Serangan pembuka
Senin, 9 Juli 1888, pukul 02.00 dini hari. Sekitar 100 orang pemberontak bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja, menyerang rumah Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor asisten residen. Dumas melarikan diri dan bersembunyi di rumah tetangganya, seorang jaksa. Istri Dumas terluka dengan dua anak pertamanya berlindung di rumah ajun kolektor. Minah, pembantu Dumas berusaha melindungi anak bungsu majikannya.
Pembagian pasukan
Para pemberontak yang berjumlah ratusan berkumpul di markas di Pasar Jombang Wetan. Haji Wasid, pemimpin utama pemberotak, membagi para pemberontak menjadi tiga pasukan. Pasukan pertama dipimpin Lurah Jasim, seorang jaro Kajuruan, pasukan kedua dipimpin Haji Abdulgani dan Haji Usman, dan pasukan ketiga dipimpin Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman. Sasaran serangan: penjara untuk membebaskan tahanan, kepatihan, dan rumah asisten residen di alun-alun Cilegon.
Serangan umum
Haji Tubagus Ismail dan pasukannya menemukan Dumas yang bersembunyi di rumah seorang Tionghoa, Tan Heng Kok. Dumas menjadi korban pertama. Istrinya dan anak laki-lakinya, Alfred Dumas, terluka lalu dibawa oleh ajun kolektor ke kepatihan. Minah dan anak bungsu Dumas ditemukan di tengah sawah dalam keadaan hidup namun luka parah. Anak kecil itu meninggal pada 24 Juli 1888, sedangkan Minah dibawa suaminya, Kamid, ke rumah sakit Serang dan dirawat sampai 13 September 1888. “Babu yang berani itu kemudian dianugerahi bintang perunggu, tanda jasa dan setia. Dia perempuan desa yang untuk pertama kalinya dihiasai dengan bintang jasa,” kata Achmad Djajadiningrat dalam memoarnya.
Pasukan Haji Tubagus Ismail menyerang rumah asisten residen, Johan Hendrik Hubert Gubbels, yang sedang mendampingi residen mengadakan inspeksi ke Anyer. Mereka mendapati dua anak Gubbels, Elly dan Dora, dan menghabisinya dengan kejam.
Haji Usman dan pasukannya menyerang Ulric Bachet, kepala penjualan garam. Bachet bersembunyi di rumah penduduk di belakang rumahnya. Sempat melepaskan tembakan yang menewaskan dua pemberontak, namun akhirnya dia pun dibunuh.
Pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim bergerak menuju rumah jaksa dan ajun kolektor. Anak ajun kolektor, Kartadiningrat yang bisa pencak silat, mengadakan perlawanan. Dengan senjata limbukan (gada panjang dari kayu yang berat), Ketjik –nama kecilnya– berhasil melumpuhkan beberapa pemberontak. Namun, dia akhirnya dihabisi oleh para pemberontak yang jumlahnya banyak.
Sebagian pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim bergerak menuju penjara dan membebaskan sekitar 20 tahanan. Seorang sipir penjara, Mas Kramadimeja, tewas. Istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, wedana, dan kepala penjara, berhasil meloloskan diri menjuju ke kepatihan. Para pemberontak mengepung rumah kepatihan untuk mencari Patih Raden Penna, namun tidak di tempat. Pemberontak membunuh seorang pelayan patih, Sadiman.
Para pemberontak membawa Wedana Cilegon, Raden Cakradiningrat, Jaksa Cilegon Mas Sastradiwiria, dan Ajun Kolektor Raden Purwadiningrat, ke alun-alun untuk dieksekusi. Bekas tahanan, Kasidin, melampiaskan dendamnya kepada wedana Cilegon yang menjebloskannya ke penjara. Beberapa orang bersuara agar jangan menganiaya wedana. Tetapi, Kasidin melompat ke muka sambil berteriak, “justru ini yang mesti didahulukan!” “Maka ditebasnyalah leher saudara sepupuku itu dengan parangnya,” kata kata Achmad Djajadiningrat.
Para pemberontak kemudian membunuh Jacob Grondhout, insinyur pengeboran pada departemen petambangan di Cilegon, dan istrinya, Cecile Wijermans. Para pemberontak juga menghabisi Mas Asidin (magang yang diperbantukan pada asisten wedana Bojonegara), Mas Jayaatmaja (mantri ulu atau pegawai pengairan distrik Cilegon), Jamil (kepala opas asisten residen Anyer), Jasim (pelayan asisten wedana Krapyak Cilegon).
Gubbels bergegas kembali ke rumahnya di alun-alun Cilegon. Dia lebih baik mati bila anak-anak dan istrinya telah mati. Dia tewas di dalam rumahnya. “Mayatnya kemudian diseret ke luar rumah dan disambut dengan pekik kemenangan yang gemuruh; asisten residen, alat utama pemerintah kolonial, sudah mati,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
Penumpasan Pemberontakan
Setelah menduduki Cilegon, Haji Wasid memimpin para pemberontak menuju Serang untuk merebut ibukota karesidenan dan menghabisi para pegawainya, baik pribumi maupun Eropa. Sementara itu, bupati dan kontrolir Serang serta Letnan van ser Star membawa sepasukan tentara bersenjatkan 28 senjata api berangkat ke Cilegon. Terjadi pertempuran di Toyomerto. Tentara berhasil memukul para pemberontak dengan menewaskan sembilan orang dan beberapa luka-luka. Para pemberontak terkejut karena untuk kali pertama melihat senapan jenis baru, bukan senapan jenis achterlader yang digunakan untuk menumpas pemberontakan Haji Wakhia pada 1850. Moril kaum pemberontak terpatahkan; pasukan induk bercerai-berai, pemberontakan pun mulai surut. “Oleh karena itu, kekalahan di Toyomerto dapat dianggap sebagai titik balik dalam jalannya pemberontakan itu,” tulis Sartono.
Tersiar sasus ke Batavia bahwa pemberontakan berkobar di seluruh Banten dan Serang dikepung oleh 5.000 pemberontak. Informasi yang samar-samar itu membuat pemerintah di Batavia mengirimkan kekuatan yang begitu kuat. Satu batalion mendarat di Pelabuhan Karangantu. Dalam waktu bersamaan, kavaleri juga dalam perjalanan menuju Serang.
Tentara telah menawan ratusan pemberontak, namun para pemimpinnya belum juga ditemukan. Pemerintah pun menjanjikan imbalan 1.000 gulden bagi siapa saja yang dapat menangkap pemimpin-pemimpin pemberontak.
Haji Wasid dengan 27 orang (pemimpin dan pengikut) –kemudian menyusut menjadi 21 orang– memutuskan mundur ke belantara Banten Selatan melalui rute sepanjang pantai barat. Rencana ini, menurut Sartono, didasarkan atas janji yang telah diberikan oleh Haji Marjuki bahwa dia akan kembali dengan Kiai Agung Abdul Karim dan haji-haji terkemuka lainnya dari Mekah untuk menggabungkan diri dalam perjuangan –apabila mereka dapat melanjutkan jihad selama setahun lagi. Pemimpin lain, Haji Madani, Haji Jahli, dan Agus Suradikaria, menolak ikuti ke Banten Selatan dan memisahkan diri.
Pada 17 Juli 1888, Haji Iskak menjadi pemimpin pertama yang tewas setelah menyerang tentara. Beberapa hari kemudian, Haji Madani, Haji Jahli, Agus Suradikaria, Haji Nasiman, Haji Kasiman, dan Haji Arbi, menemui ajalnya.
Sementara itu, Haji Wasid dan pemimpin serta pengikutnya long march ke arah Banten Selatan. Pada 30 Juli 1888, ekspedisi tentara mengakhiri pelarian mereka di daerah Sumur. Para pemberontak memberikan perlawanan meski akhirnya dilumpuhkan. Tentara membawa mayat mereka ke Cilegon dan diidentifikasi sebagai Haji Wasid, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani, dan Haji Usman. Dua mayat jatuh ke sungai dan dinyatakan hilang meski kemudian satu mayat ditemukan. Sementara itu, Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban, Akhmad, Yahya, dan Saliman, meloloskan diri. Bahkan, Haji Sapiudin, Haji Kalipudin, dan Haji Abdulhalim, melarikan diri sampai ke Mekah.
“Operasi pengejaran dilancarkan sampai ke Jedah dan Mekah, di mana kiai-kiai Banten yang terkemuka –seperti Haji Abdul Karim dan Haji Marjuki– terus dimata-matai oleh agen Belanda. Sesungguhnya pihak berwajib menganggap kedua haji itu sebagai dalang utama gerakan pemberontakan,” tulis Sartono.
Korban Pemberontakan
Korban tewas oleh pemberontak: 17 orang. Korban luka-luka oleh pemberontak: 7 orang. Pemberontak yang tewas: 30 orang, 11 di antaranya dihukum gantung. Pemberontak yang luka-luka: 13 orang. Pemberontak yang dibuang: 94 orang. Tempat pembuangan: Tondano, Gorontalo, Padang, Kupang, Salayar, Kema (Minahasa), Padang Sidempuan, Maros, Ternate, Ambon, Muntok, Payakumbuh, Banda, Bantaeng, Manado, Fort de Kock (Bukittinggi), Bengkulu, Pariaman, Saparua, Pacitan, Balangnipa (Sinjai, Sulawesi Selatan).