Suasana hutan Tumpak Kepuh (terletak di kawasan Desa Sumberdadi, Blitar Selatan) masih remang-remang. Pagi baru saja tiba, ketika seorang lelaki hampir paruh baya melintasi jalan setapak hutan tersebut. Langkahnya yang terburu-buru dan cepat mengundang perhatian Peltu Jatimin dan beberapa anak buahnya dari Kompi C Batalyon 521 Kodam Brawijaya.
Tanpa pikir panjang Jatimin berteriak memerintahkan lelaki itu untuk menghentikan langkahnya. Alih-alih dituruti, yang diperintah malah menjalankan langkah seribu. Tembakan peringatan pun dilontarkan tiga kali. Tetap tak digubris. Sebagai jalan terakhir, Kopral Dua Soepono terpaksa mengarahkan senapannya. Dor! Dor! Dor! Terjungkallah lelaki itu seketika.
Saat didekati, nampak pangkal pahanya nyaris putus. Namun lelaki itu masih hidup. Dalam kondisi sakratul maut, dia masih menyebut namanya sebagai “Gunawan”. Beberapa detik kemudian nyawanya pun lepas. Ketika memeriksa tas hitam yang yang dibawanya, nampaklah sehelai sarung usang berwarna hijau. Kain itu membalut sebuah radio transistor kecil dan sebuah buku berjudul Kaum Buruh Sedunia Bersatulah! karya pemimpin komunis Tiongkok, Mao Zedong.
Baca juga: Laporan Pembasmian Komunis dalam Dokumen Rahasia AS
Dua hari kemudian yakni pada 17 Juli 1968, Wakil Komandan Satuan Tugas Operasi Trisula (operasi khusus memburu sisa-sisa anggota PKI di wilayah Blitar Selatan) Letnan Kolonel Sasmito membuat pengumuman yang mengejutkan: lelaki itu ternyata adalah Ir. Surachman, Menteri Irigasi Kabinet Dwikora II sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sejak Februari 1966 menjadi buronan karena dituduh sebagai anggota PKI. Demikian pernyataan Sasmito dalam buku Operasi Trisula Kodam VIII Brawijaya karya Semdam VIII Brawijaya.
Hampir setahun kemudian, peran politik Surachman sebagai “orang PKI yang diselusupkan” ke tubuh PNI dikuatkan oleh Kusnun alias Abdullah, anggota verfikasi CC PKI urusan Kalimantan. Dalam sidang hari ke-4 pengadilan subversi terhadap terdakwa Sardjono dan Florentinus Suharto pada 30 Mei 1969, Kusnun menyebut bahwa Ir. Surachman (PNI) dan Karim DP merupakan para infiltran PKI.
Tetapi ketika ditanya tentang bukti administratif mengenai keberadaan para anggota PKI yang berada di partai-partai lain itu, Kusnun menjawab soal tersebut sulit dihadirkan di pengadilan.
“Karena untuk kepentingan security, maka bukti-bukti itu biasanya dimusnahkan,” kata Kusnun seperti dikutip oleh Abadi, 31 Mei 1969.
Pendapat Surachman sebagai orang komunis yang menyelundup di tubuh PNI semakin kuat ketika Profesor Soenarjo S.H (salah seorang pendiri PNI) menyebut dalam bukunya Banteng Segitiga, Surachman sebagai anggota PNI yang lebih pandai mengekor PKI. Namun benarkah semua tuduhan itu?
Satya Graha, mantan wakil pemimpin redaksi Suluh Indonesia (koran milik PNI), menyatakan ketidakpercayaannya terhadap tuduhan itu. Sebagai seorang yang pernah mengenal insinyur pertanian lulusan UGM itu (1961), dia tidak yakin bahwa tokoh muda PNI tersebut sebagai orang PKI.
“Saya kira karena dia loyalis Bung Karno yang sangat radikal, lantas musuh-musuh politik Bung Karno mem-PKI-kan-nya setelah Peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober),” ungkap Satya.
Baca juga: Akhir Tragis Koran Marhaenis
Keyakinan Satya Graha berkelindan dengan pendapat ahli sejarah politik Indonesia J. Eliseo Rocamora. Dalam bukunya, Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965, Rocamora menyebut tuduhan itu tidak memiliki dasar sama sekali.
“Tulisan-tulisan panjangnya di koran PNI Suluh Indonesia tidak menyingkapkan sedikit pun gaya penulisan atau pemikiran PKI,” ungkapnya.
Jikalau pendiriannya terlihat lebih cenderung kepada hal-hal yang dikeluarkan oleh PKI (soal pembentukan Angkatan Kelima misalnya) dan sikap-sikapnya terkesan mendua terhadap insiden-insiden aksi sepihak yang dilakukan oleh banyak kader PKI, itu bisa dimaklumi. Sebagai seorang loyalis Sukarno, Surachman tentunya akan mengacu kepada sikap junjungannya itu yang menurut Rocamora sikapnya terhadap kedua isu tersebut juga mendua.
Baca juga: Memasung Kaki Banteng
Rocamora pun bisa memahami jika di tengah “ketidakpastian” dan aksi Letnan Jenderal Soeharto menangkapi menteri-menteri-nya Sukarno pasca Gerakan 30 September 1965, Surachman jadi berpaling kepada musuh Soeharto yakni PKI.
Ketika sisa-sisa PKI melancarkan aksi gerilya di Blitar Selatan, Surachman membuat keputusan cepat untuk bergabung dengan para pemberontak. Terlebih baginya Malang Selatan dan Blitar Selatan adalah dua tempat yang tidak asing, mengingat sebagai anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) pada era Perang Kemerdekaan (1946-1949), dia pernah bergerilya melawan Belanda di wilayah tersebut.
Namun upaya cari selamat itu ternyata tak berbanding lurus dengan suratan takdirnya. Gegara tembakan seorang kopral, pelariannya itu malah mempercepat kematiannya. Maka berakhirlah hidup sang menteri dengan membawa sejumlah misteri yang tak pernah terjawab pasti hingga kini.