Sultan Baabullah, penguasa Kesultanan Ternate 1570–1583, memperoleh gelar Pahlawan Nasional secara resmi pada 10 November 2020. Keputusan tersebut berlandas pada perjuangannya melawan kesewenang-wenangan Portugis di Maluku. Dia menjadi tokoh Maluku Utara kedua yang menjadi Pahlawan Nasional setelah Sultan Nuku pada 1995.
Rekomendasi menjadikan Sultan Baabullah sebagai Pahlawan Nasional bermula pada November 1996. Kala itu diskusi ilmiah "Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutra" digelar oleh tim gabungan dari Dirjen Kebudayaan Kemdikbud dan Pemda Provinsi Maluku.
Para arkeolog dan sejarawan terkemuka seperti Hasan M. Ambary, Uka Tjandrasasmita, A.B. Lapian, dan R.Z. Leirissa menjadi pembicaranya. Tujuh rekomendasi keluar. Salah satunya tentang usul Sultan Baabullah agar menjadi Pahlawan Nasional. Tapi belum ada upaya untuk menindaklanjuti rekomendasi mereka. Hingga akhirnya upaya itu dimulai pada 2012.
Baca juga: Pengabdi VOC dari Ternate
Berbagai penerbitan dan seminar tentang Sultan Baabullah mulai gencar digelar. Salah satu seminar berlangsung di Universitas Indonesia pada Desember 2019, menghadirkan sejarawan Bondan Kanumoyoso dan Susanto Zuhdi. Bondan mengatakan Sultan Baabullah sebagai pembangun kekuatan lokal untuk membendung dominasi Portugis di Maluku.
"Kekuatan lokal itu dibangun dengan strategi dan taktik kemaritiman yang kuat. Artinya sosok Baabullah dalam konteks hari ini menginspirasi sejarah kemaritiman kita," kata Bondan. Sementara Susanto Zuhdi menyatakan laku lampah Sultan Baabullah tersua dalam banyak arsip Portugis di Lisbon.
Memimpin Ekspedisi Sejak Muda
Sultan Baabullah lahir pada 10 Februari 1528. Nama kecilnya Kaicil Baru. Dia putra sulung Sultan Khairun Jamilu, penguasa Ternate 1535–1570, dan permaisuri Boki Tanjung, putri tertua Sultan Bacan. Ayahnya sempat ingin mengirimnya ke Kolese Santo Paulo di Goa, India. Tapi dia membatalkannya dan memilih mengajar Kaicil Baru di rumah.
Baabullah remaja telah menunjukkan pribadi berani dan ksatria. Dia kemudian masuk dalam barisan pasukan Ternate dan menjabat Kapita Laut, jabatan militer tertinggi dalam struktur Kesultanan Ternate. Tugasnya memimpin ekspansi Ternate ke sejumlah wilayah Sulawesi Utara dan Tengah.
Baabullah menjadi Sultan Ternate setelah ayahnya gugur di tangan orang Portugis pada 1570. Pembunuhan itu berlatar ekonomi dan politik penyebaran agama.
Baca juga: Akhir Tragis Sultan Khairun di Tangan Portugis
"Khairun merupakan tokoh yang selama ini menjadi kendala utama baik di bidang perdagangan maupun pelaksanaan konversi keagamaan," catat sejarawan Adnan Amal dalam Tahun-Tahun yang Menentukan: Babullah Datu Syah Menamatkan Kehadiran Portugis di Maluku.
Keberadaan Sultan Khairun memperlambat upaya Portugis menguasai perdagangan rempah dan mengonversi penduduk ke Katolik di Maluku. Mereka menduga pembunuhan akan melapangkan misi mereka. Tapi mereka salah. Sultan Baabullah sebagai penggantinya ternyata mempunyai sikap serupa ayahnya. Dia tak mau begitu saja tunduk pada keinginan Portugis.
"Dalam pidato penerimaan jabatan seusai dilantik sebagai Sultan Ternate ke-8, Bab –demikian panggilan akrab rakyat Ternate kepada dirinya– bersumpah menuntut balas atas kematian ayahnya," lanjut Adnan.
Mencari Pembunuh Ayahnya
Tindakan pertama Baabullah adalah mengirim enam juanga (perahu besar) khas Ternate ke Hitu, Ambon. Masing-masing berisi 100 orang tentara per juanga. Tujuan pengiriman pasukan ke benteng Portugis ini untuk mencegah datangnya bantuan ke Ternate. Sebab saat bersamaan, pasukan Baabullah juga mengepung benteng lain Portugis di Benteng Gamlamo di desa Kastela, Ternate.
Tapi pasukan Baabullah kecele. Sampai di Hitu, pasukan Baabullah menemukan benteng sudah kosong melompong. Duarte de Menezez, pemimpin benteng, kabur ke Leitimor, Ambon. Tapi di benteng Ternate, orang-orang Portugis masih ada. Baabullah meminta agar Diego Lopez de Mesquita menyerahkan pembunuh ayahnya untuk diadili.
Baca juga: Sultan Himayatuddin, Pahlawan Nasional dari Buton
Selain itu, Baabullah juga menyurati Raja Portugis di Lisbon. Isinya serupa. Jika Portugis bersedia bertindak adil, Baabullah berjanji akan memulihkan kembali hubungan baik Ternate dengan Portugis seperti sebelumnya. Kedatangan Portugis ke Kepulauan Rempah Ternate sebermula memperoleh sambutan baik. Mereka dapat izin mendirikan benteng.
Tapi sikap Portugis kemudian berubah. Mereka ingin dominasi ekonomi dan politik lebih luas di Maluku. Sultan Khairun menentangnya. Begitu pula dengan rakyat Ternate. Baabullah menggalang perlawanan itu sepeninggal ayahnya.
Portugis tak mau memenuhi permintaan Baabullah. Sebab, dalam konvensi Portugis, gubernur tak bisa diadili atas kesalahannya selama menjabat. Portugis diam-diam berencana memindahkan de Mesquita ke Goa. Dalam perjalanan menuju Goa, de Mesquita terbunuh oleh pasukan Gresik, sekutu Ternate pada 1579.
Tidak Gegabah
Selama mencari pembunuh ayahnya, Baabullah tetap mengupayakan sikap tenang. Dia tak langsung menyerbu masuk Benteng Gamlamo. Di sana ada anak-anak, perempuan, dan penduduk setempat yang telah menikah dengan orang-orang Portugis. Dia mempertimbangkan keselamatan mereka.
Baabullah menimbang pula persenjataan pasukan Portugis di benteng Gamlamo. Pasukan Portugis memang jauh lebih sedikit daripada pasukan Baabullah. Empat ratusan prajurit Portugis berbanding puluhan ribu pasukan gabungan Ternate, Jailolo, Gamkonora, Galela, Moti, Hiri, dan Makian. Tapi persenjataan Portugis lebih lengkap.
Baca juga: Cerita Kumis Pahlawan Nasional Raja Haji Fisabilillah
Baabullah memilih menunggu di luar dan mengisolasi benteng tersebut. "Membiarkan orang-orang di dalamnya kelaparan, penyakitan, dan kepayahan, yang sampai pada batas tertentu akan merontokkan moral dan fisik mereka," sebut Adnan.
Setelah bertahan lima tahun, Portugis menyerah. Tepat pada hari Saint Stephen's Day atau Hari Suci Santo Stefanus pada 26 Desember 1575. Portugis pun meninggalkan Ternate. Baabullah mengusir Portugis tanpa pertumpahan darah berarti. Meski tak berhasil menemukan pembunuh ayahnya, Baabullah tak menyasar dendamnya ke semua orang Portugis.
Baca juga: Depati Amir, Pahlawan Nasional dari Pulau Timah
Bondan mengatakan pengusiran Baabullah terhadap Portugis sangat toleran. "Menjunjung tinggi hak asasi manusia," kata Bondan. Adnan menyebut Baabullah sebagai Sultan Ternate terbesar. Salah satunya karena alasan pengusiran Portugis dengan cara jitu. Pengusiran itu mengembalikan perdagangan bebas di Maluku.
"Para pedagang Jawa, Arab, Melayu, Makassar, dan Cina yang selama ini tersingkir dan selalu dikejar-kejar Portugis ataupun Spanyol, kini memperoleh kebebasan untuk bersaing dalam perdagangan," ungkap Adnan.