Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Sunyi Ali Sastroamidjojo

Tentang persahabatan, keyakinan politik dan pahlawan yang terlupakan.

Oleh: Hendi Johari | 11 Jul 2020
Ali Sastroamidjojo dan Sukarno (dokumen keluarga ali sastroamidjojo)

Mendung membekap Jakarta senja itu. Matahari malas menampakan diri. Di Taman Makam Pahlawan Kalibata, sunyi terasa ketika beberapa laki-laki dan perempuan berdoa pada sebuah makam. Wajah-wajah syahdu tefekur dalam diam, memandang lurus nisan putih bertuliskan: Ali Sastroamidjojo SH, eks Wakil Ketua MPRS.

Sejatinya hidup Ali Sastroamidjojo adalah kisah sunyi yang nyaris tak tersampaikan. Terlalu sempit sumbangsih-nya jika hanya dibatasi sekadar jabatan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Terlebih dalam sejarah Indonesia, namanya lekat sebagai pejuang empat zaman dan ikut membidani kelahiran bayi Republik Indonesia.

“Pak Ali itu satu angkatan dengan Bung Karno. Pada zaman pergerakan, mereka sama-sama aktif di PNI (Partai Nasional Indonesia) dan bahkan dia pernah dipenjara pula oleh pemerintah Hindia Belanda karena kegiatan politiknya,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kode Partikelir

Pernyataan Rushdy tentunya bukan isapan jempol semata. Dalam otobiografinya Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (ditulis Cindy Adams), Sukarno beberapa kali menyebut nama Ali Sastroamidjojo dan memanggilnya secara akrab sebagai “kawan lama”.

Ali sendiri mengenang nama Sukarno sudah ada di benaknya saat dia belajar ilmu hukum di Belanda. Namun secara pribadi, dia kali pertama berkenalan dengan Sukarno pada akhir 1928 di Yogyakarta. Saat itu sebagai anak muda berusia 25 tahun, dia menyaksikan langsung bagaimana Sang Singa Podium beraksi.

“Saya sangat terpukau oleh cara dan kata-kata yang digunakannya…”ungkap Ali dalam otobiografinya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku.

Sejak itulah Ali bersahabat dengan Sukarno yang usia-nya lebih tua dua tahun darinya. Bahu membahu mereka membangun PNI dan menjadikannya alat untuk melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Akibat kegiatan politik itulah, Ali sempat masuk penjara.

Ali tidak lama ditahan di penjara. Dia kemudian dibebaskan dengan syarat tidak terlibat aktif lagi dalam kegiatan politik. Syahdan, tak lama setelah pembebasan itu, Ali diajak Sukarno untuk hadir dalam pidato umumnya di Madiun. Entah bagaimana ceritanya, tetiba Sukarno menawarkan Ali untuk menyampaikan pidato pokok.

“Tidak Bung. Bung tahu saya baru keluar dari penjara. Saya harus menjaga gerak-gerik saya…” tolak Ali.  

Singkat cerita, tibalah waktu Sukarno bicara di depan khalayak. Seperti biasa, sebelum pidato, dia memanjatkan doa. Kemudian setelah meminum seteguk air putih, barulah dia melangkah ke atas mimbar dan berteriak lantang:

“Saudara-saudara! Di sebelah saya duduk salah seorang dari saudara kita yang baru saja keluar dari penjara, tidak lain karena dia berjuang demi cita-cita. Tadi dia menyampaikan kepada saya keinginannya untuk menyampaikan beberapa pesan kepada saudara-saudara…”

Baca juga: Di Balik Pidato Presiden Sukarno

Ali tentu saja terhenyak. Dia sadar telah “dikerjain” oleh sahabatnya itu. Namun menurut Sukarno dalam otobiografinya, hal tersebut dia lakukan justru demi mengangkat mental Ali  dan memberinya kepercayaan diri kembali. Selain itu, dia ingin memberi contoh kongkret kepada rakyat tentang perlawanan kepada kaum kolonialis yang tak mengenal kata berhenti.

“Aku tidak mau menjerumuskannya dalam kesukaran. Akan tetapi secara psikologis hal ini penting buat yang hadir, supaya mereka bisa melihat wajah salah seorang dari pemimpinnya yang telah meringkuk dalam penjara karena memperjuangkan keyakinannya dan masih saja mau mencoba lagi.”

Menolakkah Ali? Tentu saja tidak. Dia pun berpidato di depan khalayak.

*

Bisa dikatakan Ali sangat setia dengan jalan nasionalisme. Itulah yang kemudian menjadikannya kembali aktif di PNI pasca Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Lewat partai lamanya itu, Ali yakin bisa menyumbangkan segala kemampuan terbaiknya untuk negara.

Di awal era revolusi, Ali aktif sebagai orang ke-2 di Kementerian Penerangan RI setelah Amir Sjarifuddin. Sebagai Wakil Menteri Penerangan RI, tugasnya mencakup berbagai hal termasuk ikut mengurusi kelahiran tentara.

Ketika Didi Kartasasmita (seorang eks opsir KNIL)  menyatakan akan mengkoordinir kawan-kawannya untuk mendukung RI, Ali ikut patungan bersama Amir untuk membiayai safari Didi keliling Jawa. Hal itu diakui oleh Didi dalam otobiografinya, Pengabdian bagi Kemerdekaan (disusun oleh Tatang Sumarsono).

“Saya dibekali oleh Ali Sastroamidjojo dua ribu rupiah…”

Begitu pula ketika kemudian sejumlah eks perwira KNIL yang dikoordinasi Didi itu membuat petisi dukungan kepada pemerintah RI, Ali-lah yang mengusulkan kepada Amir Sjarifuddin (yang kala itu berlaku juga sebagai Menteri Pertahanan add interim) untuk diumumkan selama 10 hari berturut-turut di Radio Republik Indonesia (RRI).

Baca juga: Didi Kartasasmita dan Pengkhianatan Seorang KNIL

Akhir 1948, ketika Yogyakarta diduduki militer Belanda, Ali juga ikut ditawan bersama Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mochamad Hatta. Padahal setahun sebelumnya, dia menjadi salah satu anggota delegasi dalam perundingan Indonesia-Belanda di atas kapal perang Amerika Serikat (AS) bernama Renville.

Pasca penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, Ali ditugaskan sebagai Duta Besar RI yang pertama untuk AS. Jabatan itu pula yang kemudian mengantarkannya ke posisi sebagai perdana menteri selama dua kali pada 1953-1955 dan 1956-1957.

Banyak kalangan menyebut Ali sebagai pengikut setia Sukarno. Pendapat itu tentu saja ada benarnya mengingat kedekatan Ali dengan Sukarno yang sudah berusia lama. Soal ini bahkan diakui sendiri oleh Tatiek Kemal (66), salah seorang cucu Ali Sastroamidjojo.

“Kedekatan itu bahkan sampai menjadikan nenek saya memiliki hubungan yang sangat baik dengan Ibu Fatmawati,” ujar Tatiek.

Kendati demikian, tidak serta merta kedekatan itu menjadikan Ali berlaku sebagai pembebek. Alih-alih menuruti semua kata Sukarno, yang ada Ali malah pernah berselilih paham secara keras dengan sahabatnya itu.

Baca juga: Memasung Kaki Banteng

Ceritanya, saat kembali dipercaya untuk menyusun kabinet yang kedua kali-nya pada 1956, Ali tidak melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai salah satu mitra koalisi-nya. Selain sudah merasa cukup berkoalisi dengan Masyumi dan NU yang menolak berkoalisi dengan PKI, Ali pun melihat kecenderungan jika PKI dilibatkan dalam pemerintahannya maka itu sama saja memberi peluang partai komunis ke-3 terbesar di dunia tersebut akan menjadi lebih kuat pada pemilu berikutnya. Suatu hal yang tentu saja tidak dikehendaki oleh PNI.

Apa yang terjadi kemudian? Bung Karno marah besar. Dia menuduh Ali telah berlaku tidak adil dan mengidap penyakit komunisto-phobi.

“Saudara sebagai formatur bersikap tidak adil terhadap PKI. Bagaimana suatu partai besar yang mendapat suara dari rakyat  lebih dari 6 juta itu, tidak kau ikut sertakan dalam kabinet baru? Ini tidak adil!” sergah Bung Karno.

Kendati Ali mengemukakan alasan-alasan di atas kepada Si Bung Besar, namun tindakannya tetap disalahkan. Tak ada titik temu. Ali akhirnya menyarankan presiden untuk mencabut mandat yang diberikan kepadanya dan menyerahkan kepada formatur baru.

“Saya tidak bisa merubah susunan kabinet karena saya sudah terikat pada kesepakatan bersama dengan partai-partai koalisi itu,” ujar Ali.

“Kau menempatkan persoalan selalu dengan cara yang terlampau tajam. Saya belum mengatakan bahwa saya menolak hasil susah payah kau ini!” jawab Sukarno.

Alhasil, presiden pada akhirnya mau menandatangani susunan kabinet yang disodorkan Ali. Kendati demikian Ali tahu, Bung Karno hanya setengah hati menerimanya. (Bersambung).

TAG

pni ali sastroamidjojo

ARTIKEL TERKAIT

Menggerakkan Ideologi Kebangsaan dari Bandung Di Sekitar Indonesia Menggugat Sanak Saudara Partai Nasionalis Partai Nasional Indonesia dan Ahli Warisnya Eks Pemilih PKI Pilih Golkar ABRI Masuk Desa Demi Golkar di Bali Dari Matros ke Banteng Marhaen Ketika PNI Terbelah Akhir Tragis Menteri Surachman Saat Natsir Gagal Merangkul PNI