Sumbangsih Ali Sastroamidjojo terhadap Republik Indonesia (RI) tak bisa dianggap enteng. Selain dikenal sebagai tokoh pejuang sejak era pegerakan, berbagai jabatan menteri dalam sejumlah kabinet, jabatan formatur, hingga menjadi diplomat telah diemban lelaki berjanggut lebat itu. Sayangnya, sejarah Republik ini mengingat Ali hanya sebatas Wakil Ketua Mejlis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), seperti terukir di tempat peristirahatan terakhir Ali di Taman Makam Pahlawan Kalibata: “Ali Sastroamidjojo SH, eks Wakil Ketua MPRS”.
Sejatinya peran Ali tidak hanya sebatas wakil ketua MPRS periode 1960-1966 saja. Ketika berkuliah di Negeri Belanda dia sudah aktif di Perhimpunan Indonesia bersama Mohammad Hatta. Sebagai wadah pergerakan nasional pertama bangsa Indonesia, PI membangun kesadaran perjuangan Ali. Menurut sejarawan Rushdy Hoesein, Ali juga aktif di Partai Nasional Indonesia (PNI), menemani Bung Karno selama zaman pergerakan.
Baca juga: Kisah Sunyi Ali Sastroamidjojo
Tidak hanya berperan aktif di tubuh PI dan PNI, Ali juga pernah dipercaya menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada kabinet Amir Sjarifoeddin (1947-1948) dan kabinet Hatta I (1948-1949). Bahkan selama proses perundingan dengan Belanda, Ali tercatat sebagai anggota delegasi RI dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Dia pun diketahui sebagai duta besar pertama Indonesia untuk Amerika Serikat.
“Jelas dalam sejarah Indonesia, Ali Sastroamidjojo adalah seorang nasionalis,” tutur Rushdy saat mengisi acara webinar Dialog Sejarah “Ali Sastroamidjojo yang Terlupakan” di historia.id.
Ali Sastroamidjojo pernah ditunjuk menjadi formatur kabinet. Jabatan Perdana Menteri itu dijalankan sebanyak dua kali (1953-1955 dan 1956-1957). Bahkan ketika menjabat formatur di kabinet keduanya, Ali juga merangkap menjadi Menteri Pertahanan. Pernah juga Ali Sastroamidjojo diangkat sebagai Menteri Penerangan. Di dalam tugasnya sebagai PM, kabinet Ali berhasil menyelenggarakan pemilu pertama pada 1955.
Satu sumbangsih terpenting Ali bagi kedaulatan Indonesia adalah Konferensi Asia Afrika (KAA). Menurutnya, ide penyelenggaraan KAA muncul ketika dia hadir dalam konferensi lima negara (India, Sri Lanka, Burma, Pakistan, dan Indonesia) di Colombo tahun 1954. Diceritakan di dalam otobiografinya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku, gagasan untuk melanjutkan dan mempererat kerjasama antara negara-negara Asia-Afrika segera disampaikan Ali.
Baca juga: Ali Sastroamidjojo, Sang Diplomat Ulung
“… Alhasil, Pak Ali ini betah di mana saja dan menjalankan semua tugas dan tanggung jawab yang diberikan,” imbuh Rushdy.
Namun beberapa perwakilan delegasi meragukan gagasan Ali tersebut. Banyak yang merasa jika ide bagus itu akan sulit untuk dipraktekan. Bahkan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru khawatir konferensi itu hanya akan menimbulkan perbedaan pandangan di antara negara-negara Asia-Afrika, yang malah menimbulkan perpecahan.
Menolak menyerah, Ali terus melakukan pendekatan-pendekatan diplomatik secara lebih intim kepada seluruh kepala negara peserta Konferensi Colombo. Dia mencoba memberi pemahaman tentang ide konferensi yang coba digagasnya. Hasilnya, seluruh peserta menyutujui diadakannya KAA dan sepakat memilih Indonesia sebagai tuan rumah pertama perhelatan akbar diplomasi negara-negara di Asia dan Afrika.
“Waktu dibicarakan dengan Presiden Sukarno tentu saja dia sangat setuju dengan ide Pak Ali tersebut. Pastinya itu sesuai dengan misi Bung Karno yang ingin memosisikan Indonesia sebagai garda terdepat pembebasan negara-negara Asia-Afrika yang saat itu banyak yang masih dijajah negara-negara Barat,” ujar Rushdy.
Proses Gelar Pahlawan
Meskipun demikian, hingga kini Ali Sastroamidjojo belum dianugerahi gelar pahlawan nasional. Menurut Tarida Ali Sastroamidjojo (salah seorang cucu Ali), proses pengajuan sedang berlangsung. Sejumlah kendala sempat dihadapi pihak keluarga, sehingga pelaksanaan pengajuan sang kakek sempat terhambat.
Awalnya, tutur Tarida, pihak keluarga tidak merasa perlu untuk mengajukan gelar pahlawan nasional untuk sang kakek. Baginya, perjuangan Ali untuk kemerdekaan sudah tentu dilakukan secara ikhlas, semata-mata bagi bangsa Indonesia. Dia dan keluarga besar baru terpikir melakukan pengajuan setelah beberapa pihak menyarankan untuk mengajukan gelar pahlawan tersebut.
Baca juga: Kode Partikelir
Kali pertama usulan gelar pahlawan nasional tersebut datang di tahun 2010, ketika keluarga besar Ali diundang hadir pertama kali dalam acara peringatan KAA di Bandung. Setelah proses diskusi panjang, barulah pada 2013 keluarga sepakat mengurus pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Ali Sastroamidjojo.
“Motivasinya besar, jasa-jasa beliau; beliau tidak pernah berkhianat, tidak pernah berbuat sesuatu yang melawan kebijakan pemerintah, dan sebagainya, Alhasil, Ali itu sudah memenuhi syarat,” ujar Rushdy.
Secara administratif, proses pengajuan gelar pahlawan memang cukup sulit. Menurut Rushdy prosedur yang harus dipenuhi biasanya membuat pihak keluarga enggan untuk mengurusinya. Belum lagi waktu yang lama, serta hambatan-hambatan lain yang mengharuskan pihak pengusul mencurahkan waktu dan tenaga di dalam prosesnya.
Salah satu pihak yang secara serius melakukan pengusulan gelar pahlawan untuk Ali adalah GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Dilansir laman resmi GMNI, pihaknya telah melakukan langkah audiensi dengan Kementerian Sosial bidang Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan, dan Restorasi Sosial (K2KRS).
Baca juga: Sultan Hamid II dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional
Direktur K2KRS, Joko Irianto, yang turut hadir dalam audiensi tersebut, menyebut Kemensos menyambut baik usulan tersebut. Dia juga menuturkan jika syarat-syarat pengusulan tersebut harus ditempuh sesuai prosedur agar dapat diterima kemudian ditetapkan.
“Kita dari Kemensos selalu terbuka untuk menerima setiap masukan usulan gelar pahlawan nasional. Selanjutnya tinggal melengkapi persyaratan yang dibutuhkan, serta melaksanakan langkah-langkah sesuai yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2009,” ungkapnya.