia hingga dipindahkan ke Pontianak, Kalimantan Barat pada 1934. Pengumuman mutasi Rubini tercantum dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 29 Agustus 1934. Saat bertugas di Kalimantan Barat, dr. Rubini mengabdikan diri untuk kemanusiaan dengan menjadi dokter keliling ke daerah terpencil dan pedalaman.
Baca juga: Depati Amir, Pahlawan Nasional dari Pulau Timah
Menurut buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Volume 2, Dinas Kesehatan di Kalimantan Barat dipimpin oleh seorang Residentie Arts yang berkedudukan di Pontianak dan membawahkan dokter-dokter di daerah: dr. Rubini di Pontianak, dokter militer Belanda di Singkawang, dr. Ismail di Sambas, dokter militer Belanda di Sintang, dr. Achmad Diponegoro di Putus Sibau, dr. Soedarso di Sanggau, dr. Soeharso di Ketapang, dan dr. Salekan di Mempawah.
Pada 1941, menjelang pendudukan Jepang, Dinas Kesehatan di Kalimantan Barat dipimpin oleh seorang dokter tentara KNIL, yang diawasi oleh seorang Inspektur Kesehatan yang dijabat oleh dr. Raden Soesilo.
Selain bertugas sebagai dokter di Pontianak, dr. Rubini juga terlibat dalam pergerakan kemerdekaan dengan menjadi anggota Partai Indonesia Raya (Parindra). Parindra berkembang dengan cepat di berbagai daerah di Kalimantan Barat di bawah pimpinan para Digulis, seperti R. Mahmud Susilo Suwignyo. Ia terpilih sebagai ketua Parindra wilayah Kalimantan Barat dalam Konferensi Parindra se-Kalimantan Barat pada 1939. Tokoh lainnya yang duduk dalam pimpinan wilayah adalah dr. Rubini.
Baca juga: KH Syam'un, Pahlawan Nasional dari Banten
Pada permulaan zaman Jepang, setelah keributan waktu pendaratan tentara Jepang di berbagai tempat di Kalimantan Barat dan penduduk mulai tenang kembali, pekerjaan di bidang kesehatan berjalan seperti biasa. Perbedaannya hanya pasien tidak begitu ramai mengunjungi fasilitas-fasilitas pengobatan seperti dulu.
“Pimpinan Kesehatan pada permulaan dipegang oleh Sdr. dr. Rubini dengan jabatannya sebagai Eiseikakanco,” tulis buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Volume 2. Di bawah pimpinan dr. Rubini, mulailah pekerjaan-pekerjaan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang diterapkan oleh pemerintah pendudukan Jepang dalam keadaan jauh berbeda daripada waktu masih di bawah pemerintah Hindia Belanda. Rumah sakit dan poliklinik dibuka, serta turne ke daerah-daerah dimulai lagi. Tenaga kesehatan tidak banyak mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas, kecuali kurangnya alat-alat dan obat-obatan.
Namun, keadaan secara umum segera berubah. Menurut buku Tandjungpura Berdjuang: Sedjarah Kodam XII/Tandjungpura, Kalimantan Barat, pemerintah militer Jepang (Minseibu) menunjukkan kekejamannya dengan memeras sumber daya alam dan memaksa rakyat untuk mengumpulkan bahan makanan untuk kepentingan perang. Bahan makanan pun menjadi sulit yang mengakibatkan kelaparan, ditambah lagi Jepang melakukan penindasan dan penyiksaan.
Baca juga: Sultan Baabullah, Pahlawan Nasional dari Ternate
Selain melarang perkumpulan-perkumpulan yang bersifat politik, menurut buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat, Jepang juga memberlakukan peraturan dan larangan yang tidak disukai rakyat, seperti larangan menyimpan senjata termasuk senapan untuk berburu dan larangan mengadakan pesta perkawinan atau kenduri.
Penindasan dan penyiksaan Jepang memicu perlawanan rakyat. Pang Suma, seorang pemuka suku Dayak di Meliau, memimpin rakyat melawan pasukan Jepang yang dipimpin oleh Kapten Nagatani, seorang perwira Kenpeitai, yang dikirim dari Pontianak. Nagatani yang dikenal sebagai perwira cakap dan tangguh tewas dalam pertempuran itu.
Kegagalan ekspedisi yang dipimpin Nagatani menggemparkan para pejabat Minseibu di Pontianak. Mereka berkesimpulan bahwa kemenangan gerakan rakyat di Meliau dan Tayan itu pasti akan mengobarkan perlawanan di tempat lain. Oleh karena itu, mereka meningkatkan kewaspadaan dengan mencurigai para pejabat Indonesia dalam Minseibu dan raja-raja.
“Kaum intelektual Indonesia dan raja-raja merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan rakyat, terpaksa mengambil langkah untuk melawan Jepang, yang mereka anggap sudah kelewat batas dalam melakukan penindasan terhadap rakyat,” tulis buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat.
Baca juga: Arnold Mononutu, Putra Minahasa jadi Pahlawan Nasional
Gerakan bawah tanah di Pontianak berhubungan dengan gerakan bawah tanah di Banjarmasin. Tandjungpura Berdjuang menyebut pada awal tahun 1943, dr. Soesilo dan kawan-kawannya dari Banjarmasin datang ke Pontianak untuk mengadakan permufakatan dengan dr. Rubini dan pemuka-pemuka lainnya. Mereka menyatakan tekad untuk melawan Jepang.
Namun, Jepang berhasil menggulung gerakan bawah tanah itu. Setelah kembali ke Banjarmasin, dr. Soesilo ditangkap dan dieksekusi mati. Sementara di Pontianak, Jepang melakukan penangkapan massal pada 23 Oktober 1943, seminggu setelah rapat rahasia yang dihadiri tokoh-tokoh gerakan bawah tanah di Pontianak.
“Rupanya rapat itu diketahui oleh mata-mata Kenpeitai… Penangkapan berlangsung sejak saat itu sampai saat menyerahnya Jepang,” tulis buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat.
Penangkapan para tokoh gerakan bawah tanah itu diumumkan dalam surat kabar Borneo Shimbun, 1 Juli 1944. Surat kabar itu hanya memuat nama tokoh-tokoh terkenal termasuk dr. Rubini.
Baca juga: Sultan Hamid II dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional
Menurut Abu Hanifah, dokter lulusan Stovia, dalam memoarnya, Tales of A Revolution, sejumlah dokter menjadi korban pembantaian Jepang, di antaranya dr. Raden Soesilo yang dikenal sebagai ahli malaria terkenal di Lembaga Eijkman yang juga merupakan adik salah satu pendiri Boedi Oetomo; dr. Achmad Diponegoro yang merupakan keturunan langsung Pangeran Diponegoro; serta dr. Rubini dan istrinya di Pontianak.
Abu Hanifah menyebut Jepang memutuskan proses eksekusi dr. Rubini disaksikan oleh istri dan anak-anaknya. Jepang membawa Nyonya Rubini dan anak-anaknya, yang tengah berada di Jawa untuk mengunjungi keluarganya, kembali ke Pontianak dengan dalih dr. Rubini membutuhkan keluarganya karena sedang sakit.
“Dr. Rubini dan istrinya kemudian dipenggal di depan anak-anak mereka. Saya melihat anak-anak ini setelahnya dan mereka masih agak shock,” kata Abu Hanifah.*
Baca juga:
Kisah selengkapnya tentang dr. Raden Soesilo baca di Historia Premium: Dokter dalam Daftar Kematian