Masuk Daftar
My Getplus

Riwayat Berdirinya PNI

Didirikan pada masa penuh kecemasan. Partai pertama yang berhasil menyebarluaskan kesadaran nasionalisme Indonesia.

Oleh: Bonnie Triyana | 15 Jul 2016
Kongres pertama Partai Nasional Indonesia (PNI) di Surabaya, 27-30 Mei 1928. (KITLV)..

Tjipto Mangunkusumo paling tua di antara para aktivis muda yang berkumpul di sebuah paviliun rumah, di Regentsweg No. 22 (kini Jl. Dewi Sartika), Bandung, pada malam 4 Juli 1927 itu. Rata-rata umur mereka baru seperempat abad, sedang Tjipto sudah malang melintang di dalam pergerakan politik. Keberadaannya di Bandung pun dalam status sebagai orang buangan, yang dilarang berpolitik praktis. Pemerintah kolonial menghukumnya atas tuduhan membantu anggota PKI yang memelopori pemberontakan pada 1926.

Dari tujuh orang yang hadir dalam pertemuan itu, hanya Tjipto yang menyatakan keberatannya atas rencana enam orang lainnya untuk membentuk partai politik. Bagi Tjipto, mendirikan partai politik bakal mengundang reaksi keras pemerintah kolonial yang baru setahun sebelumnya menumpas perlawanan PKI.

“Cipto Mangunkusumo tidak setuju berdirinya suatu partai nasional karena ia berpendapat bahwa partai nasional itu akan dinilai oleh pemerintah kolonial sebagai pengganti Partai Komunis Indonesia yang sudah dilarang,” tulis Iskaq Tjokrohadisurjo, salah satu pendiri PNI, dalam memoarnya Iskaq Tjokrohadisurjo: Alumni Desa Bersemangat Banteng.

Advertising
Advertising

Baca juga: Ahli Waris Partai Marhaenis

Penolakan Tjipto cukup beralasan. Pemerintah kolonial di bawah gubernur jenderal Dirk Fock dan kemudian digantikan oleh ACD de Graeff sangat reaktif terhadap gerakan politik nasionalis Indonesia, terutama setelah peristiwa pemberontakan PKI 1926. Mengacu pada buku “babon” Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, “Gubenur Jenderal de Graeff yang semula bersikap terbuka terhadap golongan nasionalis bertindak keras, 4.500 orang dipenjara, kira-kira 1.300 dibuang ke Digul, dan 4 orang dihukum mati.”

Dalam situasi seperti itu, mendirikan partai politik adalah langkah penuh resiko. Tapi keputusan sudah bulat. Sebuah partai politik harus didirikan. Maka, ”Pada tanggal empat Juli 1927, dengan dukungan enam orang kawan dari Algemeene Studieclub, aku mendirikan PNI, Partai Nasional Indonesia,” kata Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

Sukarno menyebutkan PNI sebagai “partai” namun berdasarkan keterangan Soenario, PNI pertama kali berdiri dengan nama “Perserikatan Nasional Indonesia” dan baru diubah menjadi partai pada kongres pertamanya setahun kemudian. Enam orang yang dimaksud Sukarno itu antara lain Soenario, Iskaq Tjokrohadisurjo, Sartono, Budyarto Martoatmojo, Samsi Sastrowidagdo dan Tjipto Mangunkusumo. 

Baca juga: Tjipto Mangoenkoesoemo, Dokter Antifasis

Soenario dalam Benteng Segitiga mengatakan Tjipto, yang hadir namun tak bersepakat, tetap dianggap sebagai pendiri oleh Sukarno. “Ini dijelaskan oleh Bung Karno di muka Landraad (pengadilan negeri, red) di Bandung, meski pun Bung Karno menganggap Dr Cipto juga sebagai pendiri,” ungkap Soenario. Selain ketujuh orang tadi, Soenario masih menambah dua orang lain yang juga direkennya sebagai pendiri PNI, yakni Sujadi dan J. Tilaar. “Menurut hemat kami, Sujadi dan J. Tilaar ini secara formal juga harus dimasukkan dalam golongan pendiri PNI, sehingga jumlah sebenarnya ada 9 orang,” imbuhnya.

Setelah PNI terbentuk, Sukarno dipilih menjadi ketuanya, sementara Iskaq jadi sekretaris dan lainnya menjadi anggota. Alasan pemilihan Sukarno menjadi ketua karena dia dianggap “paling populer dan paling maju untuk memimpin partai sebagai ketua atau pemuka,” ujar Iskaq.

Sukarno mengenang masa-masa itu secara dramatis. “Pada setiap cangkir kopi tubruk, di setiap sudut di mana orang berkumpul nama Bung Karno menjadi buah mulut orang. Kebencian umum terhadap Belanda dan kepopuleran Bung Karno memperoleh tempat yang berdampingan dalam setiap buah tutur,” kenangnya.

Ideologi Partai

Pilihan untuk menjadikan nasionalisme sebagai haluan ideologi partai tak lepas dari situasi yang berlaku saat itu. Perpecahan di kalangan Sarekat Islam sampai pemberontakan PKI 1926 membawa dampak bagi perkembangan politik di Hindia Belanda. Sukarno, salah satu pendiri PNI, melalui tulisannya “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, menganjurkan persatuan di kalangan kelompok politik di Hindia Belanda.

“Argumentasi yang dikemukakan Sukarno dalam esei itu pertama-tama bersifat taktis. Nasionalisme dilihat sebagai suatu program minimum, di atas landasan itu unsur-unsur yang berbeda-beda itu dapat bekerja sama,” tulis John D Legge dalam Sukarno: Biografi Politik.

Baca juga: Kiprah Buruh Nasionalis

Sukarno menegaskan nasionalisme adalah ideologi yang mampu menyatukan berbagai perbedaan dan melempangkan jalan menuju kemerdekaan. Dalam soal ini Sukarno terpengaruh oleh ide-ide nasionalisme Hindia yang telah lebih dulu diusung oleh Indische Partij yang didirikan oleh triumvirat Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat.

“Di dalam ide-ide mereka Sukarno menemukan pembenaran bagi suatu bentuk nasionalisme yang tidak mengandung komitmen tertentu terhadap Islam, teori perjuangan kelas, maupun kaitan formal dengan kelompok etnik tertentu,” tulis MC. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern.

Dengan pengertian nasionalisme yang longgar itu, PNI mampu merampungkan landasan partai yang kelak bisa mempersatukan “semua kekuatan revolusioner dalam satu ikatan,” ujar Sukarno. Sementara itu Soenario mengklaim PNI sebagai “partai baru yang bersifat nasional Indonesia dalam arti luas dan tidak chauvinistis,” kata dia dalam memoarnya.

Sepak Terjang Hingga Tenggelam

Sejak berdiri, PNI menyelenggarakan kongres dua kali. Kongres pertama diselenggarakan di Surabaya pada 28-30 Mei 1928 dan kongres kedua di Jakarta, 18-20 Mei 1929. Dalam kongres pertama, Sukarno mengemukakan asas nasionalisme PNI ke hadapan ribuan pengikutnya, sekaligus pertemuan resmi pertama antara pemimpin partai dan konstituennya. Bahkan agen Dinas Pengawasan Politik pemerintah pun turut menyusup ke dalamnya.

“Rapat terbuka yang selama kongres dihadiri massa sekitar 3000 – 3500 orang arek-arek Surabaya, terdiri dari pimpinan dan massa PNI serta simpatisan, dan tentu saja wakil dari Pemerintah Hindia Belanda dan PID (Politieke Inlichtingen Dienst),” kata Iskaq.

Iskaq sendiri dalam kongres tersebut melancarkan kritik terhadap praktik exorbitante rechten, hak istimewa gubernur jenderal untuk menangkap atau mengasingkan siapapun yang dianggap mengganggu ketertiban umum dan melawan pemerintah kolonial. Berbagai materi pembicaraan kongres yang menyerang kebijakan pemerintah meningkatkan kewaspadaan terhadap partai yang baru berdiri itu.

Baca juga: Supeni, Perempuan di Balik Kemenangan PNI

Kongres kedua di Jakarta sedikit berbeda dari kongres pertama karena pada saat itulah lagu Indonesia Raya dinyanyikan sekaligus menjadi lagu wajib resmi partai. Peserta sidang pun datang dari berbagai daerah di Indonesia, kecuali cabang Ulusiau, “karena ketuanya G. Dauhan dilarang datang ke kongres PNI oleh Residen di Manado,” kata Iskaq. Materi pembicaraan di dalam kongres tak banyak jauh berbeda dari kongres pertama. Tetap kritis terhadap pemerintah kolonial.

Seiring dinamisnya kegiatan PNI, pengawasan pemerintah kolonial pun semakin ketat. Para pemimpin PNI yang menggalang kekuatan tak hanya di kalangan partai, juga meluaskan perannya dengan mendirikan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) yang menjadi motor berbagai pertemuan politik dan Sumpah Pemuda pada 1928. Iklim politik kembali memanas seiring kemunculan pemimpin-pemimpin politik yang baru itu.

“Pemerintah kolonial mulai melawan para pemimpin baru. Pada kurun waktu itu komunitas orang-orang Belanda juga semakin condong ke kanan serta merasa sangat cemas dan sakit dengan rapat-rapat umum yang besar, di mana Sukarno dan pemimpin-pemimpin lainnya dengan seenaknya mencerca penguasa kolonial,” tulis sejarawan Ricklefs.

Baca juga: PNI Pasca-Peristiwa 1965

Ketegangan yang terjadi sejak berdirinya PNI akhirnya berujung pada penangkapan para pemimpin PNI. Pada 29 Desember 1929, Sukarno beserta Maskoen, Soepriadinata dan Gatot Mangkoepradja ditangkap di Yogyakarta usai menghadiri rapat umum yang diselenggarakan PPKI. Rangkaian yang dimulai sejak 24 Desember itu menurut Iskaq terjadi “pada 37 tempat, yakni 27 di Jawa, 8 di Sumatera, 1 di Sulawesi dan 1 lagi di Kalimantan. Penangkapan seluruhnya berjumlah 180 pimpinan PNI,” kata Iskaq mengutip keterangan Soenario.

Penangkapan ratusan pemimpin PNI, termasuk para pemimpin utamanya, telah membuat PNI lumpuh. Menurut Ricklefs dengan penangkapan itu kegiatan politik PNI berhenti total. “Tanpa Sukarno, maka PNI sangat lemah,” ujarnya. Meskipun demikian, lanjut Ricklefs, “konsepsi nasional Indonesia yang tidak mempunyai kaitan keagamaan maupun kedaerahan tertentu mulai diterima secara luas di kalangan elite.”

TAG

pni sukarno tjipto mangunkusumo

ARTIKEL TERKAIT

Supersemar Supersamar ABRI Masuk Desa Demi Golkar di Bali Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower Dari Matros ke Banteng Marhaen D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band Pengawal-pengawal Terakhir Sukarno* Membidik Nyawa Presiden Sukarno