Pada pengujung 1950, pemerintah Indonesia mengeluarkan gagasan untuk mengadakan gelar Pahlawan Nasional bagi sejumlah tokoh pejuang nasional yang sudah meninggal. Idenya berangkat dari keinginan merehabilitasi semua korban kesewenang-wenangan Belanda. Pemerintah RI kala itu memunculkan sosok-sosok pemberani yang menentang kompeni di berbagai daerah dalam memori masyarakat.
Sejarawan Prancis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I: Batas-batas Pembaratan, mencatat ada banyak cara yang dilakukan masyarakat untuk menghargai perjuangan tokoh-tokoh tersebut: membuat biografi, dengan kisah yang diperindah; mengusung potret tokoh-tokoh yang dianggap pahlawan; sampai mengabadikan nama-nama tertentu sebagai nama jalan.
Baca juga: Menanti Gelar Pahlawan Nasional untuk Ali Sastroamidjojo
“Agar prakarsa-prakarsa itu dapat ikut memperkuat ideologi persatuan, sejak 1959 Sukarno memutuskan untuk menyusun sebuah daftar resmi Pahlawan Nasional,” tulis Lombard.
Lantas siapa sosok yang pertama kali dihadiahi gelar Pahlawan Nasional di Indonesia?
Dia adalah Abdoel Moeis. Tokoh kelahiran Solok, Sumatera Barat, pada 3 Juli 1886. Setelah lulus pendidikan dasar di sekolah khusus Eropa (ELS), Abdoel Moeis melanjutkan studi di sekolah dokter Jawa STOVIA. Namun tidak berhasil menyelesaikannya gegara menderita sakit. Berkat bantuan JH Abendanon, direktur departemen pendidikan dan agama, dia pun diterima bekerja di departemen tersebut sebagai juru tulis. Hanya bertahan selama dua tahun.
Sekira tahun 1905, Abdoel Moeis bertemu Abdul Rivai, pemimpin majalah Bintang Hindia. Dia pun bergabung sebagai wartawan dan pemimpin redaksi Bintang Hindia edisi bahasa Indonesia di Batavia. Akibat kurangnya dukungan keuangan majalah itu berhenti terbit, dan memaksa Abdoel Moeis pindah ke surat kabar Belanda Preanger Bode, yang juga tidak berumur panjang.
Baca juga: Pahlawan Nasional dalam Angka
Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: Petite Historia Indonesia Jilid I mengatakan bahwa Abdoel Moeis pernah juga bekerja di majalah Soeara Merdeka yang terbit di Bandung. Pada 1912, Abdoel Moeis bersama Mohammad Yunus dan A. Widiadisastra mendirikan suratkabar Kaum Muda. Belakangan suratkabar yang dia dirikan itu mendapat perhatian pihak Belanda karena isinya banyak memprovokasi padangan rakyat terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Sejak mendirikan Kaum Muda, Abdoel Moeis banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh Islam. Berkat itu jugalah dia, bersama Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) dan Wignyadisasra, mendapat undangan bergabung dengan Sarekat Islam dari HOS Tjokroaminoto. Dia dipercaya sebagai ketua cabang Bandung dari organisasi politik yang bertujuan memajukan perdagangan Indonesia di bawah panji-panji Islam tersebut. Sementara wakil ketua dipegang Ki Hadjar Dewantara, dan sekertaris oleh Wignyadisasra.
“Sejak itu, perkenalan dengan Pak Tjokro dan Abdoel Moeis makin intens, sampai kemudian karena kedekatan beliau, bersama pula dengan Hadji Agoes Salim, mereka bertiga disebut dengan Tiga Serangkai Sarekat Islam,” tulis Aji Dedi Mulawarman dalam Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto.
Baca juga: Adakah Udang di Balik Gelar Pahlawan Nasional?
Akibat aktivitas politiknya di SI, Abdoel Moeis masuk daftar hitam pemerintah Belanda. Dia dipantau secara ketat karena dianggap berbahaya. Bahkan pernah ketika selesai mengunjungi Toli-Toli, Sulawesi Tengah, rakyat di sana menolak kerja rodi dan melakukan perlawanan pada Juni 1919. Sejumlah pegawai bumiputra dan seorang controluer Belanda terbunuh. Pemerintah menuduh Abdoel Moeis mengompori rakyat untuk memberontak.
Kemudian pada 11 Februari 1922, Abdoel Moeis memimpin gerakan pemogokan besar-besaran buruh pegadaian di Jawa. Tahun berikutnya, ketika berkunjung ke Sumatera, Abdoel Moeis memperjuangkan rakyat Minangkabau agar terbebas dari beban pajak atas tanah dan harta benda yang mereka miliki. Akibat kegiatan-kegiatan tersebut, pemerintah kolonial mengeluarkan passenstelsel, yang melarang Abdoel Moeis mengunjungi semua daerah di luar pulau Jawa dan Madura.
“Setelah ada larangan itu, Abdoel Moeis kemudian tinggal sebagai petani di Garut,” tulis Maman Mahayana dalam Akar Melayu.
Tahun 1928, setelah memilih menghentikan aktivitas politiknya, Abdoel Moeis menerbitkan karya perdana berjudul Salah Asuhan. Novel romansa yang menggambarkan kondisi budaya masyarakat Indonesia di masa penjajahan Belanda itu telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (Inggris, Tiongkok, Jepang). Novel itu juga diadaptasi ke layar lebar pada 1972 oleh sutradara Asrul Sani.
Baca juga: Di Balik Gelar Pahlawan Nasional Dua Tokoh Komunis
Selain Salah Asuhan, dia juga menulis Pertemuan Djodoh (1930), dan Soerapati (1950). Dia sempat menerjemahkan karya pengarang Amerika Mark Twain, Tom Sawyer Anak Amerika (1949), dan karya Cervantes, Don Kisot (1949), serta Sebatang Kara karya Hector Malot.
Abdoel Moeis wafat pada 1959 di Bandung, Jawa Barat. Tahun itu juga dia diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Sukarno. “Tidak ada alasan jelas mengapa Abdoel Moeis dipilih sebagai Pahlawan Nasional yang pertama,” tulis Klaus H. Schreiner dalam “Pencipta Pahlawan-Pahlawan Nasional,” dimuat Outward Appearances karya Henk Schulte Nordholt (ed.).
Betapapun Salah Asuhan telah membuat nama Abdoel Moeis begitu populer, imbuh Maman Mahayana, aktivitasnya sendiri sebagian besar dicurahkan dalam bidang politik dan kewartawanan. Menurutnya bukan bidang kesustraan yang membuat Abdoel Moeis diangkat sebagai Pahlawanan Nasional, melainkan dalam politik karena dia dianggap berjasa dalam pergerakan kebangsaan ketika dia menjadi anggota SI.