SUARA senapan mesin Jepang terdengar dari pinggir pantai Bojong Anyer, Banten. Anggota Pembela Tanah Air (PETA) lagi menembaki sebuah kapal selam milik Sekutu. Badan kapal tak tampak. Sepenuhnya berada di dalam air. Hanya periskop kelihatan sedikit di permukaan. Kapal selam itu cepat masuk air. Tembakan dari anggota PETA pun berhenti.
Seorang penembak kapal selam itu bernama KH Syam’un. Dia menjabat daidanco (komandan batalion) PETA wilayah Cilegon-Serang, Banten, sejak November 1943. Jepang punya alasan memilihnya sebagai daidanco. KH Syam’un tokoh agama berpengaruh. Hal ini terbukti pada peristiwa kemunculan kapal selam Sekutu pada 30 Juni 1945 itu.
Seorang anak buah KH Syam’un menolak perintah opsir Jepang. Dia hanya mau menembak bila perintah itu berasal dari KH Syam’un. Menurutnya, KH Syam’un bukan hanya pemimpin dalam kesatuan, melainkan juga guru agamanya. Demikian catatan Mansyur Muhyidin dalam Karya Ilmiah Berdasarkan Pengalaman Anak-Anak K.H. Sjam’un seperti dikutip oleh Rahayu Permana dalam "Kiai Haji Sjam’un: Gagasan dan Perjuangannya," tesis di Universitas Indonesia.
Brigjen KH Syam’un lahir di Kampung Beji, Cilegon, Banten, pada 15 April 1883. Ibunya bernama Siti Hadjar, putri K.H. Wasid, tokoh perlawanan petani Banten terhadap pemerintah kolonial pada 1888. Ayahnya bernama H. Alwidjan yang meninggal di Sumatra ketika KH Syam’un masih kecil. Makam dan silsilahnya hingga kini belum diketahui secara jelas.
Baca juga: Jalannya pemberontakan petani Banten 1888
KH Syam’un remaja memperoleh pendidikan di pesantren Dalingseng milik KH Sa’i pada 1901. Dia pindah ke pesantren Kamasan, asuhan KH Jasim di Serang pada 1904. Tahun berikutnya, KH Syam’un belajar ke Mekkah. Dia menghabiskan waktu lima tahun di Mekkah, lalu bergerak ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dari 1910 hingga 1915.
Memperbarui Pesantren
Usai memperoleh ijazah Al-Azhar, KH Syam’un kembali ke Mekkah untuk mengajar di Masjid al-Haram. Muridnya dari aneka suku bangsa. Yang terbanyak dari Jawa. Meskipun cuma setahun mengajar, di sini namanya mulai sohor sebagai “Ulama Banten yang besar." KH Syam’un pulang ke Hindia Belanda pada 1915.
Menurut Rahayu, KH Syam’un meletakkan ilmu pada tingkat paling atas dalam pencapaian kehidupan manusia. Dia juga memiliki gagasan tentang hubungan ilmu pengetahuan dan masyarakat. “Bahwa pendidikan merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengatasi segala persoalan hidup,” ungkap Rahayu.
Wujud gagasan KH Syam’un terlihat dari pendirian pesantren di Citangkil, Cilegon, pada 1916. Sepuluh tahun awal, materi ajarnya masih terbatas pada ilmu agama seperti tata bahasa Arab, fikih, hadits, tafsir, dan akidah. Santrinya pun hanya berjumlah puluhan. Lama-kelamaan pesantren Citangkil berkembang. Tidak hanya dari jumlah santri, melainkan juga materi ajar dan metode pembelajaran.
KH Syam’un menggabungkan pola pendidikan tradisional pesantren dengan sekolah modern pada 1926. “K.H. Syam’un berusaha mengembangkan rasionalitas Islam dengan seruan kembali kepada ajaran Islam yang pokok,” tulis Abdul Malik dkk., dalam Jejak Ulama Banten Dari Syekh Yusuf Hingga Abuya Dimyati. Pada tahun ini pula, KH Syam’un bergabung dengan Nahdlatul Ulama.
Baca juga: Doktrin pemberontakan petani Banten 1888
KH Syam’un membuat kurikulum baru dengan memasukkan mata pelajaran sekolah modern seperti matematika, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu bumi, kosmografi, sejarah, bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan kegiatan ekstrakurikuler seperti kepanduan, kesenian, dan olahraga. Dia juga mulai menerapkan pembelajaran dalam ruang kelas secara berjenjang, sesuai tingkatan umur santri.
Perubahan corak pesantren Citangkil seiring pula dengan perubahan nama pesantren menjadi Perguruan Islam Al-Khaeriyah. Cabang-cabangnya bermunculan di sejumlah wilayah Banten pada 1929. Dan pada 1936, KH Syam’un mendirikan sekolah dasar umum, Hollandsch Inlandsch School.
Selain mendirikan lembaga pendidikan, KH Syam'un juga mengabadikan gagasannya lewat kitab. Dia menulis kitab tentang akidah, fikih, akhlak, dan sejarah. Publikasi karya-karya tersebut hanya terbatas pada kalangan pesantren, tapi mempunyai peran penting dalam pembentukan karakter santri-santrinya.
Setelah kekuasaan pemerintah kolonial berakhir pada 1942, KH Syam’un menjadi salah satu tokoh yang didekati oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk merebut simpati rakyat Banten. Kiprah KH Syam’un di ranah pendidikan terekam oleh pemerintah pendudukan Jepang. Namanya muncul dalam buku Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa terbitan Gunseikanbu tahun 1944.
Baca juga: Pemberontakan untuk memulihkan Kesultanan Banten
Jepang mengajak KH Syam’un bergabung bersama PETA pada November 1943 sebagai daidanco atau komandan batalion. Nugroho Notosutanto dalam Tentara Peta Pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia mengungkapkan bahwa Jepang selalu mengincar tokoh rakyat seperti pemimpin partai, agama, kiai, dan pamong praja untuk duduk sebagai daidanco.
KH Syam’un sebenarnya terpaksa menerima ajakan itu. Jepang mewanti-wanti jika KH. Syam’un menolak, perguruan Al-Khaeriyah akan ditutup. Tetapi KH Syam’un kemudian memandang keputusannya bergabung ke PETA ada gunanya juga. Dia mempelajari taktik dan strategi militer.
“Bahwa pendidikan Islam sesuai dengan kemiliteran. Ini baik bagi pemuda-pemuda kita. Dan saya sering menceritakan pada mereka tentang penghidupan dan perjuangan pahlawan-pahlawan Islam,” kata KH Syam’un dalam Asia Raja No. 35, 8 Februari 2604 (1944). KH Syam’un bahkan mendorong santri-santrinya di Citangkil untuk turut ikut PETA.
Keputusan KH Syam’un bergabung ke PETA tak mengurangi kadar wibawanya di Banten. Dia justru makin banyak beroleh penghormatan. Anak buahnya mematuhi perintahnya lebih dari sekadar seorang komandan, tetapi juga mematuhinya selayaknya guru dan bapak.
Meredakan Kekacauan
KH Syam’un menggunakan wibawa dan kecakapan militernya untuk memulihkan keadaan Banten setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Sentimen anti-pamong praja dan anti-Priangan merebak di Banten. Sebab kebanyakan pejabat yang dekat dengan pemerintah Kolonial dan Jepang berasal dari wilayah Priangan.
Pembunuhan terhadap pejabat setempat kerapkali terjadi sehingga menyebabkan pejabat yang masih hidup mengungsi. Posisi Residen —sekarang setingkat gubernur— Banten pun kosong. Untuk mengisi kekosongan tersebut, perwakilan golongan masyarakat Banten (jawara, pemuda, dan wanita) menggelar pertemuan di rumah Raden Dzoelkarnaen Soeria Karta Legawa, Dewan Penasehat Karesidenan Banten, pada akhir Agustus 1945.
“Pertemuan secara aklamasi memilih KH Tb. Achmad Chatib sebagai Residen Banten yang menangani pemerintahan sipil. Untuk itu, mereka mendesak Pemerintah Pusat agar segera mengangkatnya dan untuk menangani urusan militer diserahkan kepada KH. Syam’un,” tulis Suharto dalam Banten Masa Revolusi 1945—1949, disertasi di Universitas Indonesia.
Baca juga: Proklamasi kemerdekaan sampai di Banten
Pemerintah pusat menyetujui hasil pertemuan itu melalui radiogram tanggal 2 September 1945. KH Tb. Achmad Chatib mulai menyusun personalia pemerintahan daerah Banten, membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID, semacam parlemen sementara), dan menyerahkan tanggung jawab pendirian Badan Keamanan Rakyat di seluruh wilayah Banten kepada KH Syam’un.
Personalia pemerintahan daerah dan KNID bentukan KH Tb. Achmad Chatib ternyata masih menggunakan orang-orang lama. Pertimbangannya adalah kemampuan mereka dalam urusan administrasi. Tetapi sekelompok orang di bawah pengaruh Tje Mamat, tokoh perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1926, tidak klop dengan pertimbangan tersebut.
Tje Mamat ingin orang-orang baru duduk di pemerintahan daerah. Orang-orang yang tak punya hubungan dengan kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. Keinginannya diwujudkan dalam bentuk Dewan Rakyat, pemerintahan tandingan, di Ciomas pada Oktober 1945. Aksi Tje Mamat ini memperumit keadaan Banten yang tengah siaga menghadapi kedatangan tentara Sekutu.
Sementara itu, KH Syam’un telah berhasil menyusun struktur militer Banten. Dia memperoleh tugas dari KH Tb. Achmad Chatib untuk menghantam gerakan Tje Mamat. Dia berhasil menaklukkan gerakan Tje Mamat pada awal Januari 1946.
Selesai berurusan dengan Tje Mamat, KH Syam’un menghadapi tentara NICA dan Sekutu. Dalam periode ini, dia bertindak sebagai Panglima Divisi 1000/ 1 —kelak menjadi Divisi Siliwangi— sampai Maret 1947. KH Syam’un berperan menahan infiltrasi NICA dan Sekutu ke Banten.
Wafat dalam Perjuangan
Ketika terjadi Agresi Militer Belanda pertama pada 21 Juli 1947, KH Syam’un menjabat bupati di Serang. Tentara Belanda berhasil memblokade wilayah Banten sehingga pasokan kebutuhan pokok dan uang Republik berkurang. KH Syam’un menyumbangkan mesin cetaknya untuk memproduksi uang khusus yang disetujui oleh pemerintah Indonesia.
Agresi Militer Belanda kedua pada Desember 1948 turut menyasar kota Serang. Tentara Belanda berhasil memasuki kota ini dan menangkap beberapa pejabat. Tetapi KH Syam’un lolos dari sergapan tentara Belanda. Dia berpindah-pindah tempat untuk memimpin perlawanan terhadap tentara Belanda. Di banyak tempat dia singgah, dia bertemu dengan gerilyawan Republik dan memberi mereka semangat.
KH Syam’un wafat di Gunung Cacaban Anyer pada 2 Maret 1949, tak lama setelah bertemu dengan gerilyawan. Atas peran dan jasanya kepada bangsa dan negara, KH Syam’un ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi pada 8 November 2018.