Tarida Ali Sastroamidjojo masih ingat kata-kata Mahendra Siregar (sekarang Wakil Menteri Luar Negeri RI) pada suatu hari. Dalam pertemuan yang terjadi beberapa tahun lalu itu, sang petinggi Kemenlu RI itu memuji visi Ali Sastroamidjojo (Duta Besar pertama RI untuk Amerika Serikat, 1950-1953) yang telah menginisiasi pembelian tanah yang sekarang di atasnya berdiri gedung Kedutaan Besar RI di negeri Paman Sam itu.
“Beliau bilang Kedutaan Besar RI di AS merupakan kedutaan milik kita yang letaknya paling strategis dari kedutaan-kedutaan RI yang ada di dunia,” ungkap cucu Ali Sastroamidjojo tersebut.
Gedung yang terletak di Massachusetts Avenue No. 2020 itu memang termasuk tempat istimewa di Washington (ibu kota AS). Selain terletak di kawasan yang dikenal orang AS sebagai tempat bersejarah (eks tempat tinggal MacLean, pionir pertambangan tembaga di barat AS), juga lahan dan gedungnya sangat luas. Jauh lebih mencukupi dibanding gedung kedutaan lama yang terletak di Massachusetts Avenue No. 2523.
Baca juga: Kisah Sunyi Ali Sastroamidjojo
Namun itu bukan satu-satunya peran Ali selaku seorang diplomat bagi Republik ini. Tokoh legendaris Partai Nasional Indonesia (PNI) tersebut juga memiliki peran-peran penting dalam memosisikan Indonesia di kancah pergaulan internasional. Salah satunya adalah Konferensi Asia Afrika (KAA).
Menurut Ali dalam otobiografinya Tonggak-Tonggak di Perjalananku, ide KAA muncul di benaknya ketika dia diundang untuk mengikuti konferensi 5 negara (Sri Langka, India, Pakistan, Burma dan Indonesia) di Colombo. Undangan itu secara langsung dilayangkan oleh Perdana Menteri Sri Langka Sir John Kotelawala pada awal 1954.
“Maka timbullah gagasan di pikiran saya untuk melanjutkan dan mempererat kerjasama antara negara-negara Asia-Afrika…” ungkap Ali Sastroamidjojo.
Baca juga: Konferensi Panca Negara, Pertemuan Penting di Balik Kesuksesan KAA
Ide itu tidak serta mera diterima oleh para peserta Konferensi Colombo. Banyak yang meragukan bahwa ide yang dipuji bagus tersebut akan mulus saat dipraktekan. Perdana Menteri India J. Nehru bahkan mengkhawatirkan konferensi tersebut hanya akan meruncingkan perbedaan di antara negara-negara Asia Afrika.
Ali tidak patah arang. Dia kemudian melakukan pendekatan-pendekatan diplomatik kepada seluruh kepala negara peserta Konferensi Colombo. Hasilnya, seluruh peserta menyetujui diadakannya KAA dan menyepakati untuk menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan besar itu.
Baca juga: CIA Gagalkan KAA II di Aljazair
“Waktu dibicarakannya dengan Presiden Sukarno tentu saja dia sangat setuju dengan ide Pak Ali tersebut. Pastinya itu sesuai dengan misi Bung Karno yang ingin memosisikan Indonesia sebagai garda terdepan pembebasan negara-negara Asia-Afrika yang saat itu banyak yang masih dijajah negara-negara Barat,” papar sejarawan Rushdy Hosein.
Sejarah kemudian mencatat, KAA berjalan sukses. Perhelatan internasional yang diadakan di Bandung pada 18-24 April 1955 diikuti oleh 29 negara dan menghasilkan kesepakatan bersejarah yang diberi nama sebagai Dasa Sila Bandung:
- Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
- Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa
- Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil
- Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain
- Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB
- Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain
- Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara
- Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum) , ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB
- Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama
- Menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional
Kepiawaian Ali selaku diplomat pun terbukti saat pada Desember 1959 dia pergi ke Havana untuk menjajaki hubungan dengan Kuba yang saat itu baru saja dipimpin oleh Fidel Castro. Karena sikapnya yang luwes, dia langsung disukai oleh Fidel dan pemimpin revolusi Kuba lainnya yakni Che Guevara.
Baca juga: CIA Incar Jenggot Castro
“Eyang saya sampai diundang oleh Fidel ke pelosok Kuba untuk melihat langsung bagaimana situasi rakyat Kuba sesungguhnya,” ungkap Tatiek Kemal, salah satu cucu Ali sastroamidjojo.
Hasil dari dari kunjungan itu, Presiden Sukarno setuju untuk membuka perwakilan negara masing-masing di Kuba maupun Indonesia. Bahkan lebih lanjut, Presiden Sukarno berkenan mengunjungi Kuba dan bertemu dengan Fidel Castro dan Che Guevara pada Januari 1960.